"Aku …-" Ucapan Razie berhenti, menghela napas sembari menatap Kanza yang telah tertidur sembari memeluk perutnya. "Shit," umpat Razie pelan, sedikit kesal karena belum sempat ia mengatakan isi hatinya Kanza lebih dulu tidur. Namun, kekesalan Razie tersebut hilang ketika melihat cara tidur Kanza– memeluknya dengan pipi yang menempel ke perut Razie. Ah, sangat menggemaskan! Razie memperbaiki posisi tidur Kanza, mengecup bibir istrinya tersebut sekilas kemudian beranjak dari sana– ke toilet untuk membersihkan diri. ***Besoknya ….Kanza menatap ke sana ke mari, mencari-cari keberadaan putranya. Dia saat ini di depan sekolah Kendrick, berniat menjemput putranya tersebut. Kanza rasa dia tidak terlambat untuk menjemput Kendrick, namun sejak tadi Kendrick tak kunjung ke luar dari sekolah. Kanza sudah beberapa kali memeriksa dengan masuk ke gedung sekolah, tetapi dia tidak menemukan putranya. Beberapa guru ikut mencari, dan putranya … tak di temukan. Derttttt'Kanza meraih HP, langsung
Lagi-lagi Kendrick menggelengkan kepala. "Apa Ken dan Mommy tidak bisa seperti dulu?" ucap Kendrick pelan, "tidak apa-apa jika ada Daddy, Ken mencintai Daddy. Ta--tapi jangan dia," tambah Kendrick, tiba-tiba menunduk ke bawah– menatap ke arah perut Kanza. Kanza ikut menatap perutnya, kemudian menatap putranya semakin sedih. "Ken tidak suka yah punya adik?" Kendrick menganggukkan kepala. "Kenapa?" tanya Kanza lemah, serak dan pelan– terdengar seperti bisikan, suaranya terjepit di tenggorokan. Lebih sedih ketika Kendrick jujur padanya jika anaknya ini tak ingin punya adik. "Ken baru merasakan punya Daddy-" serak Kendrick dengan nada yang hilang di akhir kalimat, tidak sanggup mengatakannya karena tak dapat membendung gejolak aneh dalam hatinya. Air matanya kembali jatuh, tertunduk sedih dengan bibir melengkung ke bawah. "Selama ini Ken hanya punya Mommy, lalu Daddy hadir di antara kita. Ken sangat senang, Ken punya orang tua yang lengkap. Ken suka bermain dengan Daddy, Ken suka dige
"Itu tidak akan terjadi, Sweetheart." Razie berucap pelan, menatap ke arah ranjang– memperhatikan putranya yang tidur di sana. "Aku memiliki kesalahan fatal seorang ayah pada Ken. Dan mungkin butuh seumur hidup untuk ku memperbaikinya," tambah Razie menoleh ke arah Kanza. "Kesalahan?" Kanza bergumam pelan. "Humm." Razie berdehem, "aku tidak menemaninya, tidak ada di saat Ken kita lahir di dunia ini, tidak mendengar suara tangisan pertamanya, suara tawanya pertama kali. Aku tidak ada di saat dia belajar duduk, berjalan berjalan. Aku tidak tahu kata apa yang pertama kali Ken bisa ucapkan. Aku melewatkan banyak hal dalam diri putraku sendiri, Kanza. Dan untuk itu-- tidak mungkin aku mengabaikannya hanya karena dia akan punya adik. Jika aku melakukan hal yang seperti Ken takutkan, aku akan merasakan penyesalan untuk kedua kalinya." "Aku paham dan aku aku percaya pada Mas Razie," ucap Kanza lembut sembari tersenyum manis ke arah Razie.Razie terdiam sejenak, sebelah alisnya terangkat, m
'Jadi Kanza yang Tuan maksud bukan aku yah? Kanza nama kekasihnya yah? Atau … i--istrinya?' batin Luisa, semakin muram karena takut jika Kanza adalah nama dari istri pria yang ia kagumi ini. "Tentu saja." Razie berucap bangga, "Kanza istriku, hanya milikku. Tentu saja aku harus possessive dan over protektif padanya," tambahnya dengan nada dingin, menampilkan raut muka serius-- mendapat helaan napas dari Ethan. "Humm." Ethan berdehem singkat. 'Jika membahas istrinya dia sangat lancar berbicara, seolah dia baru sarapan dengan kamus bahasa di seluruh dunia. Coba membahas yang lain, Cik, dia akan seperti orang bisu.' batin Ethan, menatap berang pada sepupunya. 'Argkkk! Malah diperjelas sendiri oleh Tuan.' batin Luisa, diam-diam mencengkeram dress yang dia kenakan, kesal bercampur sedih karena Kanza ternyata bukan dirinya, melainkan istri dari pria ini. "Tujuan?" Razie menaikkan sebelah alis, menatap datar ke arah Ethan. "Karena hanya kau yang mempercayaiku untuk memegang proyek, mak
"Aku suka dada," ucap Razie kembali-- reflek Kanza menyilangkan tangan di depan dada, mendongak pada Razie dengan pipi memanas dan merah; bak buah persik kematangan."Ayam," tambah Razie, membuat Kanza buru-buru melempar ayam dalam kemasan tersebut kembali ke tempat semula. "Nga--ngapain Mas di sini?" tanya Kanza dengan gugup, mengambil ayam bagian dada lalu memasukkannya dalam troli. Razie mendekat pada Kanza lalu secara mengejutkan pria itu mengecup singkat bibir Kanza– membuat Kanza membelalak horor dengan raut muka pucat pias, tegang bercampur malu. "Tidak sopan," ucap Kanza-- mencicit pelan. Razie mengabaikan, memilih meriah troli kemudian menyelipkan atau melingkarkan tangan Kanza di lengannya. Razie beranjak dari sana, otomatis membuat Kanza ikut beranjak. "Kau menjual Winter?" "Dia menyebalkan sih, Mas," jawab Kanza sembari mengangguk tanpa beban, "sepanjang hari kerjaannya hanya mengikutiku. Kebetulan ada Arsen, jadi aku menyuruh Arsen untuk membawa Winter dengannya." "
'Aku yakin aku bisa. Pria itu harus melihatku dan menyesal telah meremehkan ku. Pria itu harus sadar jika anak yang telah ia buang tujuh tahun yang lalu adalah bintang yang bersinar terang di era ini.' batin Kanza setelah berada di depan. Sejenak Kanza bersitatap dengan pria yang pernah mengusirnya dari rumahnya sendiri, di mana pria itu terlihat kaget kala melihat Kanza. Kanza lalu mengalihkan tatapannya, dia tidak ingin menatap Razie karena dia sangat gugup. Namun, matanya tanpa bisa diajak kompromi malah menoleh ke arah sana. Razie tersenyum padanya, entah kenapa itu membuat Kanza merasa lebih bersemangat– merasa percaya diri dan dia yakin karyanya akan menyita perhatian semua orang di sini. "Namaku Kanza Adiba." Kanza mulai memperkenalkan diri, menatap tepat pada seorang pria paru baya– membakar hati Kanza, mendorongnya untuk lebih berani. Kanza menolak formal karena itulah Kanza. "Seniman dari DesArt. Dan karyaku …-" Lukisannya yang ditutup oleh tirai hitam tersebut dibuka, m
"Kau suka?" Kanza menoleh ke arah Razie, di mana saat ini pria tersebut berdiri di sebelahnya– menatap lurus ke arah depan, di mana pemandangan lampu perkotaan menghias di bawah sana. Razie membawanya ke sebuah villa keluarga pria ini, hanya berdua dan berlokasi di ketinggian. Suasananya hening tetapi sangat tenang, hanya satu yang mengganggu bagi Kanza. Suhu di sini sangat dingin. Dia tidak terlalu suka suhu dingin. Setelah terdiam lama-- hanya mengamati paras tampan suaminya, akhirnya Kanza menganggukkan kepala. Itu pun ia lakukan karena Razie mendadak menoleh padanya. "I--iya. Di sini bagus dan indah, Mas," ucap Kanza, menggaruk tengkuk– canggung karena Razie tiba-tiba terus menatapnya. Setelah menyuruhnya berganti pakaian, Kanza dibawa langsung oleh pria ini ke tempat ini. Anehnya, tempat ini sepi tetapi kenapa Razie keukeh memaksanya mengganti gaun tadi? Padahal Kanza sangat suka pada gaun itu, dan lagipula gaun tersebut adalah pemberian Razie sendiri. "Tapi bagaimana deng
"Bagaimana, kau sudah jatuh cinta padaku?" Kanza mengerjab beberapa kali, menatap semakin gugup pada suaminya. Jatuh cinta pada pria ini? Sebelum menikah dia sudah merasakan-nya. Bagaimana bisa dia menghindar dari cinta, sedangkan dia dan Razie tinggal satu atap? Tentu Kanza tidak bisa menghindar, terlebih sosok ini sangat hangat pada putranya dan sangat peduli padanya. "Mencintai Mas Razie itu kewajibanku, kan Mas Razie suamiku," jawab Kanza, sedikit mengelak karena rasa gugup yang memenuhi dirinya. "Karena suami?" Kanza mengganggukkan kepala. "Kalau aku bukan suamimu lagi, apa cintamu akan hilang?" tanya Razie, sedikitnya tidak puas dengan jawaban Kanza. Dia ingin Kanza jatuh cinta padanya sedalam-dalamnya, tanpa ada alasan. Agar Kanza benar-benar terjerat dan bertekuk lutut padanya. Namun, Kanza punya alasan mencintai. Hell! Artinya suatu saat Kanza punya alasan jua untuk memudarkan perasaan itu. Kanza menganggukkan kepala. "Suatu saat kau punya alasan untuk mengakhiri cinta