"Kakek, aku tidak ingin mereka tahu mengenai Zira. Aku sudah berjanji pada Tuan Reigha untuk menjaga Zira dengan baik. Sedangkan mereka …." Kaesar menatap sendu ke arah sang Kakek, ada luka yang ia di sembunyikan lewat tatapan tersebut, "mereka bisa mencelakai istriku.""Tenang saja, Cucuku sayang. Kakek selamanya berpihak padamu." Axen tersenyum lembut dan hangat, menatap penuh kasih sayang pada Kaesar. Cucunya ini adalah satu-satunya cintanya yang tersisa. Istrinya telah tiada tujuh tahun yang lalu, anaknya--Ayah Kaesar, bukanlah anak yang berbakti. Dia hanya punya Kaesar! "Tapi Kakek penasaran, bagaimana bisa Tuan Reigha menikahkan putrinya yang masih muda denganmu? Apa Tuan Reigha tidak menyayangi putrinya?" "Tuan Reigha sangat menyayangi Zira, Kek." Kaesar tersenyum tipis, "hanya saja, Zira cukup bandel. Tuan terpaksa menikahkannya denganku karena Zira enggan ikut ke Paris dan tidak suka berada di mansion utama keluarga Azam.""Tetapi …." Axen mengelus dagu, seperti berpikir ke
Ceklek'Tiba-tiba saja pintu terbuka, memperlihatkan suaminya di sana. Zira berlari kecil ke arah ranjang, langsung berbaring dan segera tutup mata. Tadi Kaesar menyuruhnya untuk istirahat, sialnya dia malah kedapatan bermain–menari konyol di depan cermin. Jangan sampai Kaesar memarahinya! "Kenapa tidak istirahat, Ma Zi?" tanya Kaesar, bersedekap di dada sembari menatap sang istri yang berbaring di ranjang–lebih tepatnya berpura-pura tidur. Zira membuka mata, menyengir lebar ke arah Kaesar. "Aku tidak bisa tidur jika tidak dipeluk oleh seorang pangeran," ucapnya dengan memasang ekspresi yang dibuat imut. Bukan berniat genit pada sang suami, tetapi Zira hanya ingin menggoda Kaesar yang ternyata berdarah bangsawan. "Kau mau dipeluk seperti apa, Humm?" Kaesar menatap Zira, membuka tuxedo yang melekat di tubuh lalu beralih membuka atribut lainnya. Namun, tak sekalipun tatapannya lepas dari sosok Zira yang sudah terlihat gelisah di tempat. Zira meneguk saliva secara kasar, buru-buru du
"Dia memberitahumu?"Zira tersenyum simpul, sebisa mungkin bersikap anggun dan sopan. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mendapatkan hati keluarga suaminya. Dia tidak boleh sampai cacat; dengan memperlihatkan sikap konyol serta ke randomannya. "Om dan Kak Kaesar memiliki kemiripan," jawab Zira lembut dan halus, nada yang sopan dan cukup anggun. Namun, tiba-tiba saja tangannya dicengkeram kuat oleh Kaesar–membuat Zira mendongak ke arah pria itu, menatap aneh serta keheranan. Raut muka Kaesar mendadak sangat dingin dan begitu flat, sorot mata berubah tajam serta memperlihatkan kemarahan. 'Apa aku melakukan kesalahan?' batin Zira, meneguk saliva secara susah payah. Apa jangan-jangan Kaesar tidak suka disebut mirip dengan ayahnya? Ta--tapi kenapa?"Ouh, kami memang mirip," remeh pria tua itu, melirik Kaesar sejenak kemudian mempersilahkan Zira serta Kaesar untuk duduk. "Sebelum makan malam, bisahkah kau memperkenalkan diri?" ucap seorang wanita berbeda. Dia duduk di sebela
"Ayahnya memilih meninggalkan Kaesar dan ibunya, demi hidup bersama wanita yang dia cintai.""Ibu yang tadi, Kakek?" tanya Zira, di mana saat ini dia masih di ruang santai–muka masih penuh dengan bedak. Setelah bermain game dengan sang kakek, Zira lanjut bercerita-cerita dengan sang kakek, membahas suaminya. "Bukan." Axen menggelengkan kepala, "itu istri ketiga ayah Kaesar. Istri pertamanya ibu kandung Kaesar, lalu menceraikannya dan menikah dengan wanita yang dia cintai–bernama Parita. Lalu menikah lagi dengan adiknya Parita setelah Parita meninggal delapan tahun yang lalu." "Oh, begitu." Zira memangut-mangut pelan. Jika Parita adalah istri kedua ayah mertuanya, lalu kenapa mereka menghasilkan anak yang lebih tua dari Kaesar? Yah, pria di meja makan yang tak dia kenali tadi adalah kakak suaminya, lebih tua dua tahun dari Kaesar. "Tapi … kenapa Kak Kaesar punya Kakak dari pernikahan ayah dan ibunya yang kedua? Harusnya kan adik?""Dulu Parita dan Diego adalah sepasang kekasih. Tetap
Besoknya. Kaesar membawa Zira menuju kediaman ayahnya, cukup jauh dari mansion sang kakek. Malam ini Zira sangat cantik, mengenakan dress hitam elegan yang indah. Rambut perempuan itu dikepang setengah lalu sisanya dibiarkan tergerai.Malam ini-- Zira seperti seorang lady dari keluarga bangsawan. Namun, memang benar bukan jika dia seorang tuan putri dari keluarga terhormat. Mulai dari tiba di pesta ini, sampai acara hampir selesai, Kaesar sama sekali tak melepas genggamannya dari tangan Zira. Tidak! Istrinya terlalu cantik ditempat terbuka seperti sekarang. "Kaesar Axelion, putraku dan merupakan pewaris utama Axelion," ucap Diego, memperkenalkan putranya sebagai pewaris utama di depan seluruh tamu undangan. Sejujurnya ada tamu spesial yang ia undang dan ingin ia pamerkan pada tamu lain–Reigha Abbas Azam, penguasa di dunia bisnis yang disegani oleh para penghuninya. Namun sayang, pria misterius itu mengatakan tidak bisa hadir karena ada hal penting. Hah, padahal Axelion cukup deka
Setelah kejadian semalam, di mana Kaesar dan Zira tak punya baju ganti, untungnya paginya Raka datang untuk mengantar pakaian ke duanya. Rencananya mereka ingin pulang ke mansion, tetapi ayah Kaesar meminta agar Kaesar ikut dengannya. Diego ingin mengatakan suatu hal penting pada Kaesar. Saat Kaesar menemui ayahnya, Zira menunggu di ruang tamu–ditemani oleh para maid di rumah ini. "Ada apa?" tanya Kaesar setelah duduk di sebuah sofa yang berada di ruangan ayahnya. "Hah." Diego menghela napas, memijit pelipis sejenak karena cukup terhenyak saat Kaesar berbicara tanpa embel-embel ayah padanya. Sialnya, dia mengira setelah mengumumkan Kaesar sebagai pewaris, Kaesar akan mau memanggilnya ayah. Namun, sayangnya dia salah. Ternyata anaknya ini tetap enggan bersikap sopan padanya, bahkan lebih parah karena sekarang Kaesar secara terang-terangan melayangkan tatapan tak suka padanya. "Harusnya tadi malam Ayah dan Ibu merayakan ulang tahunmu. Tetapi kau dan tunangan-mu sudah lebih dulu meni
"Kak Kaesar …," lirihnya, menangis sesenggukan ketika Erik mendekatinya–ingin melakukan suatu hal yang buruk padanya. Zira perlahan mundur, takut ketika Erik mendekatinya. Senyuman pria itu mengembang, benar-benar mengerikan di mata Zira. Ditambah tatapannya yang sangat aneh, itu semakin membuat Zira menggigil ketakutan. "Aromamu sangat harum, Sayang. Pantas saja Kaesar sangat tergila-gila padamu," ucap Erik, mencondongkan wajah ke arah leher Zira. Satu tangannya bergerak, menyentuh rambut Zira. Dia membelai rambut tersebut, tersenyum lebih jahat dengan tatapan penuh hasrat, "bahkan helai rambutmu yang indah sangat menggodaku," ucapnya serak. "A--aku tidak mengerti apa yang anda katakan. Menjauh!" kesal Zira, menepis kasar tangan Erik dari rambutnya. "Jangan kasar padaku, Zira sayang. Kau bisa membuatku marah," ucap Erik, mencengkeram lengan Zira dengan kuat–menariknya agar Zira merapat dengannya. Namun, tiba-tiba saja …-Bug'Seseorang menendang Erik dengan kuat, tepat di pingg
"Kak, lukamu …."Kaesar menoleh ke arah perutnya, menatap hanya sekilas pada perutnya yang terluka kemudian beralih menatap Zira–memperhatikan wajah khawatir sang istri yang terlihat kentara."Tidak perlu cemas. Ini tidak sakit," jawab Kaesar, menyunggingkan seulas senyuman tipis di bibir untuk meyakinkan istrinya jika dia tidak kenapa-napa. Zira terdiam sejenak, mengerjab beberapa kali ke arah Kaesar. Kemudian dengan cepat dia menyentuh luka di perut Kaesar, menekannya sedikit kuat untuk melihat reaksi sang suami. Kaesar tidak terlihat menampilkan raut muka sakit, wajahnya tetap flat. "Sudah kukatakan lukanya tidak sakit, Ma Zi," jawab Kaesar lebih rendah dari yang sebelumnya, mengacungkan pundak dengan sebelah alis terangkat. Dari raut wajah serta gerak-gerik, Kaesar memang terlihat tak kesakitan. Namun, sejujurnya pria itu sedang menahan sakit. Sekuat tenaga dia berupaya untuk terlihat baik-baik saja, supaya tak membuat Zira khawatir padanya. Jelas ini cinta! Perutnya terasa