"Lidahmu memang sangat tajam Vira," cibirku. Gadis sombong itu tak sendiri datang ke sini, dengan mesra ia menggandeng lengan Mas Bima. Kulihat, tak jauh dari mereka juga ada mama dan papa nya Mas Bima yang datang menghadiri acara ini. "Zia ...?" Panggil Mas Bima. Aku hanya memberinya segores senyum datar. "Ini acara pernikahan seorang pengusaha kaya, banyak pejabat dan pengusaha yang diundang ke acara ini. "Apa kau sedang menemani seorang pejabat kesini, penjual gorengan?" Hina gadis sombong itu padaku. ***Aku hanya mencebik kesal padanya, gadis sombong ini memang perlu diberi pelajaran, sepertinya Mas Bima belum menceritakan tentang rencana pernikahanku dengan Mas Rangga padanya. "Jaga mulutmu, Vira!" Hardikku. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa perkataanku ini benar? Kau tidak mungkin bisa membeli gaun semahal itu jika bukan menjadi seorang simpanan pejabat," hina Vira lagi padaku. Aku hanya diam, mataku saja yang berputar kearah Mas Bima, melihat sikap diam yang kutunjuk
Akupun berjalan menuju ruang dimana akad nikah selesai dilakukan. Mas Rangga menyambutku dengan senyum mengembang disana. Tak lama kami pun menandatangani dokumen pernikahan bersama. "Selamat ya, Zia." Kalimat dan nasehat penuh haru disampaikan Mbak Soraya dan Pak Lukman padaku. Membuatku terisak. Ah, andai bapak dan ibu masih ada, tentu mereka sangat bahagia melihat pernikahanku saat ini. ****Pagi ini, aku bangun sedikit terlambat, aku juga bahkan terlambat mengerjakan sholat subuh. Sejak bangun tadi, aku tak melihat Mas Rangga. Kulirik ranjang pengantin kami masih sama seperti saat kutinggal tidur semalam. Kelopak kelopak bunga mawar yang ditebar diatas ranjang king size hotel mewah ini tak berubah. Masih berbentuk tanda hati yang manis. Karena lelah, kemarin malam, aku masuk lebih dulu kekamar pengantin kami, sebab mas Rangga bilang ia masih ada urusan sebentar, setelah selesai mandi aku pun mengambil sebuah bantal dan selimut, lalu memutuskan untuk tidur saja disofa. Kemarin
"Disampingmu, Zia. Aku tak bisa menjauh dari darimu. Tadinya aku berniat memindahkanmu ke atas ranjang, tapi tak jadi, karena kau tiba tiba memegang lenganku, akhirnya kuputuskan untuk menarik sofa yang lain dan menyusunnya lalu tidur disebelahmu," Ucapannya langsung membuat wajahku memerah. Benarkah begitu?Ah, sial, lagi lagi aku tidak ingat apapun. Ponsel Mas Rangga berbunyi, ia membalikkan badan sambil menatap layar ponselnya, tak lama ia sudah berdiri ditepi jendela, lalu membuka gordennya dan menerima panggilan teleponnya. Samar kudengar, ia menyebutkan sebuah nama. Eliza, dalam percakapannya. ***Aku menaruh pakaianku di lemari pakaian milik Mas Rangga. Aku tak mengira jika ia sudah mengosongkan tempat dan memberikan ruang untukku di lemarinya agar aku bisa menaruh pakaianku didalamnya. Ini adalah kamar Mas Rangga, seharusnya masih ada satu malam lagi jatah menginap di hotel yang sudah dipesan oleh Mbak Soraya untuk tempat kami berdua menghabiskan malam pengantin. Hanya saja
Jika kau ingin mengatakan sesuatu, lebih baik katakan saja padaku, karena Zia hanya menuruti keinginanku." Perkataan Mas Rangga kembali membuatku melotot tajam padanya. Mas Bima masih menatapku sinis, tak lama ia mengeluarkan kata kata hinaan padaku. "Ucapan mama dan Vira ternyata benar, tadinya aku tak yakin dengan tuduhan mereka padamu, tapi aku melihat sendiri dengan mataku, betapa murahnya kau, Zia. Tak kusangka, kau memang wanita yang hanya mengincar uang dan kekayaan saja, kau merayu laki laki ini demi membiayai hidupmu, bukan?"***Ucapan mama dan Vira ternyata benar, tadinya aku tak yakin dengan tuduhan mereka padamu, tapi aku melihat sendiri dengan mataku, betapa murahnya kau, Zia. Tak kusangka, kau memang wanita yang hanya mengincar uang dan kekayaan saja, kau merayu laki laki ini demi membiayai hidupmu, bukan?" Plak! Sebuah tamparan keras kulayangkan padanya, mata Mas Bima melotot tajam padaku, tak kusangka, Mas Rangga tiba tiba menarik bahuku kebelakang dan maju selang
Ah, aku jadi ingat kejadian malam pertama kami semalam. Begitu masuk kedalam kamar hotel, kulihat ia sudah tertidur pulas disofa. Salahku juga meninggalkannya sendirian terlalu lama. Tadinya aku ingin langsung masuk kekamar, hanya saja aku takut, Zia akan histeris dan takut jika berdua saja denganku di kamar. Karena tragedi malam itu masih membekas dalam di hatinya. "Andai saja malam itu aku masih bisa mengontrol diriku." Karena melihat Zia yang tak juga kunjung keluar dari kamarnya, membuat ku akhirnya berdiri. Dengan langkah malas aku menuju kamarnya dan mengetuk pintunya. "Zia ...!" Kusebut namanya pelan. Cklek. Pintu itu terbuka, wajah masam diperlihatkannya padaku. "Ada apa mas? Kau ingin tidur? Masuk saja ke kamar bapak disebelah. Tidur saja disana. Aku tak mau tidur disebelahmu lagi seperti semalam," ketusnya. Aku tak bicara apapun, karena percuma saja bicara pada wanita yang sedang kesal, as segera, kusodorkan saja sekotak pizza yang tadi kubawa padanya. "Makanlah, a
"Pernikahan kita karena terpaksa, mas," ucapku getir. "Zia ... Aku mengerti kau belum sepenuhnya menerima pernikahan ini. Sesuai dengan janjiku padamu, aku tak akan menuntut kewajiban seorang Istri padamu, hingga kau sendiri yang datang memintanya. Hanya saja satu keinginanku. Mulailah menerimaku, Zia. Karena bagiku menikah itu cukup hanya satu kali saja."Aku hanya mengangguk pelan tanda mengerti apa yang dikatakannya, hanya saja lidahku kelu untuk membicarakan bagaimana pernikahan ini kedepannya. "Zia ...!" "Boleh aku minta sesuatu?" "Katakan saja." "Ikutlah pulang bersamaku kerumah, papa mulai mengkhawatirkanmu, ia pikir jika ada pelayan di rumah yang berbuat kesalahan padamu. Kau tahu apa yang terjadi kemarin begitu aku pulang, kulihat papa memarahi semua pelayan dirumah, ia sangat kesal karena tak melihatmu ada di rumah." Aku menggigit bibirku, ada rasa bersalah dalam diriku. Karena lupa berpamitan dengan papa mertua kemarin. "Baiklah mas, setelah sarapan kita akan pulang,"
"Apa yang kau rencanakan, Zia?" "Melakukan hal seperti yang kau lakukan saat di rumahku, mas. Akan kulayani mantan pacarmu itu," ucapku sambil mencubit keras kulit leherku di beberapa bagian hingga memerah. "Kau yakin nak?" Tanya papa, mencemaskanku. Aku hanya tersenyum." Tak akan ada hal buruk yang akan terjadi padaku apalagi di rumahku sendiri, pa. Sudah, papa tenang saja." Aku mulai melangkah menuju dimana mantan pacar suamiku itu menunggu, akan kulayani semua wanita wanita tak tahu malu itu, dan memberi tahu kepada mereka siapa nyonya rumah ini sesungguhnya. ****"Akan kuberitahu dia siapa nyonya dirumah ini sekarang, seenaknya saja datang kemari dan mencari suami orang," aku terus menggerutu saat berjalan menuju ruang tamu. Seorang wanita dengan balutan blouse putih tanpa lengan, memandang tajam padaku, ketika aku dan Bi Ijah menuruni anak tangga. Senyum sinis juga tersungging di wajahnya, aku melirik pakaianku, yang hanya memakai kaos berlengan panjang dan rok dengan model
"Om Lukman!" panggil Eliza dengan suara parau. "Kau sudah berkenalan dengan menantu Om? Kenalkan, ini Zivara, istrinya Rangga," ucap papa mertuaku tersenyum lebar. "Ada perlu apa dengan Rangga? Zia adalah istrinya. Kau bisa membicarakan masalahmu dengannya," lanjut papa mertuaku lagi. "Jadi gadis ini benar istrinya, Rangga?" Tanya Eliza pada om Lukman, masih tak percaya. ***"Iya, itu benar. Rangga dan Zia sudah menikah, jika tak ada halangan, akhir tahun ini acara resepsi mereka akan diselenggarakan," Jawab papa mertuaku itu santai. "Zia, papa masuk kekamar dulu ya. Nak Eliza, silakan dilanjut obrolan kalian. Maaf, Om tinggal ya!" Papa mertuaku langsung melangkah meninggalkan ruangan ini, Bi ijah juga kuminta pergi meninggalkan kami. "Lalu, hal apa yang ingin kau bicarakan dengan suamiku itu?" Sengaja kutekankan kalimat itu padanya. Ia diam, seperti kehabisan kata kata, aku yakin saat ini ia merasa malu. Itupun juga jika ia masih punya rasa malu. "Maaf, aku tak tahu jika kau a
Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua
Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku
Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D
Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me
Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.
"Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas
"Kau ... dasar wanita jalang, wanita tak tahu diri, semua ini karena kau!" Murka Kinanti dengan jari telunjuk yang mengarah kepada ku. Plak! Sebuah tamparan keras akhirnya diberikan Mas Rangga di wajah Kinanti. Tindakan Mas Rangga yang tak disangka ini membuatku seketika terkejut."Sadarlah Kinan! Keluarlah dari bayang bayang masa lalumu, aku bukan dia, aku bukan kekasihmu!" Perkataan Mas Rangga akhirnya membuatku tersadar. Ya Tuhan, mungkinkah kecurigaanku selama ini tidak benar? ****Aku segera menjauh dari sofa ini, aku takut jika tiba tiba Kinanti kembali menyakitiku, kuhela nafas beberapa kali demi mengatur nafasku yang tersengal akibat cekikannya tadi, mencoba untuk menenangkan diri. Kulirik Kinanti masih meringis disana sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras Mas Rangga. Tak lama kemudian, wanita itu lalu luruh kelantai, terduduk, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas, Jangan tinggalkan aku, aku mohon. Aku akan lakukan apapun yang kau ingi
Cengkeraman tangannya begitu erat, sangat sulit kulepas. Aku menyerah saat ia membuka pintu Ferarri kesayangannya dan memintaku masuk kedalamnya. Wajah Mas Rangga kini nampak kesal. Ada rasa ingin bertanya padanya. Namun, terpaksa niat itu akhirnya harus terkubur karena aku tak ingin melihatnya bertambah kesal. Ferarri ini akhirnya bergerak meninggalkan rumahku. Dalam hati aku terus gelisah, entah apa yang akan terjadi pada hubungan kami selanjutnya. **** Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam tak saling bicara, aku tak berani bertanya sesuatu atau mengajaknya bicara, raut wajahnya terlihat begitu tegang seperti mencemaskan sesuatu. Entah apa yang terjadi karena jarang aku melihatnya sangat khawatir seperti ini. "Apa terjadi sesuatu dengan papa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, memecah keheningan diantara kami, saat Ferarri ini berbelok masuk ke halaman rumah. "Tidak. Papa baik baik saja dan masih di Singapura. Tak perlu khawatir, beliau akan pulang bulan depan." Ja
Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya