Fathur yakin, jika mobil tadi sengaja menunggu Ara lewat, karena kejadian itu begitu cepat, membuat Fathur tak dapat melihat nomor mobilnya."Apa tak ada CCTV di area taman?" Tanya Elma."Sepertinya ada." Jawab Ehan."Ok, kau urus Ara, Ehan. Aku akan ke TKP, aku curiga jika ada yang sengaja ingin melenyapkan Ara." Ucap Elma melirik Ehan dari kaca depan.Ehan hanya terdiam, saat ini dia tak dapat berpikir jernih, dia hanya memikirkan keselamatan Ara. Sedangkan sang sopir hanya diam saja melirik Fathur yang tatapannya begitu kosong. --- Di Rumah sakit, Ara sudah dipindahkan ke ruang rawat, Mertuanya masih menunggu di luar, tidak ada yangboleh masuk untuk sementara waktu, karena kondisi Ara yang masih lemah. Terdengar suara langkah cepa dari sebelah kanan, Daffa sang adik dan juga Reno orng kepercayaan ayah Ara datang, di belakngnya tiga orang pengawal dengan berpakaian serba hitam, sontak Rudy langsung berdiri dan membungkukkan badan. Hatinya binggung, kenapa sang ekskutif muda ada
"Ara... aku disini." Lirih Fathur.Fathur masih menggenggam erat tangan Ara, di. merasakan gerakan dari jari telunjuk Ara, cepat-cepat Fathur mengusap air matanya, diperhatikan jari itu lagi, tak bergerak.Tangannya mengusap pipi Ara yang pucat."Ara, kau pasti mendengarku, gerakkan jarimu jika kau benar-benar mendengar suaraku, Ara. Hanya ada aku disini,". Ucap Fathur mencoba berinteraksi dengan iparnya itu.Netranya kembali memandang jari Ara, masih juga tak bergerak, Fathur sangat yakin jika tadi dia tak salah lihat."Ara... Aku disini, aku janji tak akan meninggalkanmu lagi, bangun, Ara..." Lagi, Fathur merasakan gerakan itu, jari jemari Ara bergerak terutama jari telunjuknya, Fathur tersenyum tipis, dilihatnya air mata mengalir dari sudut mata Ara, dengan cepat Fathur mengusapnya dengan lembut."Jangan menangis, Ara. Aku akan selalu ada disampingmu." bisik Fathur.Fathur percaya, meski Ara tak sadarkan diri, tapi di alam bawah sadarnya dia dapat mendengar dan merasakan kehadiran
Sudah satu Minggu Ara belum juga sadar, pelarian Dinda pun belum juga di temukan, Ehan masih terus mencarinya, dia dilarang melihat istrinya oleh Daffa. Sesekali Ehan akan datang ke rumah sakit, dengan mengintip dari jauh, jika tak ada yang menjaga, lelaki itu akan mendekat dan melihat Ara dari kaca pintu.Hari ini, sebelum Ehan ke kantor dia menyempatkan diri melihat Ara, hatinya meringis saat banyak selang menempel di tubuhnya, mulutnya masih di tutup oksigen. Ehan menatapnya dari celah pintu."Kau harus sembuh, Ara. Aku tau kau wanita kuat." Guman Ehan.Ehan tak sadar, jika dari jauh Fathur memperhatikannya, dia menahan pengawal Daffa yang akan mengusirnya."Biarkan saja, suaminya itu tak akan melukainya,""Tapi, Pak, Tuan Daffa bilang...""Asal kau tutup mulut, Daffa tak akan tau jika Ehan datang, berikan dia kesempatan untuk melihat istrinya, dua menit lagi kita akan kesana." Ucap Fathur sambil melirik jam tangannya.Dua pengawal berbadan besar itu pun mengangguk. Fathur kembali
"Fathur... jawab Ayah, apa kau tahu sesuatu?" Tanya Ayahnya dengan tegas.Sorot matanya begitu tajam, membuat Fathur menunduk.Tut... Tut... Tut...Bunyi monitor menyadarkan Fathur jika mereka sedang dalam ruang rawat Ara."Ayah, nanti Fathur telepon lagi, kulihat jari Ara bergerak."Panggilan diputus oleh Fathur secara sepihak, karena dia tak ingin lebih banyak diinterogasi, dia tak ingin ayahnya ikut campur, Fathur ingin menyelesaikannya sendiri."Ara... bangunlah, banyak yang mengkhawatirkanmu."Ting...Sebuah pesan masuk dari Daffa.[Bang, Anak buahku sudah menemukan Dinda, apa kau juga ingin bertemu dengannya?][Tentu, jangan kau habisi dia, aku ingin bertemu gadis ular itu,][Ok.]Fathur menyeringai, lalu dia beranjak dari duduknya, sebelum keluar dia mengecup pucuk kepala Ara yang ditutup perban.'Sembuhlah cinta, bumimu sedang menunggu...' Lirih Fathur.Dengan cepat Fathur keluar, dia menitipkan Ara pada Oom dan Bibinya dengan pengawasan ketat. Fathur hanya mengatakan jika di
"Kak... Aku sudah menamparnya, Kak." Daffa terisak.Hati Daffa seakan terkoyak mengingat Ara yang belum juga sadar, kaki nya lemas dan akhirnya luruh ke lantai. Trauma ledakan pesawat yang menewaskan ayah bundanya membuatnya takut kehilangan Ara. Kakak wanita itu lah, yang selalu menguatkan, awalnya Daffa tak mengerti kenapa dia di sembunyikan dan di asuh Om Reno, namun seiring perjalanan waktu, Daffa faham jika Ara ingin melindunginya dari orang-orang yang mengincar harta Ayahnya.Daffa menunduk menutup wajahnya diatas tumpuan kaki, dia terisak sendiri di ruangan kosong itu, Pengawal dan Om Reno membiarkannya saja, mereka sangat faham betapa sedihnya Daffa saat ini. Suara kaki berlari terdengar, membuat Om Reno langsung menyongsongnya, dia memberitahu jika Daffa butuh waktu sendiri, disana rupanya Fathur sudah tiba, lelaki itu mengintip sedikit dari pintu yang terbuka.'Tenang saja, Daffa. Aku akan membalas semuanya.' Fathur melangkah, menuju ruangan yang bercat putih, disana Dind
Dengan gundah Ehan menunggu balasan dari temannya yang ahli IT.Ting.Satu pesan masuk di ponselnya, "Bandung..." Lirih Ehan.Dia melirik jam dinding, sudah tengah malam, tidak akan ada penerbangan ke Bandung malam-malam begini, Ehan berselancar di gawainya, di bukanya aplikasi pembelian tiket, dia mencari penerbangan pertama tanpa transit ke Jakarta dulu, Akhirnya dia dapat.Ehan tersenyum, "Semoga kau memaafkan aku, Ara."Ehan kembali mencoba menghubungi Dinda, tetap saja nomornya tidak aktif. Ehan bingung, tak pernah Dinda menghilang begitu, apa yang membuat wanita itu pergi begitu saja, Ehan kecewa, dia kira wanita itu mencintainya dengan tulus.Seperti itulah, cinta orang ketiga, tak seindah cinta wanita yang sudah bergelar istri, Ehan kembali membaringkan tubuhnya, sesak di dadanya sedikit berkurang, esok dia harus ke Bandung dan menemukan Dinda untuk mempertanggung jawabkan semua yang sudah dia perbuat.---Di Kamar Rumah sakit, Ara masih terbaring. Dia mulai mendengar suara de
'Ke Bandung... Dari mana Ehan tahu jika Dinda di Bandung?' Batin Fathur.Rudy beranjak dari sisi Fathur, dia kembali ke kamar, lalu mengajak istrinya untuk pulang terlebih dahulu. "Mama pulang dulu ya, Nak. Besok pagi akan datang lagi, kau mau makan apa?"Ara hanya menggeleng, "Mama, istirahat saja, tak usah risaukan Ara, ada Daffa yang menungguku." Lirih Ara. Wardah tersenyum dan mengusap kepala Ara, kedua mertuanya pun pulang dengan dikawal anak buah Daffa.---Fathur masih duduk disamping Ara, dia memandang wajah Ara yang masih terlihat pucat, setelah diskusi dengan Daffa, pria muda itu langsung kembali ke Bandung, untuk mengatasi Dinda. Mereka tak mau gagal untuk menangkap Aldo hanya karena kedatangan Ehan disana. Dan Fathur bertugas untuk menjaga Ara.Lelaki bertubuh tegap itu terus menciumi tangan Ara, digenggamnya dengan erat. Fathur berharap Ara cepat mengingatnya. "Ara... aku merindukanmu." Lirih Fathur. Hati Fathur seperti ada yang hilang. Netranya terus menatap wajah Ar
Pedagang cilok itu mengeluarkan tanda pengenalnya, Ehan melirik sekilas."Jika anda kooperatif, aku akan membebaskan mu Pak Ehan. Jadi tolong, diam saja disini, jangan merusak rencana kami."Ehan terdiam. 'Arrggghhh... awas saja kau Dinda, jika benar kau bersengkokol dengan Aldo untuk menyelakai Ara, aku tak akan memaafkanmu."Batin Ehan mengepalkan tangan. Gavin kembali memberi informasi jika Ehan sudah di amankan. --- Jantung Dinda berdegup kencang, dia menggenggam ujung bajunya dengan kuat, Dinda sangat tahu bagaimananya bringasnya seorang Aldo, lelaki yang selalu meneror dan mengancamnya. Daffa dan kepala tim Kompol Andika berada di ruangan yang berbeda, terlihat Aldo memandang rumah itu. 'Ini... sangat rapi, pintar juga wanita itu mencari tempat persembunyian.' Aldo melirik dua bodyguardnya dan securty rumah itu, meminta mereka pergi, tapi securty itu enggan meninggalkan ruang tamu. "Hei, aku pemilik rumah ini, jadi silahkan kamu keluar." Teriak Aldo. Sudah habis kesabar