Sudah satu Minggu Ara belum juga sadar, pelarian Dinda pun belum juga di temukan, Ehan masih terus mencarinya, dia dilarang melihat istrinya oleh Daffa. Sesekali Ehan akan datang ke rumah sakit, dengan mengintip dari jauh, jika tak ada yang menjaga, lelaki itu akan mendekat dan melihat Ara dari kaca pintu.Hari ini, sebelum Ehan ke kantor dia menyempatkan diri melihat Ara, hatinya meringis saat banyak selang menempel di tubuhnya, mulutnya masih di tutup oksigen. Ehan menatapnya dari celah pintu."Kau harus sembuh, Ara. Aku tau kau wanita kuat." Guman Ehan.Ehan tak sadar, jika dari jauh Fathur memperhatikannya, dia menahan pengawal Daffa yang akan mengusirnya."Biarkan saja, suaminya itu tak akan melukainya,""Tapi, Pak, Tuan Daffa bilang...""Asal kau tutup mulut, Daffa tak akan tau jika Ehan datang, berikan dia kesempatan untuk melihat istrinya, dua menit lagi kita akan kesana." Ucap Fathur sambil melirik jam tangannya.Dua pengawal berbadan besar itu pun mengangguk. Fathur kembali
"Fathur... jawab Ayah, apa kau tahu sesuatu?" Tanya Ayahnya dengan tegas.Sorot matanya begitu tajam, membuat Fathur menunduk.Tut... Tut... Tut...Bunyi monitor menyadarkan Fathur jika mereka sedang dalam ruang rawat Ara."Ayah, nanti Fathur telepon lagi, kulihat jari Ara bergerak."Panggilan diputus oleh Fathur secara sepihak, karena dia tak ingin lebih banyak diinterogasi, dia tak ingin ayahnya ikut campur, Fathur ingin menyelesaikannya sendiri."Ara... bangunlah, banyak yang mengkhawatirkanmu."Ting...Sebuah pesan masuk dari Daffa.[Bang, Anak buahku sudah menemukan Dinda, apa kau juga ingin bertemu dengannya?][Tentu, jangan kau habisi dia, aku ingin bertemu gadis ular itu,][Ok.]Fathur menyeringai, lalu dia beranjak dari duduknya, sebelum keluar dia mengecup pucuk kepala Ara yang ditutup perban.'Sembuhlah cinta, bumimu sedang menunggu...' Lirih Fathur.Dengan cepat Fathur keluar, dia menitipkan Ara pada Oom dan Bibinya dengan pengawasan ketat. Fathur hanya mengatakan jika di
"Kak... Aku sudah menamparnya, Kak." Daffa terisak.Hati Daffa seakan terkoyak mengingat Ara yang belum juga sadar, kaki nya lemas dan akhirnya luruh ke lantai. Trauma ledakan pesawat yang menewaskan ayah bundanya membuatnya takut kehilangan Ara. Kakak wanita itu lah, yang selalu menguatkan, awalnya Daffa tak mengerti kenapa dia di sembunyikan dan di asuh Om Reno, namun seiring perjalanan waktu, Daffa faham jika Ara ingin melindunginya dari orang-orang yang mengincar harta Ayahnya.Daffa menunduk menutup wajahnya diatas tumpuan kaki, dia terisak sendiri di ruangan kosong itu, Pengawal dan Om Reno membiarkannya saja, mereka sangat faham betapa sedihnya Daffa saat ini. Suara kaki berlari terdengar, membuat Om Reno langsung menyongsongnya, dia memberitahu jika Daffa butuh waktu sendiri, disana rupanya Fathur sudah tiba, lelaki itu mengintip sedikit dari pintu yang terbuka.'Tenang saja, Daffa. Aku akan membalas semuanya.' Fathur melangkah, menuju ruangan yang bercat putih, disana Dind
Dengan gundah Ehan menunggu balasan dari temannya yang ahli IT.Ting.Satu pesan masuk di ponselnya, "Bandung..." Lirih Ehan.Dia melirik jam dinding, sudah tengah malam, tidak akan ada penerbangan ke Bandung malam-malam begini, Ehan berselancar di gawainya, di bukanya aplikasi pembelian tiket, dia mencari penerbangan pertama tanpa transit ke Jakarta dulu, Akhirnya dia dapat.Ehan tersenyum, "Semoga kau memaafkan aku, Ara."Ehan kembali mencoba menghubungi Dinda, tetap saja nomornya tidak aktif. Ehan bingung, tak pernah Dinda menghilang begitu, apa yang membuat wanita itu pergi begitu saja, Ehan kecewa, dia kira wanita itu mencintainya dengan tulus.Seperti itulah, cinta orang ketiga, tak seindah cinta wanita yang sudah bergelar istri, Ehan kembali membaringkan tubuhnya, sesak di dadanya sedikit berkurang, esok dia harus ke Bandung dan menemukan Dinda untuk mempertanggung jawabkan semua yang sudah dia perbuat.---Di Kamar Rumah sakit, Ara masih terbaring. Dia mulai mendengar suara de
'Ke Bandung... Dari mana Ehan tahu jika Dinda di Bandung?' Batin Fathur.Rudy beranjak dari sisi Fathur, dia kembali ke kamar, lalu mengajak istrinya untuk pulang terlebih dahulu. "Mama pulang dulu ya, Nak. Besok pagi akan datang lagi, kau mau makan apa?"Ara hanya menggeleng, "Mama, istirahat saja, tak usah risaukan Ara, ada Daffa yang menungguku." Lirih Ara. Wardah tersenyum dan mengusap kepala Ara, kedua mertuanya pun pulang dengan dikawal anak buah Daffa.---Fathur masih duduk disamping Ara, dia memandang wajah Ara yang masih terlihat pucat, setelah diskusi dengan Daffa, pria muda itu langsung kembali ke Bandung, untuk mengatasi Dinda. Mereka tak mau gagal untuk menangkap Aldo hanya karena kedatangan Ehan disana. Dan Fathur bertugas untuk menjaga Ara.Lelaki bertubuh tegap itu terus menciumi tangan Ara, digenggamnya dengan erat. Fathur berharap Ara cepat mengingatnya. "Ara... aku merindukanmu." Lirih Fathur. Hati Fathur seperti ada yang hilang. Netranya terus menatap wajah Ar
Pedagang cilok itu mengeluarkan tanda pengenalnya, Ehan melirik sekilas."Jika anda kooperatif, aku akan membebaskan mu Pak Ehan. Jadi tolong, diam saja disini, jangan merusak rencana kami."Ehan terdiam. 'Arrggghhh... awas saja kau Dinda, jika benar kau bersengkokol dengan Aldo untuk menyelakai Ara, aku tak akan memaafkanmu."Batin Ehan mengepalkan tangan. Gavin kembali memberi informasi jika Ehan sudah di amankan. --- Jantung Dinda berdegup kencang, dia menggenggam ujung bajunya dengan kuat, Dinda sangat tahu bagaimananya bringasnya seorang Aldo, lelaki yang selalu meneror dan mengancamnya. Daffa dan kepala tim Kompol Andika berada di ruangan yang berbeda, terlihat Aldo memandang rumah itu. 'Ini... sangat rapi, pintar juga wanita itu mencari tempat persembunyian.' Aldo melirik dua bodyguardnya dan securty rumah itu, meminta mereka pergi, tapi securty itu enggan meninggalkan ruang tamu. "Hei, aku pemilik rumah ini, jadi silahkan kamu keluar." Teriak Aldo. Sudah habis kesabar
"Tahan, Pak Daffa, kita selesaikan di kantor polisi." Kata Kompol Andika.Dengan di borgol kedua tangannya, Aldo digiring ke kantor polisi bersama dua anggotanya, dari kejauhan Ehan menatap tiga mobil keluar dari rumah itu, pegangan tangannya mengerat di stir mobil.'Aldo... Kau dalangnya.'Mobil terakhir keluar, terlihat Dinda yang lemah, di mobil itu juga Daffa berada, pria muda itu melirik mobil putih yang dikendarai Ehan, dia abai saja. Daffa sudah tak ingin berurusan dengan Abang Iparnya. ---"Bagaimana? Apa sudah aman?" Tanya Fathur pada mata-mata nya."Sudah, bos. Mereka sudah di bawa ke kantor polisi, hanya... wanita itu ada bersama pak Daffa.""Baik, kau ikuti Daffa, jaga jarak. Jangan sampai ketahuan.""Siap, Boss."Fathur menghela nafas, menyimpan ponselnya kembali di saku'Aku tak akan diam, jika hanya Aldo yang di penjara, Daffa. Sebenarnya apa yang akan kau lakukan pada Dinda. Rasanya, ingin sekali menampar wanita sialan itu.'Fathur kembali ke dalam ruang rawat, Ara se
Ehan menatap langit Pekanbaru dengan sendu.'Ara... semoga kau menerimaku kembali.'Wardah melirik anaknya dengan tatapan yang sulit di artikan. Iba, tentu saja, tapi itulah konsekuensi yang harus dia terima karena telah menyia-nyiakan istrinya.---Dinda termangu di depan jendela, kata demi kata yang terlontar dari mulut Daffa seakan menamparnya, dia mengusap perutnya, beberapa hari yang lalu dia mual dan muntah-muntah, para pengawal membawanya ke klinik terdekat, dan dia positif hamil.Dinda menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya, sesal yang semakin membuncah menyiksa batin, dia ingin sekali menghubungi Ehan, memberi tahu jika ada janin dalam perutnya, dulu... dia sangat menginginkan bayi ini, agar Ehan bercerai dari Ara.Namun, saat ini nyalinya ciut, dia sangat malu untuk berjumpa dengan Ehan. Dinda menunduk mengusap air mata yang menetes, saat ini dia tinggal di sebuah kontrakan sederhana di daerah Jakarta Selatan, Daffa sengaja menjauhkan Dinda dari Ehan, selain