Cuaca yang mendung mengharuskan Jehan untuk segera pulang. Namun untuk sekarang ia masih tak mau bicara dengan Sagara. Pasti ia akan bertemu dengan Sagara kalau keluar kelas. Sikapnya masih super dingin walaupun kemarin ia menemani Sagara makan malam. Memikirkan tentang siapa perempuan yang kala itu menghampiri mereka membuat kepala Jehan hampir pecah. Ia terus menangis saat malam hari karena takut akan ditinggal Sagara. Sementara itu, Sagara yang mengetahui Jehan masih di dalam kelas melangkah keluar dari sekolah dan menelfon seseorang. Tanpa menunggu lama, Sagara mendapati telfonnya sudah tersambung. Iya kak? "Dimana?" Tanya Sagara dengan nada dingin. Rahangnya yang kokoh membuat banyak pasang mata melihat dan meliriknya. Memang, sekelas Sagara selalu diperhatikan dari ujung kepala hingga kaki. Aku udah pulang, kenapa kak? "Ke taman kota sekarang. Kita ketemu di sana." Pungkas Sagara langsung mematikan telfon itu. Di seberang sana, Sei kebingungan. Namun ia juga amat senangnya
"SEI?!" Panggil Regan panik dengan menenteng helm di tangannya. Sambil mengatur nafasnya, lelaki itu menyusuri taman mencari keberadaan gadisnya. Dalam pikirannya Sei sudah kesakitan dan tidak karuan, tak ada secercah pikiran positif. "Hikss," Isak tangis itu seolah menjadi pemanggil Regan. Lelaki itu menemuka Sei sedang duduk dan menenggelamkan wajahnya dalam tumpukan tangan. "Asa.." panggil Regan sangat lembut. Lelaki itu menarik wajah Sei perlahan. "Sei kamu kenapa bisa ada di sini?!" Tanya Regan tak sadar setengah teriak pada Sei. Gadis itu menatap Regan dengan mata sembabnya. Regan makin marah dibuatnya. Melihat Sei menangis lagi apalagi saat Sei sudah menjadi miliknya merupakan sebuah belati untuknya. "Kenapa ga bilang ke aku mau ke sini? Kan aku bisa nganterin kamu, Sa! Sekarang bilang siapa yang bikin kamu kaya gini?!" Untuk menjawab pertanyaan itu saja Sei tidak sanggup. Cewek itu masih saja menangis terisak walaupun sudah sangat lelah. "Siapa?" Ulang Regan sekali lagi.
Pukul setengah sembilan malam, Regan berpamitan memasuki kamarnya terlebih dulu karena merasa pusing dan bersin-bersin. Alya hanya bisa mengangguk dan menjaga Regan malam ini. Otaknya lelah memikirkan bagaimana bisa Regan mengetahui soal hubungannya dengan mantan kekasihnya. Memang, Regan tidak bisa dikendalikan.Alya pun sangat penasaran. Gadis seperti apa, sebaik apa, dan secantik apa yang mampu membuat Regan benar-benar bertekuk lutut seperti ini. Sudah menjadi rahasia umum kalau Regan dan Alya sudah menjalin hubungan perjodohan. Buktinya bahkan Sagara juga tahu-walaupun tidak kenal dengan Regan. Namun entah karena cewek yang menjadi pacar Regan itu mau menjadi simpanan atau bagaimana Alya tidak tahu.Membawa semangkuk air dan juga beberapa kain, Alya memasuki kamar Regan dengan hati-hati. Dilihatnya Regan yang terbalut selimut sambil tertidur resah. Alya memesan obat demam lewat ojek online. Sekitar lima menit lagi pasti sampai. Pembantu di rumah itu pun hanya bisa pasrah, Regan t
Sei mengetuk pintu rumah besar di hadapannya. Sehabis pulang sekolah ia langsung menuju ke rumah Regan. Bahkan ia sampai tidak bekerja hari ini untuk menjenguk Regan.Menunggu beberapa menit, akhirnya pintu itu dibukakan oleh seorang pembantu di rumah Regan. Dengan menyinggung senyuman sopan ibu itu menyapa Sei. "Sore Non, ada apa ya?"Sei tersenyum kikuk dan menjawab "Mau jenguk Kak Regan Bu, katanya lagi sakit ya?" Tanya Sei sopan. Sang pembantu itu segera membukakan pintu lebar dan mempersilakan Sei masuk. Gadis itu mengikuti arah kaki dan sampai di depan kamar Regan."Temennya Si Aden ya?" Tanya Bi Asih. Sei mengangguk membenarkan dan tersenyum manis.Tok tok..Bunyi dari luar pintu sama sekali tidak dihiraukan oleh orang yang ada di dalam. Regan hanya melirik ke arah pintu lalu kembali sibuk menelfon Sei."Saya aja Bi, nanti juga dibukain kok," ujar Sei menenangkan Bi Asih. Pembantu itu mengangguk dan berbalik. Di depan kamar Regan, Sei membuka data handphonenya dengan kesal samb
Karena keharusan penyerahan medali emas oleh dewan juri dan juga menjalani sesi foto bersama, akhirnya mau tak mau Regan harus mengesampingkan niatnya untuk mencari Sei. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Sangat campur aduk. Sehari sebelum pertandingan bahkan ia sudah berpesan kepada Sei untuk datang tapi nyatanya nihil. Hal itu membuat Regan tidak fokus sama sekali. Meskipun ada Alya yang menghadiri acara itu tapi tetap saja itu tidak ada bedanya baginya. "Pak, boleh saya pulang dulu?" Tanya Regan pada sang guru olahraga yang sedang berbincang dengan atlet lain. "Kenapa buru-buru?" "Eee... Saya harus jemput saudara." "Ya sudah, besok uang pembinaan Bapak sampaikan." Ujar guru itu mengijinkan. Regan segera berlari keluar menuju mobilnya. Masih dengan baju serba putih, ia melakukan mobilnya dengan kencang. Dengan cepat menghidupkan handphonenya dan melacak keberadaan kekasihnya. ** Sei menunduk memperhatikan luka yang sudah dibalut. Sudah tidak pegal hanya masih sedikit peri
Sagara mengikuti arahan dari adiknya menuju rumah yang dimaksud. Tanpa banyak basa-basi Sei mengarahkan ke panti asuhan tempatnya hidup. "Udah di sini aja kak." Ujar Sei saat mobil Sagara berada di seberang panti asuhan.Menggendong tasnya, Sei keluar sendiri dengan langkah tertatih. Gadis itu menyebrang jalan dengan hati-hati dan benar masuk ke dalam panti asuhan. Hal itu membuat Sagara berpikiran macam-macam dan keluar dengan cepat."ASA!!" Panggil Sagara setengah panik. Otaknya seakan berhenti sesaat begitu melihat bangunan di depannya.Mengode agar Sei tetap di tempat, Sagara menyeberang jalan dan menarik tangan adiknya. "Apa maksudnya ini? Kamu masih tinggal sama Papa kan?"Menggelengkan kepalanya, Sei benci air matanya yang hampir keluar. "Papa udah usir aku,"Kalimat itu membungkam Sagara. Lelaki itu turut menahan air matanya saat air mata adiknya menetes. "Aku ga tahu mau ke mana, terus pemilik panti asuhan ini bawa aku ke sini." Jelas Sei memberanikan diri menatap kakaknya."
Pagi-pagi buta Jehan sibuk membawakan berbagai keperluan sekolah milik Sei yang dititipkan kepadanya. Sagara hanya memberikan uang untuk Jehan membeli seragam, tas, dan buku paket yang diperlukan Sei di sekolah barunya. "Udah semua?" Tanya Sagara memastikan. "Aku jamin. Semuanya udah ada di sini," Jehan meletakkan semuanya di ruang tamu. Sagara menyuruh kekasihnya yang sudah bekerja keras untuk duduk di sofa. Mengetuk pintu kamar adiknya, Sagara mendapati adiknya sedang merapikan rambut. Sei sudah berpakaian seragam dengan sangat rapi dan cantik. "Dek, ada sesuatu di bawah." Ujar Sagara masuk ke kamar adiknya. Sei berhenti menyisir rambut. Kakaknya ikut berdiri di hadapan cermin dan menatap Sei aneh. "Kak Regan di bawah?" Tanya Sei semangat. Sagara berlagak muntah saat adiknya menyebut nama Regan. "Najis banget," "Ih, apa sih?" "Di bawah ada sesuatu buat kamu. Gih liat aja." Ujar Sagara akhirnya membuat Sei yakin untuk turun dan melihat sesuatu untuknya. "Loh? Kak Jehan pagi-p
Melangkah masuk ke dalam rumah sakit, Sagara mengandeng tangan adiknya yang masih takut-takut untuk bertemu dengan dokter. Berusaha meyakinkan Sei untuk mau ke rumah sakit juga bukan hal yang mudah, ia terus mencari alasan untuk tidak pergi mulai dari kerja kelompok sampai sakit. "Ayo dek, kakak temenin. Sampe ketemu dokter, beneran." Ujar Sagara saat Sei berdiri agak menjauh darinya di meja pendaftaran. Sei tidak mau cek ke dokter lagi sebenarnya. Gadis itu takut nanti hasilnya akan mengecewakan. Terakhir kali ia dibawa rumah sakit bahkan surat hasil lab tidak ia baca. Sejak masih kecil Sei sudah sering keluar masuk rumah sakit. Saat berumur tujuh tahun tanpa Sei tahu, Tante dan kakaknya sering membawanya ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Mengidap penyakit yang sama dengan ibunya, saat masih kecil hanya Sagara dan adik dari mendiang ibunya saja yang pusing memikirkan keadaan Sei. Anak kecil itu masih sangat lugu dan menurut saja saat diberi banyak obat. Setelah tahu penyakit a
Mengetuk pintu dengan hati yang berat, Regan terus saja menghela nafas panjang. Seorang ibu yang berpenampilan manis dari dalam rumah membukakan pintu untuk Regan. Melihat calon menantunya datang, Ayun segera menyambutnya dan mempersilakan masuk. "Wellcome Regan, sini masuk dulu." Sapa ibu dari Alya tersebut. Regan menyalami tangan Ayun dengan sopan. Ibu itu tersenyum lebar dan mempersilakan Regan ke kamar putrinya. "Maaf ya Tante jadi ngrepotin kamu, habisnya Tante udah bingung banget. Alya ga mau makan apapun dari tadi. Tahu kan kalau asmanya lagi kambuh bakal manja banget?" Regan tersenyum mencoba bersabar. Sesungguhnya dalam hati ia sudah mengumpat, harusnya sekarang ia sudah menemani Sei di rumahnya. Mereka sudah meluruskan masalah mereka dan menghilangkan kerinduannya akan Sei. "Ga papa kok Tante. Regan lagi ga sibuk," Alhasil itulah jawaban yang keluar dari tenggorokan Regan. Lelaki itu tak tega jika Ayun yang meminta, jika ia memang dibutuhkan maka Regan pasti akan datang
Setelah kejadian siang tadi, Sei lebih banyak diam dan menyendiri. Dewa yang duduk di samping Sei juga tak berani bertanya macam-macam karena takut mengusik privasi. Sei membuka handphonenya, ia menghidupkannya setelah dua minggu mati. Gadis itu menutupi handphonenya dengan buku agar tidak terlihat oleh guru. Dewa mengerti akan hal itu lalu menegakkan bukunya agar Sei lebih leluasa. "Makasih," ujar Sei. Dewa tersenyum manis membalas perkataan itu. Melihat-lihat room chat, Sei menemukan banyak kejanggalan. Ada banyak sekali pesan yang sudah terbalaskan, padahal Sei tidak membuka handphonenya. Handphone ini baru didapat Sei tadi pagi dan selama dua minggu ini Sagara selalu menyimpannya. Yang paling parah adalah chat antara Alya dengan Sei. Gadis itu melotot tak percaya dengan apa yang ia baca di layar handphone. Alya Sei, lo gapapa? Kemarin sakit apa? Gue baik2 ajaSei menghadap ke belakang melihat Alya, gadis itu tampak menatap Sei dengan sengit sebelum akhirnya kembali fokus p
Mata indah yang sudah seminggu tertutup itu kembali terbuka. Dengan alat-alat mengerikan di tubuhnya, geraknya tidak bisa leluasa. Ia menatap langit-langit kamar rawat. Seorang dokter langsung tergopoh-gopoh memeriksa tubuh Sei dengan serius. Sei menatap kakaknya yang setia menemaninya sejak hari pertama ia masuk rumah sakit. Sei sendiri tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya sampai harus dirawat di rumah sakit. Yang pasti, Sei merasa seperti orang linglung dan baru bangun tidur. Setelah dokter itu keluar dari ruangan dengan Jehan di belakangnya, Sagara duduk di kursi samping brankar lalu menggenggam erat tangan adiknya. Sei melepas alat bantu nafas di hidung dan mulutnya lalu berujar serak pada Sagara. "Haus," Cepat-cepat Sagara mengambil air di nakas dan membantu adiknya minum. Sei meneguk beberapa kali dan mengode kepada Sagara sudah cukup. Melihat wajah tampan kakaknya, Sei tak tahu akan bicara apa. "Apanya yang sakit?" Tanya Sagara mengulum senyum tipis. Ketika tangan Se
Kelas 12 IPA 3, kelas Regan. Sekitar lima hari lalu telah diumumkan bahwa akan diadakan lomba membuat film antar kelas. Karena Regan sudah menghilang beberapa hari, alhasil ia mendapatkan peran sisa. Mengerem motor warna merahnya di depan rumah Reno, Regan menyita banyak perhatian dari teman perempuannya. "Akhirnya... Dateng juga nih kutu rambut," ujar Gema menyambut kedatangan Regan yang super sibuk. Memasang wajah datar, Regan berdehem singkat dan melakukan tos dengan kawan-kawannya. "Jadi gimana? Tugas gue ngapain?" Tanya Regan mendudukkan dirinya di sofa empuk. Gema dan 10 teman yang lain berpikir keras. Hanya Regan saja yang belum ada di scene mereka. "Oh ya! Kan masih ada tukang ojek, Regan aja!" Ujar Reno exited sambil menepuk pundak Regan jenaka. Melihat wajah para temannya yang sangat memelas, Regan bisa apa. Ini konsekuensinya lepas tanggung jawab. "Ya udah deh, ayo!" Teriak Regan membakar semangat temannya. Semua bersorak gembira, mereka sempat berpikir Regan tak akan
Sibuk merebahkan tubuhnya di sofa, tangan Regan tetap menscroll WhatsApp Sei. Ia menemukan beberapa informasi lagi tentang Sei. Beberapa saat lelaki itu merasa sangat sedih karena Sei yang dulunya sering diabaikan Sagara. Adapun satu nomer yang tidak dikenal terus meneror Sei. Lelaki itu membukanya dan melihat chatingan mereka. Orang itu sering sekali memaksa Sei untuk memberitahukan sesuatu. Regan terkekeh ngeri saat tahu siapa yang mengirimkan pesan seperti ini pada Sei. Siapa lagi kalau bukan ayah kandungnya, yang selalu meminta warisan mendiang istrinya yang kaya raya. Regan memblokir nomor itu, beralih ke chat grup kelas Sei. Ternyata Sei sangat kalem dan pendiam, ia sangat jarang komentar. Tok tok tok"Permisi Tuan," ujar seorang lelaki dari luar pintu. Regan berteriak "Masuk!" Regan duduk di sofa dan meletakkan handphone di meja. "Saya sudah menemukan semua tentang gadis yang Tuan maksud." Regan berdehem kecil dan mengode orang itu agar duduk. "Ini berkas medisnya," Rega
Pukul setengah 6 pagi Sagara kembali masuk ke kamar Sei untuk memastikan Sei sudah bangun. Cowok itu melirik meja belajar, bahkan posisi piringnya masih sama persis seperti semalam. Sagara duduk di tepi ranjang, sedikit curiga karena posisi tidur Sei juga sama persis dengan terakhir kali ia masuk kamar. Sagara menggoyangkan tubuh adiknya. "Sa, kamu masih marah? Kok makanannya ga dimakan hmm?" "Dek?" Sagara menarik tubuh Sei agar menghadapnya. Lelaki itu terkejut melihat wajah pucat Sei, "Asa, kamu kenapa?" Tak ada respon apapun dari Sei, membuat Sagara semakin panik dibuatnya. "Bangun please, bangun!" "Ini ga lucu, please jangan buat Kakak takut," Sagara terus mencoba membuat Sei sadar tapi hasilnya nihil. Mata Sei tetap tertutup. Sagara segera turun mengeluarkan mobilnya. Lelaki itu meminta tolong Bi Ane untuk membuka gerbang depan rumah. Setelah itu Sagara kembali ke kamar Sei dan menggendong gadis itu ke mobil. Dengan bantuan Bi Ane di kursi belakang, Sagara melajukan mobiln
Regan mengerem mobilnya di depan rumah Sei. Lelaki itu lebih banyak diam semenjak percakapan mereka di pantai. Ia merasa sangat gagal mengajak Sei ke pantai. Mungkin lain kali Regan tidak akan mengajak Sei ke pantai lagi, lebih baik ke gunung atau mall sepertinya lebih menarik. Berhasil membuat mood Regan hancur sehancur hancurnya, Sei juga merasa bersalah. Ia ikut diam menghadapi sikap lelakinya. Setelah sekian lama Sei menunduk, gadis itu akhirnya menengadah melihat ke samping. Tampaknya Regan masih marah, cowok itu menatap kosong ke depan. "Kak," panggil Sei dengan takut. Regan menanggapinya dengan berdehem kecil. Sei melepas sabuk pengaman dan menyerong. "Aku minta maaf, jangan marah lagi ya? Aku seneng kok kemana pun asal sama kamu." Tegas Sei mencoba meyakinkan Regan. Namun lelaki itu tetap saja tidak bisa yakin. Ekspresi Sei terus terngiang. "Ya udah, kamu pulang terus istirahat." Ujar Regan datar. Mungkin Regan perlu waktu untuk sendiri, cewek itu mengangguk maklum dan k
"Guys, hari ini ga sama guru ya! Kita suruh game aja!" Teriak sang ketua kelas kepada teman-temannya di lapangan. Sei sangat bersyukur karena ia hanya perlu pemanasan tanpa olahraga lanjutan. Sei yang habis pemanasan langsung duduk di pinggir lapangan dengan wajah pucat. Cewek itu menarik rambutnya untuk meringankan sakit. "Lo gapapa?" Tanya seorang cowok berambut hitam berjambul yang sedang memegang bola basket bernama Dewa. Sei menengadah melihat siapa yang bicara. Ia belum kenalan dengan orang ini. Hanya mendapat senyuman singkat dari Sei, lelaki itu duduk di sampingnya untuk memastikan Sei baik-baik saja. Sadar lelaki itu duduk di sampingnya, Sei menatapnya dengan tatapan bingung. "Gak papa kok," ujar Sei meyakinkan. Walaupun keringat di tubuhnya tidak bisa bohong, tubuh lemasnya tak bisa berkompromi, Sei masih mempertahankan diri agar tidak tumbang. "Lo anak baru itu kan? Pacarnya atlet karate?" Sei mengangguk mengiyakan. Tak ada tenaga lagi, tubuh Sei hendak limbung ke ara
Sagara sibuk berkutat dengan tugas-tugas yang tak pernah berhenti. Kelas 12 sangat banyak kerja kelompok,tugas individu, dan praktikum yang membuat kepalanya hampir pecah. Setelah tadi siang mendapatkan chat dari Sei bahwa ia sedang pusing, Sagara langsung mengajaknya pulang tapi Sei menolak. Alhasil Sagara membawa Sei ke UKS dan kembali ke kelas saat latihan Regan sudah selesai.Memang Sei yang tidak mau ditemani oleh Regan, Sagara juga setuju. Setelah memastikan adiknya sudah istirahat dan minum obat, Sagara kembali sibuk dengan urusannya. Handphone milik Sei juga sementara harus Sagara ambil karena takut akan bertelfon dengan Regan lalu berujung Sei kurang istirahat. "Duh, susah banget sih mereka diajak cepet-cepet. Udah mepet deadline padahal," cerocos Sagara sendiri di ruang tamu. Tangannya terus mencari kontak WhatsApp teman kelompoknya dan menelfonnya satu-satu. Di tengah keributan yang Sagara alami, Jehan menelfonnya seperti biasa. Namun tak disangka, Sagara justru mengaba