Pagi-pagi buta Jehan sibuk membawakan berbagai keperluan sekolah milik Sei yang dititipkan kepadanya. Sagara hanya memberikan uang untuk Jehan membeli seragam, tas, dan buku paket yang diperlukan Sei di sekolah barunya. "Udah semua?" Tanya Sagara memastikan. "Aku jamin. Semuanya udah ada di sini," Jehan meletakkan semuanya di ruang tamu. Sagara menyuruh kekasihnya yang sudah bekerja keras untuk duduk di sofa. Mengetuk pintu kamar adiknya, Sagara mendapati adiknya sedang merapikan rambut. Sei sudah berpakaian seragam dengan sangat rapi dan cantik. "Dek, ada sesuatu di bawah." Ujar Sagara masuk ke kamar adiknya. Sei berhenti menyisir rambut. Kakaknya ikut berdiri di hadapan cermin dan menatap Sei aneh. "Kak Regan di bawah?" Tanya Sei semangat. Sagara berlagak muntah saat adiknya menyebut nama Regan. "Najis banget," "Ih, apa sih?" "Di bawah ada sesuatu buat kamu. Gih liat aja." Ujar Sagara akhirnya membuat Sei yakin untuk turun dan melihat sesuatu untuknya. "Loh? Kak Jehan pagi-p
Melangkah masuk ke dalam rumah sakit, Sagara mengandeng tangan adiknya yang masih takut-takut untuk bertemu dengan dokter. Berusaha meyakinkan Sei untuk mau ke rumah sakit juga bukan hal yang mudah, ia terus mencari alasan untuk tidak pergi mulai dari kerja kelompok sampai sakit. "Ayo dek, kakak temenin. Sampe ketemu dokter, beneran." Ujar Sagara saat Sei berdiri agak menjauh darinya di meja pendaftaran. Sei tidak mau cek ke dokter lagi sebenarnya. Gadis itu takut nanti hasilnya akan mengecewakan. Terakhir kali ia dibawa rumah sakit bahkan surat hasil lab tidak ia baca. Sejak masih kecil Sei sudah sering keluar masuk rumah sakit. Saat berumur tujuh tahun tanpa Sei tahu, Tante dan kakaknya sering membawanya ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Mengidap penyakit yang sama dengan ibunya, saat masih kecil hanya Sagara dan adik dari mendiang ibunya saja yang pusing memikirkan keadaan Sei. Anak kecil itu masih sangat lugu dan menurut saja saat diberi banyak obat. Setelah tahu penyakit a
Sei meneguk ludah susah saat melihat hasil lab ada di meja tengah. Di depan TV, tempat Sagara sedang tertidur dengan TV menyala. Pasti Sagara sudah membuka file itu. Sei yakin sekali. Malam ini ia membatalkan rencana pergi menonton bersama Regan. Dikarenakan lelah dan susah mendapat ijin dari Sagara, Sei mau tak mau membicarakan hal itu pada kekasihnya. Beruntung Regan langsung mengiyakan tanpa marah sedikitpun. Menimang antara mau membuka file itu atau tidak, Sei masih sibuk berpikir di samping sofa tempat Sagara tertidur. Melihat wajah tampan kakaknya yang sangat tenang membuat keberanian Sei mulai muncul. Dengan sedikit suara, Sei mengambil berkas itu dari meja dan berbalik ke atas. Antara mau membuka atau tidak, apabila ia buka dan hasilnya sangat tidak sesuai harapan maka ia takut akan bagaimana perasaannya. Sei mengunci kamarnya dan duduk di kasur dengan tangan membolak-balik file itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dengan batinnya sendiri Sei membuka berkas itu dengan
Hujan deras sudah menjadi sebab kegelisahan Sagara pagi ini. Ia berniat untuk menggunakan motor untuk berangkat sekolah supaya lebih cepat, nanti pulang sekolah juga ia dikejar waktu untuk mengantar Jehan. Sementara Sei sedang sibuk menyiapkan bekal untuk makan siang, beda lagi Sagara. Lelaki itu sangat malas jika pagi-pagi sudah sibuk di dapur dan membuat bekal. Ia memilih menunggu adiknya di mobil saja. Merasa bosan, Sagara memainkan musik slow di mobilnya. Seleranya sangat mirip dengan Jehan. Lagu-lagu yang mereka dengarkan sering sama. Saat melihat adiknya keluar rumah dengan paper bag di tangannya, lelaki itu segera menarik payung di bangku belakang dan keluar mobil. Ia menghampiri Sei yang sedang mencari payung dan memayungi adiknya sampai ke dalam mobil. Tiap langkah dari Sei begitu diperhatikan Sagara takut adiknya terpeleset dan jatuh. Setelah memastikan Sei sudah masuk ke mobil tanpa kebasahan, Sagara memutari mobil dan masuk ke dalam. Lelaki itu melajukan mobilnya denga
Sagara sibuk berkutat dengan tugas-tugas yang tak pernah berhenti. Kelas 12 sangat banyak kerja kelompok,tugas individu, dan praktikum yang membuat kepalanya hampir pecah. Setelah tadi siang mendapatkan chat dari Sei bahwa ia sedang pusing, Sagara langsung mengajaknya pulang tapi Sei menolak. Alhasil Sagara membawa Sei ke UKS dan kembali ke kelas saat latihan Regan sudah selesai.Memang Sei yang tidak mau ditemani oleh Regan, Sagara juga setuju. Setelah memastikan adiknya sudah istirahat dan minum obat, Sagara kembali sibuk dengan urusannya. Handphone milik Sei juga sementara harus Sagara ambil karena takut akan bertelfon dengan Regan lalu berujung Sei kurang istirahat. "Duh, susah banget sih mereka diajak cepet-cepet. Udah mepet deadline padahal," cerocos Sagara sendiri di ruang tamu. Tangannya terus mencari kontak WhatsApp teman kelompoknya dan menelfonnya satu-satu. Di tengah keributan yang Sagara alami, Jehan menelfonnya seperti biasa. Namun tak disangka, Sagara justru mengaba
"Guys, hari ini ga sama guru ya! Kita suruh game aja!" Teriak sang ketua kelas kepada teman-temannya di lapangan. Sei sangat bersyukur karena ia hanya perlu pemanasan tanpa olahraga lanjutan. Sei yang habis pemanasan langsung duduk di pinggir lapangan dengan wajah pucat. Cewek itu menarik rambutnya untuk meringankan sakit. "Lo gapapa?" Tanya seorang cowok berambut hitam berjambul yang sedang memegang bola basket bernama Dewa. Sei menengadah melihat siapa yang bicara. Ia belum kenalan dengan orang ini. Hanya mendapat senyuman singkat dari Sei, lelaki itu duduk di sampingnya untuk memastikan Sei baik-baik saja. Sadar lelaki itu duduk di sampingnya, Sei menatapnya dengan tatapan bingung. "Gak papa kok," ujar Sei meyakinkan. Walaupun keringat di tubuhnya tidak bisa bohong, tubuh lemasnya tak bisa berkompromi, Sei masih mempertahankan diri agar tidak tumbang. "Lo anak baru itu kan? Pacarnya atlet karate?" Sei mengangguk mengiyakan. Tak ada tenaga lagi, tubuh Sei hendak limbung ke ara
Regan mengerem mobilnya di depan rumah Sei. Lelaki itu lebih banyak diam semenjak percakapan mereka di pantai. Ia merasa sangat gagal mengajak Sei ke pantai. Mungkin lain kali Regan tidak akan mengajak Sei ke pantai lagi, lebih baik ke gunung atau mall sepertinya lebih menarik. Berhasil membuat mood Regan hancur sehancur hancurnya, Sei juga merasa bersalah. Ia ikut diam menghadapi sikap lelakinya. Setelah sekian lama Sei menunduk, gadis itu akhirnya menengadah melihat ke samping. Tampaknya Regan masih marah, cowok itu menatap kosong ke depan. "Kak," panggil Sei dengan takut. Regan menanggapinya dengan berdehem kecil. Sei melepas sabuk pengaman dan menyerong. "Aku minta maaf, jangan marah lagi ya? Aku seneng kok kemana pun asal sama kamu." Tegas Sei mencoba meyakinkan Regan. Namun lelaki itu tetap saja tidak bisa yakin. Ekspresi Sei terus terngiang. "Ya udah, kamu pulang terus istirahat." Ujar Regan datar. Mungkin Regan perlu waktu untuk sendiri, cewek itu mengangguk maklum dan k
Pukul setengah 6 pagi Sagara kembali masuk ke kamar Sei untuk memastikan Sei sudah bangun. Cowok itu melirik meja belajar, bahkan posisi piringnya masih sama persis seperti semalam. Sagara duduk di tepi ranjang, sedikit curiga karena posisi tidur Sei juga sama persis dengan terakhir kali ia masuk kamar. Sagara menggoyangkan tubuh adiknya. "Sa, kamu masih marah? Kok makanannya ga dimakan hmm?" "Dek?" Sagara menarik tubuh Sei agar menghadapnya. Lelaki itu terkejut melihat wajah pucat Sei, "Asa, kamu kenapa?" Tak ada respon apapun dari Sei, membuat Sagara semakin panik dibuatnya. "Bangun please, bangun!" "Ini ga lucu, please jangan buat Kakak takut," Sagara terus mencoba membuat Sei sadar tapi hasilnya nihil. Mata Sei tetap tertutup. Sagara segera turun mengeluarkan mobilnya. Lelaki itu meminta tolong Bi Ane untuk membuka gerbang depan rumah. Setelah itu Sagara kembali ke kamar Sei dan menggendong gadis itu ke mobil. Dengan bantuan Bi Ane di kursi belakang, Sagara melajukan mobiln