"Fathur... jawab Ayah, apa kau tahu sesuatu?" Tanya Ayahnya dengan tegas.Sorot matanya begitu tajam, membuat Fathur menunduk.Tut... Tut... Tut...Bunyi monitor menyadarkan Fathur jika mereka sedang dalam ruang rawat Ara."Ayah, nanti Fathur telepon lagi, kulihat jari Ara bergerak."Panggilan diputus oleh Fathur secara sepihak, karena dia tak ingin lebih banyak diinterogasi, dia tak ingin ayahnya ikut campur, Fathur ingin menyelesaikannya sendiri."Ara... bangunlah, banyak yang mengkhawatirkanmu."Ting...Sebuah pesan masuk dari Daffa.[Bang, Anak buahku sudah menemukan Dinda, apa kau juga ingin bertemu dengannya?][Tentu, jangan kau habisi dia, aku ingin bertemu gadis ular itu,][Ok.]Fathur menyeringai, lalu dia beranjak dari duduknya, sebelum keluar dia mengecup pucuk kepala Ara yang ditutup perban.'Sembuhlah cinta, bumimu sedang menunggu...' Lirih Fathur.Dengan cepat Fathur keluar, dia menitipkan Ara pada Oom dan Bibinya dengan pengawasan ketat. Fathur hanya mengatakan jika di
"Kak... Aku sudah menamparnya, Kak." Daffa terisak.Hati Daffa seakan terkoyak mengingat Ara yang belum juga sadar, kaki nya lemas dan akhirnya luruh ke lantai. Trauma ledakan pesawat yang menewaskan ayah bundanya membuatnya takut kehilangan Ara. Kakak wanita itu lah, yang selalu menguatkan, awalnya Daffa tak mengerti kenapa dia di sembunyikan dan di asuh Om Reno, namun seiring perjalanan waktu, Daffa faham jika Ara ingin melindunginya dari orang-orang yang mengincar harta Ayahnya.Daffa menunduk menutup wajahnya diatas tumpuan kaki, dia terisak sendiri di ruangan kosong itu, Pengawal dan Om Reno membiarkannya saja, mereka sangat faham betapa sedihnya Daffa saat ini. Suara kaki berlari terdengar, membuat Om Reno langsung menyongsongnya, dia memberitahu jika Daffa butuh waktu sendiri, disana rupanya Fathur sudah tiba, lelaki itu mengintip sedikit dari pintu yang terbuka.'Tenang saja, Daffa. Aku akan membalas semuanya.' Fathur melangkah, menuju ruangan yang bercat putih, disana Dind
Dengan gundah Ehan menunggu balasan dari temannya yang ahli IT.Ting.Satu pesan masuk di ponselnya, "Bandung..." Lirih Ehan.Dia melirik jam dinding, sudah tengah malam, tidak akan ada penerbangan ke Bandung malam-malam begini, Ehan berselancar di gawainya, di bukanya aplikasi pembelian tiket, dia mencari penerbangan pertama tanpa transit ke Jakarta dulu, Akhirnya dia dapat.Ehan tersenyum, "Semoga kau memaafkan aku, Ara."Ehan kembali mencoba menghubungi Dinda, tetap saja nomornya tidak aktif. Ehan bingung, tak pernah Dinda menghilang begitu, apa yang membuat wanita itu pergi begitu saja, Ehan kecewa, dia kira wanita itu mencintainya dengan tulus.Seperti itulah, cinta orang ketiga, tak seindah cinta wanita yang sudah bergelar istri, Ehan kembali membaringkan tubuhnya, sesak di dadanya sedikit berkurang, esok dia harus ke Bandung dan menemukan Dinda untuk mempertanggung jawabkan semua yang sudah dia perbuat.---Di Kamar Rumah sakit, Ara masih terbaring. Dia mulai mendengar suara de
'Ke Bandung... Dari mana Ehan tahu jika Dinda di Bandung?' Batin Fathur.Rudy beranjak dari sisi Fathur, dia kembali ke kamar, lalu mengajak istrinya untuk pulang terlebih dahulu. "Mama pulang dulu ya, Nak. Besok pagi akan datang lagi, kau mau makan apa?"Ara hanya menggeleng, "Mama, istirahat saja, tak usah risaukan Ara, ada Daffa yang menungguku." Lirih Ara. Wardah tersenyum dan mengusap kepala Ara, kedua mertuanya pun pulang dengan dikawal anak buah Daffa.---Fathur masih duduk disamping Ara, dia memandang wajah Ara yang masih terlihat pucat, setelah diskusi dengan Daffa, pria muda itu langsung kembali ke Bandung, untuk mengatasi Dinda. Mereka tak mau gagal untuk menangkap Aldo hanya karena kedatangan Ehan disana. Dan Fathur bertugas untuk menjaga Ara.Lelaki bertubuh tegap itu terus menciumi tangan Ara, digenggamnya dengan erat. Fathur berharap Ara cepat mengingatnya. "Ara... aku merindukanmu." Lirih Fathur. Hati Fathur seperti ada yang hilang. Netranya terus menatap wajah Ar
Pedagang cilok itu mengeluarkan tanda pengenalnya, Ehan melirik sekilas."Jika anda kooperatif, aku akan membebaskan mu Pak Ehan. Jadi tolong, diam saja disini, jangan merusak rencana kami."Ehan terdiam. 'Arrggghhh... awas saja kau Dinda, jika benar kau bersengkokol dengan Aldo untuk menyelakai Ara, aku tak akan memaafkanmu."Batin Ehan mengepalkan tangan. Gavin kembali memberi informasi jika Ehan sudah di amankan. --- Jantung Dinda berdegup kencang, dia menggenggam ujung bajunya dengan kuat, Dinda sangat tahu bagaimananya bringasnya seorang Aldo, lelaki yang selalu meneror dan mengancamnya. Daffa dan kepala tim Kompol Andika berada di ruangan yang berbeda, terlihat Aldo memandang rumah itu. 'Ini... sangat rapi, pintar juga wanita itu mencari tempat persembunyian.' Aldo melirik dua bodyguardnya dan securty rumah itu, meminta mereka pergi, tapi securty itu enggan meninggalkan ruang tamu. "Hei, aku pemilik rumah ini, jadi silahkan kamu keluar." Teriak Aldo. Sudah habis kesabar
"Tahan, Pak Daffa, kita selesaikan di kantor polisi." Kata Kompol Andika.Dengan di borgol kedua tangannya, Aldo digiring ke kantor polisi bersama dua anggotanya, dari kejauhan Ehan menatap tiga mobil keluar dari rumah itu, pegangan tangannya mengerat di stir mobil.'Aldo... Kau dalangnya.'Mobil terakhir keluar, terlihat Dinda yang lemah, di mobil itu juga Daffa berada, pria muda itu melirik mobil putih yang dikendarai Ehan, dia abai saja. Daffa sudah tak ingin berurusan dengan Abang Iparnya. ---"Bagaimana? Apa sudah aman?" Tanya Fathur pada mata-mata nya."Sudah, bos. Mereka sudah di bawa ke kantor polisi, hanya... wanita itu ada bersama pak Daffa.""Baik, kau ikuti Daffa, jaga jarak. Jangan sampai ketahuan.""Siap, Boss."Fathur menghela nafas, menyimpan ponselnya kembali di saku'Aku tak akan diam, jika hanya Aldo yang di penjara, Daffa. Sebenarnya apa yang akan kau lakukan pada Dinda. Rasanya, ingin sekali menampar wanita sialan itu.'Fathur kembali ke dalam ruang rawat, Ara se
Ehan menatap langit Pekanbaru dengan sendu.'Ara... semoga kau menerimaku kembali.'Wardah melirik anaknya dengan tatapan yang sulit di artikan. Iba, tentu saja, tapi itulah konsekuensi yang harus dia terima karena telah menyia-nyiakan istrinya.---Dinda termangu di depan jendela, kata demi kata yang terlontar dari mulut Daffa seakan menamparnya, dia mengusap perutnya, beberapa hari yang lalu dia mual dan muntah-muntah, para pengawal membawanya ke klinik terdekat, dan dia positif hamil.Dinda menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya, sesal yang semakin membuncah menyiksa batin, dia ingin sekali menghubungi Ehan, memberi tahu jika ada janin dalam perutnya, dulu... dia sangat menginginkan bayi ini, agar Ehan bercerai dari Ara.Namun, saat ini nyalinya ciut, dia sangat malu untuk berjumpa dengan Ehan. Dinda menunduk mengusap air mata yang menetes, saat ini dia tinggal di sebuah kontrakan sederhana di daerah Jakarta Selatan, Daffa sengaja menjauhkan Dinda dari Ehan, selain
"Aku merindukanmu." Lirih Fathur.Kemudian dia memeluk Ara dengan hangat, Ara tak menolaknya, dia pun merasakan kerinduan yang sama, entah kenapa berada disisi Fathur hatinya begitu nyaman.Ara memejamkan mata, menikmati setiap helaan nafas Fathur yang terdengar teratur, pelukan itu membuat Ara meleleh, begitu hangat dan...Menenangkan.Keduanya saling berpelukan, Fathur mengusap kepala Ara, dua hari tak bertemu rasanya satu tahun.Disisi lain, Elma mendengar percakapan mereka, dia tersenyum menyeringai."Umpan yang bagus, Maafkan aku, Ara." Kekeh Elma. Dia kembali ke kamarnya, tadi dia sangat suntuk dan ke lantai dua, tak sengaja melihat Fathur masuk ke kamar Ara yang terbuka, dengan cepat Elma ke balkon samping kamar Ara.Meski tak terlihat, tapi dari pembicaraan mereka Elma bisa menebak, jika Ara dan Fathur memiliki hubungan spesial.Elma masih mondar-mandir memikirkan cara untuk membuat Ehan benar-benar pisah dari istrinya, dia memegang dagunya sesekali memejamkan mata. 'Bagaimana
Ehan sadar, jika dia telah membuat keluarganya malu, Ehan menatap ke luar jendela, menikmati siang hari dari tempat duduknya, cafe kenangan yang membuatnya lebih rileks. Dulu, setiap kunjungan ke Bandung, Ehan selalu mampir ke Cafe kenangan, dan bayangan Ara tentu saja selalu hadir. Ehan membuka gawai dan melihat status sosial media kakak kandungnya, dia tersenyum. Gambar di ponsel itu memperlihatkan semuanya jika mantan istrinya saat ini lebih bahagia dengan keluarga barunya. 'Aku senang melihatmu bahagia, Ra...' Batin Ehan.Ehan menyimpan ponselnya dan tersenyum pada Dinda, keduanya makan dalam keheningan.---Tak terasa sudah hampir empat bulan Ghazy terlahir di dunia, hari-hari Ara lebih berwarna, apalagi bayi laki-laki itu sudah pandai tengkurap dengan sendiri, membuat Ara semakin gemas. Begitu juga dengan Rayyan, dia sekarang pulang lebih cepat hanya ingin mencium anak semata wayangnya itu.Pagi ini Ara sengaja mengajak keluarga kecilnya berlibur, sudah lama Ara ingin menikm
"Tak apa jika kau tak mau mengundang nya, cinta. Abang hanya ingin menjaga silaturahmi saja, apalagi dia masih sepupuku." Kata Rayyan."Tapi, aku sudah memberi tahu kak Elma, Bang. Jika... mereka juga di undang, hanya saja aku tak bisa menyampaikan nya." "Ah ia... Tak apa, semoga saja Elma memberi tahu Ehan." Ujar Rayyan mengusap pucuk kepala Ara. Daffa mencebik saja, kenapa sepasang suami istri di hadapannya itu selalu membuat cemburu. Jiwa jomblonya meronta-ronta ingin menikah juga. Tapi, Daffa masih menanti seorang gadis.---Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba, Semua keluarga besar hadir, setelah mengadakan acara pengajian, kini mereka membuat acara aqiqah dan undangannya di khususkan untuk anak-anak yatim piatu. Ara membawa Ghazy ke pangkuannya, dia sangat bahagia melihat anak-anak panti asuhan makan dengan lahap, dia kembali mengenang masa-masa sulit, dulu ingin sekali mengadopsi anak, tapi mantan suaminya selalu menolak. Dan Ara tak bisa membantahnya, saat ini dia bisa mewu
Dia beranjak dan membersihkan diri, kemudian membuka ponsel, terdapat banyak pesan masuk dan telepon dari Rudy begitu juga Elma. Dinda membacanya satu persatu, bibirnya menyunggingkan senyum. "Sebaiknya aku ajak Mas Ehan ke Jakarta melihat si bayi kecil. Tapi..."Dinda menoleh, menatap wajah Ehan yang tidur dengan nyenyak, ragu. Takut jika Ehan kembali mengingat Ara atau merasa berkecil hati karena saat dengannya dulu Ara tak juga hamil. Wanita itu mendesah lesu, bingung dengan keadaan yang sebenarnya sudah mulai membaik, hanya saja dia tak ingin membuka luka hati Ehan.---Di Jakarta, Daffa sang adik sudah menyiapkan box khusus bayi, sengaja dia pesan dari luar negeri untuk keponakannya, Daffa mengarahkan para pekerja untuk mendekor ruangan itu dengan cepat, Dia sangat senang menyambut keponakannya. Apalagi, Ara dan Rayyan akhirnya pindah ke Daffa Residence, tentu saja Daffa menyiapkan satu unit rumah yang terbaik untuk kakaknya. Ara memperhatikan adik semata wayangnya, dia bers
Plaaak... Ara memukul pundak Rayyan pelan, "Ada-ada saja, aku baru seminggu melahirkan lo, Bang. Kau harus puasa empat puluh hari." Kata Ara tertawa. Rayyan mendesah lesu, memikirkannya saja dia sudah kesal, tapi demi Ara dia tak akan berpaling meski hasrat menggebu ingin dituntaskan. "Aku akan sabar menunggumu, cinta." Bisik Rayyan Keduanya pun tertawa, bayi kecil mengeliat seakan meminta perhatian juga, tak lama suara tangis bayi terdengar, membuat Rayyan terkekeh. "Apa kau cemburu, boy? Ayah hanya merindukan ibunda mu saja, cinta ayah padamu lebih besar." Kata Rayyan. Ara hanya geleng-geleng kepala, ajaibnya Ghazy terdiam, dia memandang manik ayahnya, Rayyan pun tersenyum, pandangan si kecil membuat hati Rayyan terenyuh. "Semoga dia tumbuh menjadi lelaki yang hebat dan Sholeh. Cepat besar ya, nak... Ayah akan mengajakmu keliling dunia." ---Acara aqiqah sudah dipersiapkan Reno, di rumah Ara dan Rayyan, tepatnya di Anggara Residence, setelah pindah dari Pekanbaru kini mereka
"Anakku..." Lirih Ara."Selamat datang ke dunia Ghazy al Fatih..." Ucap Rayyan semangat.Ara hanya tertawa, tawa yang selama ini dia tunggu, melihat suaminya dengan wajah yang begitu bahagia karena kehadiran seorang anak.'Terimakasih Ya Allah... Engkau titipkan ia pada kami.' Rayya mencium kening Ara bergantian mencium anaknya, Ara pun menyusui anaknya, dengan di bantu seorang suster, dia pun merasakan betapa sempurnanya menjadi seorang wanita.---Berita kelahiran Rayyan junior membuat semua karyawan Anggara Group bersuka cita, dengan cepat Manager Famili karaouke membuat persiapan dalam menyambut sang bayi ke rumah tuannya.Tak kalah heboh, Pras sang kakek langsung terbang dari Suawesi ke Jakarta untuk melihat cucu pertamanya, Pras membawa banyak hadiah, apalagi cucu pertamanya seorang lelaki, berkali-kali Pras meneteskan air matanya karena haru.Sesampainya di rumah sakit, dia langsung masuk dan memeluk Rayyan."Selamat, Boy. Kau sudah menjadi Ayah sekarang." Ucap Pras menepuk-ne
Ara lega, jika Daffa sudah bisa mengendalikan kontrol emosinya terhadap keluarga Elma. Dilihatnya Elma dan Adam yang tersenyum bahagia, Ara pun dapat merasakannya. Dia tak ingin merasakan dendam yang berlebihan, bagi Ara semua itu akan sia-sia hanya karena dendam. Toh, Allah sudah membalas apa yang mereka lakukan.Daffa menghempaskan tubuhnya di atas shofa, lalu memijat pelipis yang terasa berat. AKhir-akhir ini pikirannya terkuras dengan banyaknya pekerjaan yang tertunda. Beruntung dia memiliki asisten yang selalu setia mendampinginya.'Apa aku butuh sekretaris satu lagi ya? ah... rasanya kepalaku mau pecah.' Batin Daffa.Lelaki muda itu pun terlelap di shofa kantornya, hari ini tubuhnya memang sangat lelah.---Ara terbangun saat alarm ponselnya berbunyi, dia menelisik wajah suami disampingnya, tidurnya sangat nyaman dan nafasnya teratur. Tadi malam, Rayyan seakan-akan melampiaskan segala kerinduannya karena sudah beberapa minggu tak mendapat jatah.Ara membelai wajah Rayyan, kemudi
"Aw, sakit cinta... Abang kan ingin memenuhi keinginan anak kita, dia ingin ayahnya menjenguknya, sayang." Kata Rayyan tersenyum jahil.Ara pu tertawa, Rayyan memang sudah merindukan Ara, setelah rentetan kejadian mereka belum pernah melakukan ritual suami istri lagi, dan malam ini Rayyan menginginkannya. Dengan pasrah Ara melayani suaminya, apalagi dia juga merindukan sentuhan sang suami.Ara memandang wajah suaminya yang terlelap, dia mengusap lembut wajah Rayyan dan menyunggingkan senyum, berlahan mendekat dan memeluk suaminya dengan erat. Malam ini, dia seperti kehilangan kendali, bukan hanya Rayyan yang merindukannya, tapi Ara lebih merindukan belaian suaminya itu.---Satu bulan berlalu...Kandungan Ara sudah semakin membesar, hari ini dia sengaja mendatangi Daffa di kantornya, sekaligus memantau perkembangan perusahaan peninggalan ayahnya itu. Di lobi, tanpa sengaja dia melihat Elma bersama Adam dan juga seorang asisten, Ara pun mendekat."Mbak El..." Sapa Ara ramah.Elma menol
Ara hanya menunggu dari mobil, dia memperhatikan sekitar, dengan senyuman joker Ara turun dari mobil dan duduk disisi penjual sekoteng. Ara memesan satu gelas dan menikmati minuman hangat tersebut. Sedangkan suaminya masih menunggu pesanan mi goreng.Saat Rayyan hendak kembali, dia melihat Ara sedang asik minum sambil tersenyum.'Hmmm... Memang aneh nih bumil, tadi katanya minta mi goreng, tapi dia nongkrong di tempat mamang sekoteng," Lirih Rayyan.Rayyan pun mendekati istrinya, melihat Ara menimati minuman hangat sambil terpejam membuat Rayyan bahagia, wajah Ara yang tenang seperti yang sangat dirindukan Rayyan. Beberapa minggu kemarin suasana hatinya memang tak baik. "Apa sekotengnya begitu nikmat? sampai-sampai tak sadar dengan kehadiran abang." Ara membuka mata dan memandang Rayyan, "Hmm... Sudah lama aku tak menikmati suasana malam seperti ini, Bang. Dulu... saat kuliah aku sering nongkrong bersama teman-temanku, menikmati angin malam sambil berbagi cerita. Semua itu sirna set
"Semoga saja, Aldo dan Albert sadar setelah kejadian ini." Kata Sebastian, Sebagai asisten Daffa dia juga merasakan lelah, karena selalu merombak jadwal kerja Daffa yang harus bolak-balik Jakarta-Pekanbaru."Ya... Semoga saja." Ucap Daffa.Namun, Pras masih ragu, jika Aldo diam saja setelah ini, apalagi Albert adiknya juga sudah diserakan ke polisi. Dalam diam, lelaki paruh baya itu sudah meletakkan bodyguard untuk Ara dan Rayyan. Mereka akan mengawasi Ara dari jarak jauh, Pras tau Ara sangat tak nyaman jika ada orang yang mengawasinya. --- Di Penjara Aldo mendengus kesal, saat tahu jika Albert juga berada di sel tahanan yang sama. Setelah putusan dibacakan, Aldo hanya bisa pasrah dengan hukuman yang harus dia jalani. Namun, hatinya masih belum menerima kekalahan. Berbeda dengan Albert yang hanya terduduk lesu.Selama ini hidupnya mewah, bekerja sebagai ahli IT tentu membuatnya memiliki banyak uang, dia terbiasa hidup bebas, tapi semua itu hilang karena mengikuti keinginan kakaknya.