'Aku yakin aku bisa. Pria itu harus melihatku dan menyesal telah meremehkan ku. Pria itu harus sadar jika anak yang telah ia buang tujuh tahun yang lalu adalah bintang yang bersinar terang di era ini.' batin Kanza setelah berada di depan. Sejenak Kanza bersitatap dengan pria yang pernah mengusirnya dari rumahnya sendiri, di mana pria itu terlihat kaget kala melihat Kanza. Kanza lalu mengalihkan tatapannya, dia tidak ingin menatap Razie karena dia sangat gugup. Namun, matanya tanpa bisa diajak kompromi malah menoleh ke arah sana. Razie tersenyum padanya, entah kenapa itu membuat Kanza merasa lebih bersemangat– merasa percaya diri dan dia yakin karyanya akan menyita perhatian semua orang di sini. "Namaku Kanza Adiba." Kanza mulai memperkenalkan diri, menatap tepat pada seorang pria paru baya– membakar hati Kanza, mendorongnya untuk lebih berani. Kanza menolak formal karena itulah Kanza. "Seniman dari DesArt. Dan karyaku …-" Lukisannya yang ditutup oleh tirai hitam tersebut dibuka, m
"Kau suka?" Kanza menoleh ke arah Razie, di mana saat ini pria tersebut berdiri di sebelahnya– menatap lurus ke arah depan, di mana pemandangan lampu perkotaan menghias di bawah sana. Razie membawanya ke sebuah villa keluarga pria ini, hanya berdua dan berlokasi di ketinggian. Suasananya hening tetapi sangat tenang, hanya satu yang mengganggu bagi Kanza. Suhu di sini sangat dingin. Dia tidak terlalu suka suhu dingin. Setelah terdiam lama-- hanya mengamati paras tampan suaminya, akhirnya Kanza menganggukkan kepala. Itu pun ia lakukan karena Razie mendadak menoleh padanya. "I--iya. Di sini bagus dan indah, Mas," ucap Kanza, menggaruk tengkuk– canggung karena Razie tiba-tiba terus menatapnya. Setelah menyuruhnya berganti pakaian, Kanza dibawa langsung oleh pria ini ke tempat ini. Anehnya, tempat ini sepi tetapi kenapa Razie keukeh memaksanya mengganti gaun tadi? Padahal Kanza sangat suka pada gaun itu, dan lagipula gaun tersebut adalah pemberian Razie sendiri. "Tapi bagaimana deng
"Bagaimana, kau sudah jatuh cinta padaku?" Kanza mengerjab beberapa kali, menatap semakin gugup pada suaminya. Jatuh cinta pada pria ini? Sebelum menikah dia sudah merasakan-nya. Bagaimana bisa dia menghindar dari cinta, sedangkan dia dan Razie tinggal satu atap? Tentu Kanza tidak bisa menghindar, terlebih sosok ini sangat hangat pada putranya dan sangat peduli padanya. "Mencintai Mas Razie itu kewajibanku, kan Mas Razie suamiku," jawab Kanza, sedikit mengelak karena rasa gugup yang memenuhi dirinya. "Karena suami?" Kanza mengganggukkan kepala. "Kalau aku bukan suamimu lagi, apa cintamu akan hilang?" tanya Razie, sedikitnya tidak puas dengan jawaban Kanza. Dia ingin Kanza jatuh cinta padanya sedalam-dalamnya, tanpa ada alasan. Agar Kanza benar-benar terjerat dan bertekuk lutut padanya. Namun, Kanza punya alasan mencintai. Hell! Artinya suatu saat Kanza punya alasan jua untuk memudarkan perasaan itu. Kanza menganggukkan kepala. "Suatu saat kau punya alasan untuk mengakhiri cinta
Benar saja, setelah kepulangan sang legendaris barulah Razie dan kembarnya berhenti bertengkar– berhenti memperebutkan Kendrick. Saat ini mereka semua sedang duduk bersantai. Rencananya Razie akan pulang, tetapi karena dia masih betah berlama-lama dengan Daddynya, Razie memutuskan untuk berlama-lama di rumah orang tuanya. "Syukur kalian menikah cepat." Reigha menatap putranya dingin, "terlambat sedikit saja untuk menikahkan kalian mungkin Kendrick kedua akan muncul," tambah Riegha. Dia berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Razie mengatakan padanya jika Kanza saat ini sedang hamil, lebih cepat dari perkiraan Reigha. "Cik, Daddy selalu berprasangka buruk padaku." Razie berdecak pelan, menatap berang pada sang Daddy. "Jaga baik-baik." Reigha berkata kembali, nadanya lebih hangat serta bersahabat dari yang sebelumnya, "ini kesempatanmu untuk menebus kesalahanmu di masa lalu pada Kanza." "Humm." Razie berdehem singkat, "aku tahu itu, Dad." Keduanya terus berbincang atau mengobrol.
"Jadi Nona Kanza putri anda, Tuan Antonio?" Pria paru baya bernama Antonio tersebut menganggukkan kepala, tersenyum tipis pada pria yang saat ini berbicara padanya. "Benar, Tuan Karel.""Putrimu sangat cantik dan seksi." Karel mengusap dagu, tersenyum penuh makna sembari menatap Antonio dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sayangnya, ada yang mengatakan jika putri anda telah menikah dengan penguasa mengerikan." "Ah, tidak." Antonio terkekeh pelan. "Aku memang punya putri yang sudah menikah, tetapi bukan Kanza. Aku punya dua putri," tambah Antonia dengan lagi-lagi terkekeh kecil. "Ouh." Karel memangut-mangut pelan. Sepertinya informasi yang dia dapat mengenai Kanza mungkin salah. Antonio merupakan ayah Kanza dan tak mungkin pria ini berbohong padanya. Yah, informasi mengenai Kanza yang ia dapat lah yang salah. "Berarti Nona Kanza boleh untukku?" Karel menaikkan sebelah alis. Antonio terdiam sejenak, tersenyum kecut dengan bergerak tak nyaman. Saat ini dia berada di kantornya, di s
"Kanza." Kanza yang sedang mencuci tangan tersebut– sehabis selesai melukis, spontan menoleh ke arah pintu. Di mana di ambang pintu sudah berdiri Gara. Pria itu tersenyum tipis, ramah seperti biasanya. "Iya, Pak?" tanya Kanza yang kini sedang me-lap tangan menggunakan handuk kecil khusus. Kanza baru saja menyelesaikan lukisannya dan sekarang dia berniat pulang. Setelah hamil, Kanza hanya datang seperlunya ke galeri. Dia dibebaskan dari aturan apapun karena-- perusahaan milik suaminya, siapapun tidak bisa menentangnya di sini. Termasuk Gara! "Lukisan ayah dan putrinya, yang kemarin kamu lukis-- pembelinya meminta agar kamu yang mengantarnya secara langsung." Gara berkata tak enak, sedikit canggung karena kesannya dia memerintah Kanza. Hell, Kanza bukan lagi bawahannya dan perempuan cantik ini punya suami mengerikan. "Sebenarnya saya sudah menolak. Tetapi beliau mengatakan jika beliau sangat suka padamu-- dalam artian beliau suka pada karyamu. Dia salah satu penggemarmu. Jadi baga
Razie melepaskan cengkeraman tangannya, beralih menarik lukisan yang telah Kanza serahkan pada Antonio. "Sampah sepertimu tidak pantas mendapatkan karya istriku," dingin Razie, menyerahkan lukisan tersebut pada Winter. Shit! Razie pikir Winter ikut masuk ke sini, tetapi ternyata Kanza menyuruhnya untuk menunggu di mobil. Sedikitnya Razie marah dengan sikap Kanza yang seperti itu. "Tuan Razie." Karel seketika berdiri, membungkuk pada Razie untuk meminta maaf. "Maafkan saya, Tuan. Maafkan saya," ucap pria itu dengan nada bergetar ketakutan. Persetan jika tangannya masih sakit, yang terpenting dia harus mendapat maaf dari pria berbahaya ini. Pria ini bisa menghancurkan segalanya, bisnis maupun kehidupannya, "saya tidak tahu jika Nona Kanza adalah istri anda. Tuan Antonio bilang pada saya jika Nona adalah putrinya dan sudah menikah." Razie mengabaikan, memilih mencondongkan tubuhnya ke arah Kanza. Posisinya dia masih berdiri di belakang istrinya– sengaja membungkuk agar sejajar denga
"Nyonya? Dia-- Nyonya apa?" Kanza mendongak, menatap ke arah perempuan tersebut dengan raut muka konyol. "Nyonya api," jawab Kanza, mendengkus pelan lalu kembali menikmati makanannya. Winter menghela napas sejenak, senyum pelan karena merasa lucu dengan raut muka nyonya-nya. 'Nyonya?' batin Luisa, masih bertanya-tanya siapa perempuan tersebut. Hingga tiba-tiba saja pintu terbuka, memperlihatkan pujaan hatinya beserta Ethan. Untuk pertama kalinya Luisa melihat raut muka cerah sang Tuan Razie. Pria itu bahkan tersenyum dengan indah, Luisa kita senyuman itu untuknya namun dia salah. Senyuman itu untuk …-"Sweetheart, kau sedang apa?" tanya Razie yang sudah berada di sebelah istrinya, tersenyum begitu indah sembari meletakkan tangan di atas pucuk kepala Kanza. Suaranya rendah– terdengar lembut dan manis.Suara manis milik Razie tersebut membuat Luisa kejang-kejang mendengarnya. Sialnya, suara tersebut bukan untuknya tetapi untuk perempuan muda itu. "Aku sedang makan ini, Mas," jawab
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming