Hujan deras sudah menjadi sebab kegelisahan Sagara pagi ini. Ia berniat untuk menggunakan motor untuk berangkat sekolah supaya lebih cepat, nanti pulang sekolah juga ia dikejar waktu untuk mengantar Jehan. Sementara Sei sedang sibuk menyiapkan bekal untuk makan siang, beda lagi Sagara. Lelaki itu sangat malas jika pagi-pagi sudah sibuk di dapur dan membuat bekal. Ia memilih menunggu adiknya di mobil saja. Merasa bosan, Sagara memainkan musik slow di mobilnya. Seleranya sangat mirip dengan Jehan. Lagu-lagu yang mereka dengarkan sering sama. Saat melihat adiknya keluar rumah dengan paper bag di tangannya, lelaki itu segera menarik payung di bangku belakang dan keluar mobil. Ia menghampiri Sei yang sedang mencari payung dan memayungi adiknya sampai ke dalam mobil. Tiap langkah dari Sei begitu diperhatikan Sagara takut adiknya terpeleset dan jatuh. Setelah memastikan Sei sudah masuk ke mobil tanpa kebasahan, Sagara memutari mobil dan masuk ke dalam. Lelaki itu melajukan mobilnya denga
Sagara sibuk berkutat dengan tugas-tugas yang tak pernah berhenti. Kelas 12 sangat banyak kerja kelompok,tugas individu, dan praktikum yang membuat kepalanya hampir pecah. Setelah tadi siang mendapatkan chat dari Sei bahwa ia sedang pusing, Sagara langsung mengajaknya pulang tapi Sei menolak. Alhasil Sagara membawa Sei ke UKS dan kembali ke kelas saat latihan Regan sudah selesai.Memang Sei yang tidak mau ditemani oleh Regan, Sagara juga setuju. Setelah memastikan adiknya sudah istirahat dan minum obat, Sagara kembali sibuk dengan urusannya. Handphone milik Sei juga sementara harus Sagara ambil karena takut akan bertelfon dengan Regan lalu berujung Sei kurang istirahat. "Duh, susah banget sih mereka diajak cepet-cepet. Udah mepet deadline padahal," cerocos Sagara sendiri di ruang tamu. Tangannya terus mencari kontak WhatsApp teman kelompoknya dan menelfonnya satu-satu. Di tengah keributan yang Sagara alami, Jehan menelfonnya seperti biasa. Namun tak disangka, Sagara justru mengaba
"Guys, hari ini ga sama guru ya! Kita suruh game aja!" Teriak sang ketua kelas kepada teman-temannya di lapangan. Sei sangat bersyukur karena ia hanya perlu pemanasan tanpa olahraga lanjutan. Sei yang habis pemanasan langsung duduk di pinggir lapangan dengan wajah pucat. Cewek itu menarik rambutnya untuk meringankan sakit. "Lo gapapa?" Tanya seorang cowok berambut hitam berjambul yang sedang memegang bola basket bernama Dewa. Sei menengadah melihat siapa yang bicara. Ia belum kenalan dengan orang ini. Hanya mendapat senyuman singkat dari Sei, lelaki itu duduk di sampingnya untuk memastikan Sei baik-baik saja. Sadar lelaki itu duduk di sampingnya, Sei menatapnya dengan tatapan bingung. "Gak papa kok," ujar Sei meyakinkan. Walaupun keringat di tubuhnya tidak bisa bohong, tubuh lemasnya tak bisa berkompromi, Sei masih mempertahankan diri agar tidak tumbang. "Lo anak baru itu kan? Pacarnya atlet karate?" Sei mengangguk mengiyakan. Tak ada tenaga lagi, tubuh Sei hendak limbung ke ara
Regan mengerem mobilnya di depan rumah Sei. Lelaki itu lebih banyak diam semenjak percakapan mereka di pantai. Ia merasa sangat gagal mengajak Sei ke pantai. Mungkin lain kali Regan tidak akan mengajak Sei ke pantai lagi, lebih baik ke gunung atau mall sepertinya lebih menarik. Berhasil membuat mood Regan hancur sehancur hancurnya, Sei juga merasa bersalah. Ia ikut diam menghadapi sikap lelakinya. Setelah sekian lama Sei menunduk, gadis itu akhirnya menengadah melihat ke samping. Tampaknya Regan masih marah, cowok itu menatap kosong ke depan. "Kak," panggil Sei dengan takut. Regan menanggapinya dengan berdehem kecil. Sei melepas sabuk pengaman dan menyerong. "Aku minta maaf, jangan marah lagi ya? Aku seneng kok kemana pun asal sama kamu." Tegas Sei mencoba meyakinkan Regan. Namun lelaki itu tetap saja tidak bisa yakin. Ekspresi Sei terus terngiang. "Ya udah, kamu pulang terus istirahat." Ujar Regan datar. Mungkin Regan perlu waktu untuk sendiri, cewek itu mengangguk maklum dan k
Pukul setengah 6 pagi Sagara kembali masuk ke kamar Sei untuk memastikan Sei sudah bangun. Cowok itu melirik meja belajar, bahkan posisi piringnya masih sama persis seperti semalam. Sagara duduk di tepi ranjang, sedikit curiga karena posisi tidur Sei juga sama persis dengan terakhir kali ia masuk kamar. Sagara menggoyangkan tubuh adiknya. "Sa, kamu masih marah? Kok makanannya ga dimakan hmm?" "Dek?" Sagara menarik tubuh Sei agar menghadapnya. Lelaki itu terkejut melihat wajah pucat Sei, "Asa, kamu kenapa?" Tak ada respon apapun dari Sei, membuat Sagara semakin panik dibuatnya. "Bangun please, bangun!" "Ini ga lucu, please jangan buat Kakak takut," Sagara terus mencoba membuat Sei sadar tapi hasilnya nihil. Mata Sei tetap tertutup. Sagara segera turun mengeluarkan mobilnya. Lelaki itu meminta tolong Bi Ane untuk membuka gerbang depan rumah. Setelah itu Sagara kembali ke kamar Sei dan menggendong gadis itu ke mobil. Dengan bantuan Bi Ane di kursi belakang, Sagara melajukan mobiln
Sibuk merebahkan tubuhnya di sofa, tangan Regan tetap menscroll WhatsApp Sei. Ia menemukan beberapa informasi lagi tentang Sei. Beberapa saat lelaki itu merasa sangat sedih karena Sei yang dulunya sering diabaikan Sagara. Adapun satu nomer yang tidak dikenal terus meneror Sei. Lelaki itu membukanya dan melihat chatingan mereka. Orang itu sering sekali memaksa Sei untuk memberitahukan sesuatu. Regan terkekeh ngeri saat tahu siapa yang mengirimkan pesan seperti ini pada Sei. Siapa lagi kalau bukan ayah kandungnya, yang selalu meminta warisan mendiang istrinya yang kaya raya. Regan memblokir nomor itu, beralih ke chat grup kelas Sei. Ternyata Sei sangat kalem dan pendiam, ia sangat jarang komentar. Tok tok tok"Permisi Tuan," ujar seorang lelaki dari luar pintu. Regan berteriak "Masuk!" Regan duduk di sofa dan meletakkan handphone di meja. "Saya sudah menemukan semua tentang gadis yang Tuan maksud." Regan berdehem kecil dan mengode orang itu agar duduk. "Ini berkas medisnya," Rega
Kelas 12 IPA 3, kelas Regan. Sekitar lima hari lalu telah diumumkan bahwa akan diadakan lomba membuat film antar kelas. Karena Regan sudah menghilang beberapa hari, alhasil ia mendapatkan peran sisa. Mengerem motor warna merahnya di depan rumah Reno, Regan menyita banyak perhatian dari teman perempuannya. "Akhirnya... Dateng juga nih kutu rambut," ujar Gema menyambut kedatangan Regan yang super sibuk. Memasang wajah datar, Regan berdehem singkat dan melakukan tos dengan kawan-kawannya. "Jadi gimana? Tugas gue ngapain?" Tanya Regan mendudukkan dirinya di sofa empuk. Gema dan 10 teman yang lain berpikir keras. Hanya Regan saja yang belum ada di scene mereka. "Oh ya! Kan masih ada tukang ojek, Regan aja!" Ujar Reno exited sambil menepuk pundak Regan jenaka. Melihat wajah para temannya yang sangat memelas, Regan bisa apa. Ini konsekuensinya lepas tanggung jawab. "Ya udah deh, ayo!" Teriak Regan membakar semangat temannya. Semua bersorak gembira, mereka sempat berpikir Regan tak akan
Mata indah yang sudah seminggu tertutup itu kembali terbuka. Dengan alat-alat mengerikan di tubuhnya, geraknya tidak bisa leluasa. Ia menatap langit-langit kamar rawat. Seorang dokter langsung tergopoh-gopoh memeriksa tubuh Sei dengan serius. Sei menatap kakaknya yang setia menemaninya sejak hari pertama ia masuk rumah sakit. Sei sendiri tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya sampai harus dirawat di rumah sakit. Yang pasti, Sei merasa seperti orang linglung dan baru bangun tidur. Setelah dokter itu keluar dari ruangan dengan Jehan di belakangnya, Sagara duduk di kursi samping brankar lalu menggenggam erat tangan adiknya. Sei melepas alat bantu nafas di hidung dan mulutnya lalu berujar serak pada Sagara. "Haus," Cepat-cepat Sagara mengambil air di nakas dan membantu adiknya minum. Sei meneguk beberapa kali dan mengode kepada Sagara sudah cukup. Melihat wajah tampan kakaknya, Sei tak tahu akan bicara apa. "Apanya yang sakit?" Tanya Sagara mengulum senyum tipis. Ketika tangan Se