“Siapa pun Anda, tolong turunkan saya. Tolong ....” Nilna kembali memohon sambil mendesis.Pengemudi tetap takacuh. Pria itu terus mengemudi dengan kecepatan tinggi. Sementara Nilna, tubuhnya kian melemah. Kedua tangannya berada di perut, berusaha menenangkan sang bayi di dalamnya. Hingga akhirnya ia terkulai tidak sadarkan diri.**“Si*al! Kita kecolongan! Wanita bunting itu kabur!”“Bos pasti marah besar!”“Dia nggak mungkin kabur secepat ini. Orang-orang tadi mungkin komplotan yang sengaja mengalihkan perhatian kita. Kita lengah, mereka ambil wanita itu!”“Ini semua gara-gara kamu nggak becus!”“Kamu juga nggak becus! Harusnya salah satu di antara kita jaga dia!”Ketiga penculik itu saling menyalahkan setelah lelah mencari keberadaan Nilna. Wajah mereka babak belur. Bukan hanya dua orang dari mobil belakang yang menyerang, tetapi juga dua orang dari mobil depan. Setelah tiga penculik itu kalah, baru keempat penyerang pergi mengendarai mobil paling depan yang terlibat kecelakaan tad
“Mbak, bangun. Mari makan dan minum obat dulu,” ujar orang itu lagi sambil membangunkan Nilna yang masih berbaring di lantai kamar tidak jauh dari pintu. Ia seorang wanita kisaran empat puluh tahun. Wanita tersebut berjalan ke nakas dan meletakkan makan dan minuman di sana.Nilna mengerjap. Banyak tanya yang ingin dilayangkan, tetapi ia belum punya tenaga. Ia hanya pasrah saat wanita itu memapahnya menuju ke ranjang.“Saya Ningrum yang akan meneman Mbak di sini.” Wanita itu memperkenalkan diri. Ia membantu Nilna minum.Nilna yang sudah sangat lelah dan haus, minum dengan rakus. Ia tidak peduli dan tidak berpikiran meski di minuman itu akan ada racun atau apa pun itu. Asal rasa dahaganya terobati.Hampir separuh air mineral berpindah ke perut Nilna. Ia terengah-engah sambil terpejam.“A, makanlah juga, Mbak,” ujar Ningrum lagi. Ia menyendok nasi dan mendekatkan di mulut Nilna.Tangan Nilna terangkat setelah kembali membuka mata, tanda ia tidak mau makan. Namun, Ningrum tetap menyuapiny
“Lepas!” Nilna berusaha meloloskan diri dari cengkeraman Ningrum. Ia mulai siaga. Matanya mencari-cari benda yang mungkin bisa digapai untuk balik menyerang wanita di belakangnya tersebut. “Jangan berpikir selama ini saya baik, terus kamu bisa berbuat seenaknya, berani sama saya, dan melumpuhkan saya begitu saja. No! Saya akan lembut untuk orang lembut, dan akan kasar bahkan ke*jam untuk orang yang berani macam-macam kayak kamu sekarang ini!” Jarak antara pisau dan leher Nilna sangat dekat. Sedikit saja tekanan, pasti keluar darah. “Bu*nuh! Bu*nuh saja saya! Toh, saya juga sudah lelah menjalani hidup. Ayo, b*nuh! Saya tidak takut,” ujar Nilna menantang. “Saya hanya patuh kepada orang yang membayar saya. Kalau dia ingin kamu ma*ti, baru saya melakukannya. Dengan senang hati saya akan m3mbunuhmu. Tapi untuk sekarang, belum waktunya mengotori tangan saya dengan darah segarmu.” “Ck, patuh sama orang jahat sama saja menumpuk dosa!” “Jangan berkutbah, Nilna. Saya akan tetap baik sama ka
“Kamu! Berani-beraninya kamu ngurung saya di sini!” Nilna berteriak sambil memukuli pria di hadapannya. Ia juga mencengkeram leher pria itu erat. Sangat erat seolah-olah seluruh kekuatannya bertumpu di sana dan siap meremukkan tulang leher pria tersebut.Kalau bisa, Nilna ingin melumpuhkan pria itu dan Ningrum sekalian agar lekas bisa menghirup udara bebas.Nilna terpaksa membuka mata sebab sangat penasaran mungkin saja suara pria itu dalang di balik penyekapannya.Pria itu kesusahan bernapas. Mata dan mulutnya terbuka lebar seiring tekanan di lehernya yang kian kencang.“Kamu tega, kalian tega ngurung saya di sini! Keluarkan saya” Nilna kembali berteriak. Kali ini tangannya beralih menamp*r dengan membabi-buta pria di hadapan dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri masih mencek*k leher pria tersebut.Nilna masih dalam posisi tidur di lantai. Sementara kepalanya ada di pangkuan Ningrum.“Stop, Nilna!” Ningrum berteriak melerai. Ia terus berusaha melepaskan cengkeraman tangan kir
Setiap hari, tubuh Nilna kian terasa lemas dan ia merasa malas. Entah mengapa, wanita itu menjadi lebih sering mengantuk. Hari-hari, lebih banyak digunakan untuk tidur. Sebab menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya akhir-akhir ini, Nilna curiga semua itu ulah Ningrum dan otak penyekapan agar ia tidak lagi punya daya melarikan diri. “Apa iya makanannya dicampur obat tidur? Kalau sampai itu terjadi, bagaimana kalau berdampak pada anakku?” Nilna membatin. Sejak saat itu, Nilna mulai waspada dan hanya memakan sedikit saja apa yang disajikan Ningrum. Nilna lebih memilih makan camilan seperti biskuit yang masih jelas-jelas tersegel rapat ketika didapat. Meskipun begitu, ia tetap memutar otak agar punya kesempatan lari lagi. Sayang seribu sayang, pertahanan Ningrum juga makin menjadi. Ningrum tidak terpengaruh apa-apa saat Nilna mengiba, berpura-pura sakit, atau berpura-pura pingsan lagi. “Jangan drama lagi. Basi! Buka matamu atau saya tidak segan merobek perutmu dengan pisau yang
Langit sebentar lagi menggulung matahari. Cerah langit perlahan-lahan berganti pekatnya malam. Suara azan Magrib sudah terdengar bersahutan. Seorang pria masih berdiri menyender di mobil sambil meneguk air mineral yang sesekali tumpah ke baju. Ia seolah-olah tidak peduli dengan panggilan agar lekas sujud di tiga rakaat tersebut. Kemeja panjangnya yang digulung sesiku itu terlihat basah dari perpaduan air mineral dan peluh. Setelah isinya tinggal separuh, ia melempar botol itu ke danau, di mana kini ia berada. Pria itu Satria. Bayang-bayang kebaikan Nilna selama menjadi istrinya selalu melekat di ingatan. Nilna yang patuh, menurut, dan selalu melayani meski ia bersikap kasar. “Bajunya sudah aku setrika, Bang. Aku berangkat kerja dulu!” teriak Nilna kala itu. Sementara Satria masih mandi. Benar saja, saat Satria keluar dari kamar mandi, berbagai kemeja, celana, dan dasi yang licin dan wangi berjejer rapi di atas ranjang. Ia tinggal memilih akan memakai yang mana. Sementara yang mena
“Nilna.” Satria terus menggumamkan nama itu. Hanya saat sedang sendiri seperti ini, ia bebas memanggil nama sang mantan. Pria itu merasa aneh. Cinta untuk Nilna justru tumbuh setelah keduanya berpisah."Hah, aku ini kenapa?" Satria tersenyum saat mengingat wajah ayu Nilna.Satria kembali merenung dan menyusuri jejak-jejak masa lalunya.Ia dan Rosa awalnya sudah berpacaran dua tahun lamanya. Hubungan keduanya sempat putus nyambung dan benar-benar putus saat Satria menikahi Nilna.Rosa marah besar sebab merasa dikhianati. Namun, Satria berhasil membujuk dan berjanji akan menceraikan Nilna dan kembali kepadanya. Terbukti. Pernikahan paksa Satria dan Nilna hanya bertahan selama lima bulan saja.Setelah akta cerai turun, Satria langsung menikahi Rosa. Maya yang sudah tidak berdaya, tiada kuasa menolak keinginan putranya.Serumah dengan Maya dan Rosa, sering membuat Satria diserang darah tinggi. Rosa tidak seperti Nilna yang baik dan hormat kepada Maya. Rosa begitu kasar dan tidak mau meraw
“Rosa, aku sudah muak sama kamu! Bagaimana kalau kita pisah aja?” tanya Satria pelan, tetapi penuh penekanan. Bahu pria itu masih naik turun menahan amarah. Untuk beberapa saat, hening. Satria merasa aneh. Tumben Rosa tidak bereaksi? Pria itu akhirnya memutar tubuh. Ternyata sang istri sudah tidak ada di tempat semula. Saat matanya mencari, ternyata Rosa ada di teras sedang berbicara dengan ponselnya. Satria terpejam, lalu menyugar rambut. Pria tersebut kembali mengayunkan kaki menuju kamar. Begitu tiba, Satria hanya menghela napas panjang. Kamarnya sangat berantakan dan kotor. Selalu seperti itu. “Lama-lama aku bisa gi*la!” Satria melemparkan tasnya sembarangan. Tubuhnya yang lengket, memaksanya sejenak tidak peduli dengan keadaan kamar. Pria itu menyambar handuk. Di kamar mandi, Satria berdiri menghadap pancuran di bawah guyuran shower. Ia berharap, beban pikiran yang akhir-akhir ini menumpuk di pikiran bisa sedikit luruh bersama air. Dulu, bebannya hanya membenci Nilna. Sekaran
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z