“Ada apa ini, Ruq?” Suara Farah terdengar di tengah kebingungan Faruq. “Latifa kena teh panas, Fariz kejang. Mbak, tolong tangani Latifa, ya. Aku mau lihat kondisi Fariz.” Tanpa menunggu jawaban sang kakak, Faruq bangkit. Namun, belum sepenuhnya berdiri, tangannya dicekal oleh Latifa. “Mas, panas,” desis Latifa disertai tangis. “Fa, maaf kamu sama Mbak Farah dulu, ya. Nanti saya kembali.” Faruq melepaskan cekalan Latifa di lengannya sambil menampakkan wajah syarat rasa bersalah. Air mata Latifa merebak bertambah banyak. Ia tidak menyangka Faruq akan mengabaikannya dalam kondisi seperti ini. Faruq berlari menuju kerumunan di mana Fariz berada. “Tolong jangan mengerumuni Fariz. Bubar, ya. Biar udara di sekitar tidak terasa sesak untuknya.” Faruq mendekat. Para wanita yang ada di situ menurut. Mereka membubarkan diri dan melihat dari kejauhan. Faruq melihat Fariz dalam pangkuan Zia. Tubuh bayi itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Bu Zia, tenang, jangan panik. Jangan tahan kejang Fariz
“Loh, Dokter Faruq? Bukannya hari ini sedang cuti, Dok?” tanya seorang dokter jaga ketika prosedur triase dilakukan di IGD Rumah Sakit SLG Kediri. RSUD milik pemerintah kabupaten Kediri itu rumah sakit terdekat dari kediaman Faruq. Kebetulan juga, ia dinas di sana. Dokter itu sedikit heran melihat Faruq yang sedang cuti, tetapi ada di rumah sakit. “Iya. Saya hanya mengantarkan tamu saya yang kebetulan anaknya panas, lalu kejang ketika acara di rumah.” “Oh. Baiklah, saya periksa dulu.” Dokter itu memeriksa Fariz. Mulai dari memeriksa suhu tubuh, detak jantung, dan denyut nadi bayi tampan itu. “Panasnya masih lumayan tinggi,” ujar dokter dengan name tag Yudi tersebut. “Saya minta biar dirawat inap saja, Dok. Soalnya ini kejang pertamanya. Bener, ‘kan, Ibunya Fariz?” tanya Faruq kepada Zia. Zia hanya mengangguk lemah. “Kondisinya akan kami pantau terus. Nanti akan kami lakukan prosedur penanganan terbaik sesuai SOP rumah sakit ini,” tutur dokter tersebut. “Saya percaya sama Dokter.
“Syaratnya, jangan pernah mengganti nama Fariz. Demi Allah nama itu tidak ada hubungannya dengan saya dan Almarhumah Rizkia. Syarat kedua, jangan pernah melarang saya menyayangi putramu atau punya niat menjauhkan kami.” Pria itu lantas berjalan meninggalkan Zia yang termangu dan menangis dalam diam. Zia meraup udara dengan rakus dan mengeluarkannya pelan. Siapa Faruq hingga bisa mendiktenya? Namun, nyatanya hidup Zia tergantung dengan pria itu. Satu-satunya jalan adalah menurut. “Ibu berpikir, Tante Anggi yang sampai saat ini belum datang adalah salah satu tanda kalau namamu memang harus diganti, Sayang. Tapi setelah Pak Faruq bilang kayak gitu, Ibu bisa apa?” gumam Zia. Zia menatap sendu ke putranya. Ia makin bingung harus apa. Biaya rumah sakit saat melahirkan saja masih belum dibayar, haruskah berutang lagi? Wanita itu tidak mau membebani Farah dan Faruq. Namun, yang bisa dilakukan saat ini hanya pasrah meminta belas kasihan dua orang itu. Belum lagi kalau Latifa meminta tanggung
Farah diam setelah mendengar penuturan Faruq. Ia sedikit terkejut dengan pengakuan sang adik. Tidak biasanya pria tersebut bisa mengomel sepanjang itu. Selama ini, Faruq memang pria penurut dan tidak pernah banyak protes. Farah lupa kalau adiknya juga butuh dimengerti dan punya pilihan sendiri. Semua keinginan yang ada, dipendam sendiri oleh Faruq. “Pak, dicari orang di bawah!” Belum sempat Farah bersuara, Erna memanggil Faruq. Faruq lekas bangkit dan meninggalkan Farah yang masih diam. Sementara diamnya Farah, diartikan Faruq bahwa sang kakak tidak menurunkan restu dengan perasaannya kepada Zia. Faruq turun ke lantai bawah dengan lesu dan kembali menyibukkan diri di acara. Pria itu terlihat sempurna di luar. Wajah rupawan didukung dengan tubuh tinggi atletis. Disempurnakan dengan profesi yang cemerlang. Belum lagi kesalihannya. Sesama pria akan iri, wanita pasti jatuh hati. Namun, tidak ada yang tahu kalau ia pria kesepian dan tidak beruntung dalam lain hal. Yakni dalam percintaa
“Hey, Bung!” Faruq menghampiri Afandi dan merangkulnya. “Pasti mau jenguk Latifa. Sini biar saya tunjukkan kamarnya,” tambah Faruq sambil membawa Afandi berjalan keluar kamar inap Fariz. “Saya tidak–“ “Iya, saya tahu. Pasti kamu tidak tahu di mana kamar Latifa. Tenang, saya bakal bawa kamu ke sana soalnya saya juga mau ke sana.” Faruq memotong. Ia masih merangkul Afandi sambil berjalan. Terpaksa Afandi mengikuti langkah sang dokter. “Gimana kerjaan? Lancar?” tanya Faruq di sela-sela berjalan. “I-iya.” Faruq terus mengajak Afandi berbicara. Afandi hanya menimpali dalam kebingungannya. Afandi berniat menjenguk Fariz. Ia akan ke tempat Latifa nanti. Namun, justru Faruq membawanya ke ruangan Latifa. Afandi berdecak sebal. ‘Mau mendekati Fariz sama Zia? Selama masih ada aku, tidak semudah itu, Kisanak!’ Faruq terus membawa Afandi hingga sampai di ruangan Latifa. Faruq masuk sambil mengucapkan salam. Di dalam, ada Latifa yang berbaring sedang disuapi sarapan oleh Tuti. Latifa memi
Zia spontan mengusap air matanya dengan lengan gamis. “Pakai ini.” Pria itu kembali menawarkan saputangannya. Zia menggeleng. “Tidak usah, terima kasih. Nanti jadi kotor saputangannya.” “Nggak apa-apa, Mbak Zi. Pakailah.” Afandi kembali menawarkan. Zia kembali menolak secara halus. Saat bersamaan, ia melihat Faruq bersama perawat berjalan menuju ruangan Fariz. Kebetulan yang tepat digunakan Zia untuk beralasan pamit. “Mas Afandi, maaf sebelumnya. Saya pergi dulu, ya. Ada visit dokter kayaknya. Nggak enak kalau saya nggak ada di sana.” “Oh, iya-iya. Silakan.” “Assalamualaikum.” Tanpa membawa saputangan milik Afandi, Zia berjalan cepat menuju ruangan sang putra. Afandi menatap nanar ke saputangan yang masih ada di genggaman. Ia teringat ide Latifa sebelum menemui Zia. “Kayaknya Mas Faruq suka sama Zia. Kita bikin kesepakatan aja gimana?” tanya Latifa setelah mamanya pulang. Di ruangan inapnya hanya ada ia dan Afandi. “Nggak mungkin. Mana ada dokter suka sama orang biasa? Biasan
“Saya melakukan ini semata-mata agar saya bisa menjaga diri dari pandangan buruk pria asing. Dan, saya ingin menjaga wajah saya khusus untuk suami saya kelak,” jawab Latifa sambil menunduk.Hampir saja jus di mulut Faruq menyembur saat mendengar penuturan Latifa. Namun, ia tahan. Pria itu mati-matian berusaha agar jus tidak sampai tumpah dari mulut.Tidak ada angin tidak ada hujan, Latifa mengubah penampilan menjadi seperti Zia. Faruq benar-benar tidak habis pikir.Pria itu menggeleng lemah. ‘Ini mata sudah terkontaminasi sama virus merah jambu kayaknya. Lihat wanita bercadar aku kira Zia semua.’“Kamu beneran sudah sembuh? Sudah diperbolehkan pulang?” Faruq sengaja mengalihkan bahasan setelah berhasil menelan jus.“Iya. Lukanya alhamdulillah nggak parah. Jadi ....” Latifa menjeda.“Jadi, Mas Faruq nantinya tidak menikahi wanita cacat.”Latifa mendadak ingin berpenampilan seperti Zia setelah mendengar penuturan Afandi kalau wanita bercadar lebih membuat penasaran. Ia meminta sang mama
“Maksudnya apa bicara seperti itu? Umpan apa?” tanya Zia berani.“Saya bicara kenyataan. Kamu tadi mendatangi Mas Faruq sampai dia khawatir dikira anakmu kenapa-napa. Tapi buktinya apa? Anakmu baik-baik saja. Saya yakin kamu hanya ingin mengganggu saat saya bicara dengannya.”Zia terdiam. Karena kekhawatiran Faruq yang berlebihan, Zia kena imbasnya. Ia tidak pernah mengatakan kalau Fariz dalam keadaan darurat, tetapi Faruq sendiri yang mungkin mengatakan seperti itu. Wanita itu tidak tahu menahu, lantas kena getah kesalahpahaman yang terjadi. Zia juga baru paham kalau wanita bercadar ini Latifa setelah cadarnya disingkap.“Bu Latifa, saya tidak–““Saya pernah berusaha menolongmu dari maut, berusaha mendapatkan golongan darah sama denganmu, tapi seperti inikah balasannya? Kamu ingin merebut Mas Faruq dari saya?” potong Latifa.“Saya–““Saya tidak menyangka kamu yang dulu tidak berdaya, lalu setelah sehat justru menjadi duri di kehidupan saya. Kenapa kamu sejahat ini, hah?”“Faruq itu m
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z