Lukman juga tulus, lho. Yakin tetap dukung Faruq? Wkwkwk.
Dari postingan Lukman, Zia ganti men-scrool beranda Anggi dan menemukan postingan serupa yang intinya merindukan dirinya, berharap Zia lekas diketemukan. Di postingan itu, kadang ada inisial dirinya, kadang tidak. Namun, Zia tahu itu untuknya.[Alhamdulilah, akhirnya menemukan titik terang.] Itulah postingan terakhir Anggi dan setelah itu tidak ada postingan lagi.“Kamu oke, Na?” tanya Yuli sambil mengelus lengan Zia saat mengetahui wanita itu menangis.“Aku oke, Mbak. Hanya sedikit terharu saat ada orang yang masih khawatir denganku. Di antara beberapa orang yang tidak suka, setidaknya ada dua orang yang cukup peduli.” Zia menghapus air matanya.“Ya udah, sana kabari kalau kamu selamat dan dalam keadaan sehat.”Zia mengangguk dan mulai mengirim pesan kepada Lukman.“Assalamualaikum. Mas Lukman, ini aku Nilna Fauziah. Tolong sampein ke Anggi aku mencari dan butuh bantuannya. Tolong suruh hubungi akun Faceb**k atau Mess**er akun ini. Aku butuh berkas pentingku buat ngurus akte anakku.”
Faruq kembali masuk kamar untuk mengambil ponsel. Baru kemudian keluar menemui sang mertua. Banyak kalimat tanya yang berlarian di kepalanya. Pasti ada sesuatu yang penting sebab mereka tidak biasanya datang.Dua orang paruh baya duduk di ruang keluarga. Faruq menghampirinya sambil tersenyum.“Assalamualaikum,” sapa Faruq. Ia lalu mencium takzim tangan mertuanya bergantian.“Waalaikumussalam. Sehat, Ruq?” tanya Tuti.“Alhamdulillah, sehat. Mama sama Papa gimana?” Faruq lalu mengempaskan dirinya di samping Alwi, papa mertuanya. Alwi menepuk pelan bahu kokoh Faruq.“Alhamdulillah baik juga meski kadang asam urat kambuh. Tambah ganteng saja menantu Papa ini.” jawab Alwi sambil tertawa.Faruq ikut tergelak. “Kalau saya jelek, mana mungkin almarhumah mau sama saya, Pa. Maaf, akhir-akhir ini saya sangat sibuk sampai-sampai belum sempat mengunjungi kalian.”“Nggak masalah. Yang penting kamu sehat. Gimana kerjaanmu? Lancar?” Tuti ambil suara.“Alhamdulillah lancar.”Ketiganya lalu terlibat ob
“I-ingin bicara sama saya, Bu?” tanya Zia tergagap. Ia sedikit mendengar ucapan Farah tentang lamaran. Wanita itu tidak mau terlalu percaya diri terlebih dulu. Lagi pula, tidak mungkin Faruq melakukan itu.“Iya. Tenang, kalau kamu takut dosa, saya ada di sini buat jadi yang ketiga atau saksi.” Farah tersenyum.“Ta-tapi.”Belum sempat melakukan protes, ponsel Farah diletakkan di tangan Zia. Terpaksa wanita berkhimar abu-abu itu menempelkan ponsel di telinga.“Ha-halo.”“Assalamualaikum, Ibunya Fariz.” Di seberang, Faruq memulai obrolan. Ia tadi mendengar Farah memanggil nama Zia, sekalian saja ingin bicara dengan wanita itu. Sesekali.“Wa-waalaikumussalam.” Zia menjawab dengan terbata-bata. Entah mengapa, jika menyangkut pria itu ia merasa grogi.“Nggak usah takut, saya nggak bakal nerkam kamu, kok.” Faruq terkekeh.“A-ada apa, Pak?”“Fariz apa kabar? Apa dia sehat?”“Alhamdulillah sehat.”“Saya ....” Perkataan Faruq terjeda. Ia terpejam. Tidak mungkin ia mengatakan apa yang dirasa sec
“Kalau aku bilang siapa orangnya, apa Mbak bakal dukung? Udah kelihatan ada di pihak Latifa gitu. Pakai acara nyuruh aku setuju segala. Aku minta Mbak datang buat ngasih solusi, tapi solusimu sesat, Mbak.” Faruq bangkit. “Sesat dari mananya? Itu sudah solusi terbaik menurut Mbak. Kamu sudah kenal Latifa dan keluarganya, mereka dari keluarga baik-baik. Dan yang terpenting kamu nggak perlu lagi adaptasi dengan keluarga baru.” Faruq menggeleng, lalu mulai mengayun kaki. “Heh, tadi nyuruh datang, sekarang malah ngacir ninggalin Mbak gitu aja.” “Udah nggak mood bicara sama Mbak,” ujar Faruq lemah, tetapi masih bisa didengar Farah. “Kenapa, sih, kamu? Tumben sensi amat kayak gini? Faruq!” Faruq mengabaikan teriakan sang kakak. Ia tetap berjalan menuju tangga dan melangkah cepat menuju ke lantai dua di mana kamarnya berada. Farah mengembuskan napas panjang. Ia bingung kenapa adiknya bisa baper seperti itu. Faruq menuju balkon kamarnya. Ia menatap satu bintang paling bersinar di langit
“Alhamdulillah, Bu Latifa mau menikah sama Pak Faruq? Selamat, ya, Bu! Semoga dilancarkan semuanya!” teriak Zia antusias. Ia benar-benar ikut merasa bahagia dengan kabar itu. Wanita tersebut mengabaikan rasa getir di hati yang tiba-tiba menyelinap tak tahu diri. Rasa getir yang tidak boleh dibiarkan lama-lama bersemayam karena bisa berbahaya. “Aamiin. Terima kasih, Mbak Zia. Ini masih langkah awal. Semoga ke depannya lebih dipermudah lagi.” “Pokoknya, doa terbaik untuk Bu Latifa dan Pak Faruq.” “Ya sudah, saya ke dalam dulu, ya, Mbak.” “Iya, monggo, Bu.” Latifa masuk, tinggallah Zia sendiri di sana. Ia duduk sambil mengelap peluh yang keluar dari pelipis. Sesekali ia mengibaskan tangan ke wajah, tetapi sama sekali tidak bisa meredam gerah. Hari itu cuaca sangat terik memang. “Nggak usah dianggap serius apa kata Latifa.” Suara yang datang tak diundang itu kembali terdengar. Tanpa menoleh, sekarang Zia sudah hafal suara itu milik siapa. “Kenapa memangnya? Ini kabar bahagia bukan?
“Uhuk!” Faruq terbatuk-batuk karena tersedak air liurnya sendiri. “Kenapa, Mas? Butuh air?” tanya Latifa. “Enggak. Tadi leher saya hanya kena tinju tangannya Fariz,” jawab Faruq berbohong. Ia menggeleng sambil masih terus mengelus Fariz. "Memangnya, Afandi pernah lihat wajah Zia sampai bisa jatuh cinta? Aneh.” Faruq mulai kepo. Pria sedikit tersenyum. Pertanyaan itu juga berlaku untuknya. Ia tidak pernah melihat wajah Zia saat sehat. Dulu memang pernah melihat sekilas saat sakit dan pucat. Namun, bisa-bisanya menaruh rasa suka? Apakah itu bisa disebut definisi suka tanpa memandang rupa? Terdengar aneh memang dan nyatanya Afandi juga merasakan hal serupa. Latifa menggeleng. “Enggak. Naluri katanya. Ia yakin kalau Zia itu cantik. Buktinya, anaknya saja seganteng ini.” “Sepupumu itu berarti berharap ibunya Fariz cantik. Padahal Afandi salah besar. Mbak Farah bilang, Zia pernah depresi setelah melahirkan sebab Fariz mirip ayah kandungnya yang seorang baji*ngan. Jadi, Zia tidak secan
“Maaf, saya tidak sedang pacaran, tidak maksiat. Saya tidak serendah itu,” desis Zia. Ia murka dengan pria itu yang memberikan nama seenak udel. Kini, ditambah dengan tuduhan menyakitkan pula.“Lalu apa namanya? Sekedar PDKT?” Suara Faruq memang terkesan biasa sejak sindiran pertama, tidak ada nada tinggi di sana.Faruq lupa, ia juga baru saja bicara berdua dengan Zia.“Pak Faruq, saya bisa meluruskan. Saya hanya bertanya kabar Mbak Zia, tidak lebih. Jadi, saya mohon jangan berpikir yang macam-macam tentang kami.” Afandi berusaha menjelaskan.Bibir Faruq tertarik sebelah.“Mana anak saya.” Zia merentangkan tangan, meminta sang anak. Pantang baginya memanggil nama Fariz.“Saya butuh informasi apa Fariz ada alergi obat atau tidak. Saya akan memberinya obat. Panasnya sangat tinggi saya periksa tadi.”Zia menggeleng, mengabaikan pertanyaan Faruq. “Siniin anak saya.”Gelengan Zia diartikan Faruq bahwa Fariz tidak ada alergi obat.Fariz kembali rewel. Mau tidak mau, Faruq menyerahkan bayi i
“Ada apa ini, Ruq?” Suara Farah terdengar di tengah kebingungan Faruq. “Latifa kena teh panas, Fariz kejang. Mbak, tolong tangani Latifa, ya. Aku mau lihat kondisi Fariz.” Tanpa menunggu jawaban sang kakak, Faruq bangkit. Namun, belum sepenuhnya berdiri, tangannya dicekal oleh Latifa. “Mas, panas,” desis Latifa disertai tangis. “Fa, maaf kamu sama Mbak Farah dulu, ya. Nanti saya kembali.” Faruq melepaskan cekalan Latifa di lengannya sambil menampakkan wajah syarat rasa bersalah. Air mata Latifa merebak bertambah banyak. Ia tidak menyangka Faruq akan mengabaikannya dalam kondisi seperti ini. Faruq berlari menuju kerumunan di mana Fariz berada. “Tolong jangan mengerumuni Fariz. Bubar, ya. Biar udara di sekitar tidak terasa sesak untuknya.” Faruq mendekat. Para wanita yang ada di situ menurut. Mereka membubarkan diri dan melihat dari kejauhan. Faruq melihat Fariz dalam pangkuan Zia. Tubuh bayi itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Bu Zia, tenang, jangan panik. Jangan tahan kejang Fariz
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z