Selamat siang, Akak. Terima kasih sudah membuka bab ini. Sebagai tanda sayang, jangan lupa rate ⭐ 5, beri ulasan terbaik, dan memberi vote💎 untuk Nilna. Tengkyu ❤️
“Nilna.” Satria terus menggumamkan nama itu. Hanya saat sedang sendiri seperti ini, ia bebas memanggil nama sang mantan. Pria itu merasa aneh. Cinta untuk Nilna justru tumbuh setelah keduanya berpisah."Hah, aku ini kenapa?" Satria tersenyum saat mengingat wajah ayu Nilna.Satria kembali merenung dan menyusuri jejak-jejak masa lalunya.Ia dan Rosa awalnya sudah berpacaran dua tahun lamanya. Hubungan keduanya sempat putus nyambung dan benar-benar putus saat Satria menikahi Nilna.Rosa marah besar sebab merasa dikhianati. Namun, Satria berhasil membujuk dan berjanji akan menceraikan Nilna dan kembali kepadanya. Terbukti. Pernikahan paksa Satria dan Nilna hanya bertahan selama lima bulan saja.Setelah akta cerai turun, Satria langsung menikahi Rosa. Maya yang sudah tidak berdaya, tiada kuasa menolak keinginan putranya.Serumah dengan Maya dan Rosa, sering membuat Satria diserang darah tinggi. Rosa tidak seperti Nilna yang baik dan hormat kepada Maya. Rosa begitu kasar dan tidak mau meraw
“Rosa, aku sudah muak sama kamu! Bagaimana kalau kita pisah aja?” tanya Satria pelan, tetapi penuh penekanan. Bahu pria itu masih naik turun menahan amarah. Untuk beberapa saat, hening. Satria merasa aneh. Tumben Rosa tidak bereaksi? Pria itu akhirnya memutar tubuh. Ternyata sang istri sudah tidak ada di tempat semula. Saat matanya mencari, ternyata Rosa ada di teras sedang berbicara dengan ponselnya. Satria terpejam, lalu menyugar rambut. Pria tersebut kembali mengayunkan kaki menuju kamar. Begitu tiba, Satria hanya menghela napas panjang. Kamarnya sangat berantakan dan kotor. Selalu seperti itu. “Lama-lama aku bisa gi*la!” Satria melemparkan tasnya sembarangan. Tubuhnya yang lengket, memaksanya sejenak tidak peduli dengan keadaan kamar. Pria itu menyambar handuk. Di kamar mandi, Satria berdiri menghadap pancuran di bawah guyuran shower. Ia berharap, beban pikiran yang akhir-akhir ini menumpuk di pikiran bisa sedikit luruh bersama air. Dulu, bebannya hanya membenci Nilna. Sekaran
Satria kembali terduduk di kursi. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Lantas, tangan itu bergerak ke atas, menyugar rambut sambil sesekali menjambak.Cukup lama Satria berdiam diri di sana sampai suara langkah Rosa dan koper terdengar gaduh. Pria berkaus abu-abu tersebut tidak peduli. Hingga tidak lama berselang, suara deru mobil kian menjauh dari indra pendengarannya.Perut yang lapar, kondisi hati yang terbakar, ditambah sikap sang istri, menimbulkan sensasi panas dalam hati yang makin menyebar dari ujung rambut hingga kaki Satria.Tadi pagi, Samira berangkat mengikuti kegiatan Persami di sekolahannya. Itulah mengapa sang adik tidak sempat masak, membereskan rumah dan mengurus Maya. Lantas, Satria meminta Rosa tidak kerja sehari untuk menemani sang ibu dan membersihkan rumah. Bukannya melakukan apa yang diminta suaminya, rumah tetap seperti kapal pecah hingga Satria pulang.Hari-hari biasanya Maya memang di rumah sendiri saat Samira sekolah. Asal sudah dilap, diganti baju
Maya menggeleng sambil meracau tidak jelas setelah mendengar penuturan sang putra. Wanita itu menangis.Andai bisa bicara, Maya akan memarahi Satria karena keinginan konyolnya itu. Namun, ia tidak kuasa.“Bercanda, Bu. Mana mampu aku punya dua istri,” ujar Satria sambil tertawa.“Ibu jangan nangis. Maaf kalau perkataanku bikin Ibu kayak gini.” Satria menyeka air mata ibunya.“Tapi aku sudah punya niat mau pisah dari Rosa, Bu. Capek ngadepi dia. Udah, ah. Cup, jangan nangis. Nanti cantiknya ilang.” Satria kembali menggoda.Begitulah pria itu. Saat ibunya sakit, ia malah sering mengajak bercanda. Maya tersenyum di sela tangisnya.“Katakan. Apa Ibu suka kalau misalnya aku pisah dari Rosa dan kembali sama menantu kesayangan Ibu?” tanya Satria lagi.Maya mengangguk.Satria menggenggam telapak tangan kanan sang ibu yang mati rasa. Dikecupnya tangan itu sayang.“Doakan semoga Nilna mau, Bu. Aku sangat berharap dia menerima niat baikku ini. Aku ingin memperbaiki semuanya.”**Malam harinya, S
Setelah pingsan karena bius, Nilna sudah kembali dimasukkan ke kamar. Ia terlelap. Lukanya sudah diperban ala kadarnya oleh Ningrum. Sedikit banyak, ia memang tahu masalah pengobatan.“Itu nanti lukanya nggak infeksi?” tanya seseorang yang sejak tadi mengamati Ningrum gesit mengobati Nilna.“Nggak, Bos. Sudah saya atasi. Kecuali kalau dia berulah lagi.” Ningrum lalu mengemasi kotak obat dan hendak membawa ke luar kamar.Orang yang dipanggil bos itu mengembuskan napas panjang. Menaklukkan Nilna ternyata tidak semudah yang dipikirkannya.“Kamu nanti tidurlah di kamar ini. Dia lebih nekat sekarang.”Ningrum mengangguk, lalu berdiri dan berjalan keluar kamar.“Nilna harus baik-baik saja sampai anaknya lahir. Setelah itu, dia bebas mau kabur atau apa asal anaknya ada di tangan saya.” Orang tersebut menatap Nilna dalam, lantas memutar tubuh. Tepat saat orang itu akan berbalik, sebuah bantal melayang mengenai kepalanya. Satria batal melangkah.“Bang Sat! Sesuai namamu, kamu itu bang*sat!” te
“Jawab! Jangan jadi pengecut yang hanya bisa diam!” Nilna lagi-lagi berteriak. “Nilna, jangan teriak-teriak. Kasihan anakmu di dalam sana nanti ikut stres.” Satria mengingatkan, mengabaikan pertanyaan Nilna. “Kepedulianmu nggak guna untukku! Jawab, Satria!” Nilna terus mengejar. Namun, Satria lagi-lagi hanya diam. “Lepaskan aku, Bangs*t! Biarkan aku keluar dari sini!” Karena geram, Nilna memukuli Satria sekuat tenaga yang dipunya. Satria membiarkan tubuhnya menjadi samsak Nilna untuk beberapa saat sebelum akhirnya pria itu menahan pergelangan tangan sang mantan. “Nilna, aku nggak akan lepasin kamu. Di luar sangat berbahaya untukmu. Jadi, cukup di sini sampai kamu dan anakmu nanti benar-benar siap menghadapi dunia. Tenang, Nilna. Aku yang akan mengurus semuanya. Aku janji nggak akan menyakiti kalian. Oke?” Satria menatap Nilna sungguh-sungguh. Nilna menggeleng. Wanita itu berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Satria. Satria pun melepaskan. Nilna kini ganti memegang bantal. D
Anggi termenung di teras kontrakan. Setiap ada waktu, wanita berambut sebahu tersebut akan duduk sambil memandang jalan. Ia berharap ada keajaiban, Nilna tiba-tiba berjalan, datang pulang.Akan tetapi, harapan itu lagi-lagi selalu kandas. Sudah hampir dua bulan Nilna hilang dan selama itu pula Anggi sudah bekerja keras mencari dan belum ditemukan. Ia yakin Nilna diculik karena baju, tabungan, surat penting, dan ponsel masih ada di kontrakan. Ia selalu menyalahkan diri sendiri karena merasa lalai menjaga sang sahabat.Berbagai cara sudah dilakukan Anggi untuk mencari Nilna. Mulai dari lapor polisi, pencarian di media sosial, hingga menyebar selebaran. Sayangnya, hingga kini belum ada perkembangan berarti. Minimnya CCTV di area sekitar kontrakan membuat pihak berwajib kesulitan mengendus keberadaan Nilna.“Kamu di mana, Na? Pulanglah. Semoga kamu selalu baik-baik saja di mana pun berada.” Anggi bergumam.Suara deheman membuat Anggi menoleh. Ada seorang pria yang entah sejak kapan berdir
“Siapa kalian!” Nilna berteriak. Wanita tersebut spontan turun dari ranjang. Sementara dua orang asing itu bergerak kian merapat. “Jangan mendekat! Apa mau kalian!” teriak Nilna lagi. Ia berjalan mundur. Dua pria yang memakai masker, menggunakan sarung tangan, dan menutup kepala dengan hoodie jaket itu makin maju dan berdiri tepat di depan Nilna. Persis seperti tampilan malaikat maut bagi Nilna. Sementara tidak ada alat untuk Nilna melindungi diri atau sekadar untuk memukul jika mereka menyakiti. Wanita yang tubuhnya sudah terantuk tembok itu mulai merasa ketakutan. “Saya datang untuk menyelamatkanmu.” Salah seorang dari keduanya menjelaskan. Nilna terus memindai dua orang di hadapan. Ia ingin percaya, tetapi di sisi lain juga masih waswas. Apakah benar mereka mau menolong? “Tenang, kami orang baik. Kami ditugaskan seseorang untuk membantu Mbak keluar dari sini. Mari.” Seorangnya lagi menambahkan. Akal dan hati Nilna mulai bertarung. Akalnya meminta agar mengiakan ajakan terseb
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z