"Kanza." Kanza yang sedang mencuci tangan tersebut– sehabis selesai melukis, spontan menoleh ke arah pintu. Di mana di ambang pintu sudah berdiri Gara. Pria itu tersenyum tipis, ramah seperti biasanya. "Iya, Pak?" tanya Kanza yang kini sedang me-lap tangan menggunakan handuk kecil khusus. Kanza baru saja menyelesaikan lukisannya dan sekarang dia berniat pulang. Setelah hamil, Kanza hanya datang seperlunya ke galeri. Dia dibebaskan dari aturan apapun karena-- perusahaan milik suaminya, siapapun tidak bisa menentangnya di sini. Termasuk Gara! "Lukisan ayah dan putrinya, yang kemarin kamu lukis-- pembelinya meminta agar kamu yang mengantarnya secara langsung." Gara berkata tak enak, sedikit canggung karena kesannya dia memerintah Kanza. Hell, Kanza bukan lagi bawahannya dan perempuan cantik ini punya suami mengerikan. "Sebenarnya saya sudah menolak. Tetapi beliau mengatakan jika beliau sangat suka padamu-- dalam artian beliau suka pada karyamu. Dia salah satu penggemarmu. Jadi baga
Razie melepaskan cengkeraman tangannya, beralih menarik lukisan yang telah Kanza serahkan pada Antonio. "Sampah sepertimu tidak pantas mendapatkan karya istriku," dingin Razie, menyerahkan lukisan tersebut pada Winter. Shit! Razie pikir Winter ikut masuk ke sini, tetapi ternyata Kanza menyuruhnya untuk menunggu di mobil. Sedikitnya Razie marah dengan sikap Kanza yang seperti itu. "Tuan Razie." Karel seketika berdiri, membungkuk pada Razie untuk meminta maaf. "Maafkan saya, Tuan. Maafkan saya," ucap pria itu dengan nada bergetar ketakutan. Persetan jika tangannya masih sakit, yang terpenting dia harus mendapat maaf dari pria berbahaya ini. Pria ini bisa menghancurkan segalanya, bisnis maupun kehidupannya, "saya tidak tahu jika Nona Kanza adalah istri anda. Tuan Antonio bilang pada saya jika Nona adalah putrinya dan sudah menikah." Razie mengabaikan, memilih mencondongkan tubuhnya ke arah Kanza. Posisinya dia masih berdiri di belakang istrinya– sengaja membungkuk agar sejajar denga
"Nyonya? Dia-- Nyonya apa?" Kanza mendongak, menatap ke arah perempuan tersebut dengan raut muka konyol. "Nyonya api," jawab Kanza, mendengkus pelan lalu kembali menikmati makanannya. Winter menghela napas sejenak, senyum pelan karena merasa lucu dengan raut muka nyonya-nya. 'Nyonya?' batin Luisa, masih bertanya-tanya siapa perempuan tersebut. Hingga tiba-tiba saja pintu terbuka, memperlihatkan pujaan hatinya beserta Ethan. Untuk pertama kalinya Luisa melihat raut muka cerah sang Tuan Razie. Pria itu bahkan tersenyum dengan indah, Luisa kita senyuman itu untuknya namun dia salah. Senyuman itu untuk …-"Sweetheart, kau sedang apa?" tanya Razie yang sudah berada di sebelah istrinya, tersenyum begitu indah sembari meletakkan tangan di atas pucuk kepala Kanza. Suaranya rendah– terdengar lembut dan manis.Suara manis milik Razie tersebut membuat Luisa kejang-kejang mendengarnya. Sialnya, suara tersebut bukan untuknya tetapi untuk perempuan muda itu. "Aku sedang makan ini, Mas," jawab
Seorang perempuan cantik turun dari sebuah motor mewah nan gagah. Setelah turun, Perempuan berparas cantik tersebut membuka helm kemudian menyerahkannya pada pemuda yang masih duduk di atas motor mahal."Bagaimana, Zira? Kamu mau jadi pacarku?" tanya Kalandra, merupakan teman sekelas Zira. Mereka baru saja merayakan kelulusan bersama dengan yang lainnya, mencoret-coret baju seragam sekolah dengan pilox. Mereka bermain aman, mencoret baju seragam setelah penerimaan ijazah atau telah dinyatakan lulus. Karena jika mereka melakukannya sehabis ujian atau sebelum dinyatakan lulus, pihak sekolah mengancam akan menahan ijazah siswa yang mencoret-coret baju seragam dengan pilox. Karena tindakan tersebut dianggap kurang etis dan ricuh oleh beberapa pihak masyarakat; tentunya oleh pihak sekolah sendiri. Zira menggelengkan kepala sebagai jawaban. Sehabis dari acara kenakalan mereka tersebut, Zira diantar oleh Kalandra untuk pulang. Tentunya dia ke aca
"Daddy aku tidak mau menikah dengan Kak Kaesar atau-- siapapun itu. Aku baru saja lulus high school, Dad. Aku baru ingin kuliah." Sepertinya Kaesar dari rumah mereka, Zira langsung protes pada Daddynya. Mungkin Kaesar adalah pria yang tergolong tampan, idaman kaum hawa dan banyak kemampuan. Namun, itu tidak membuat Zira ingin menikah dengannya. Zira punya mimpi untuk menjadi model terkenal, dia punya banyak khayalan manis di kepalanya untuk menikmati hidup di masa remaja ini. Jika dia menikah maka semua akan hancur bukan? Kebebasan-- bebas yang ingin dia rasakan hanya akan menjadi harapan tanpa kenyataan jika dia menikah. "Kau tetap kuliah meskipun telah menjadi istri Kaesar," jawab Reigha rendah, terkesan dingin dan sama sekali tak menatap putrinya– memilih fokus pada pekerjaannya. 'Seeprti dejavu.' batin Ziea– juga ada di ruang kerja Reigha karena menemani suaminya untuk bekerja. Dia hanya diam, memperhatikan putrinya yang merengek karena takut untuk dinikahkan dengan Kaesar. Ini
"Harusnya Kakak tolak." Kaesar menatap intens ke arah Zira, memandangi wajah cantik perempuan tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada yang berani menolak perintah Tuan Are, Humm?" ucap Kaesar, membuat Zira terdiam– mengerjabkan mata beberapa kali dengan menatap gugup ke arah Kaesar. Benar juga! Daddynya adalah Tuan Are– sosok yang ditakuti, misterius dan kejam. Para pamannya saja yang sudah terbiasa dengan Daddynya masih takut, apalagi Kaesar. "Kau berani?" tanya Kaesar kembali, mendapat gelengan kepala secara kuat dari Zira. "Cih." Kaesar berdecis geli, menatap lamat dan berat ke arah Zira. Remaja yang baru ia nikahi ini sangat menggemaskan, tingkahnya lucu dan menggelitik perut. "Kau sangat menggemaskan, Little Wife. Cute!" Kaesar mendekat pada Zira, mengacak pucuk kepala sang istri karena terlalu gemas dengan tingkah Zira. "Little Wife? Maksud Kak Kaesar aku masih anak-anak?" Zira menepis tangan Kaesar dari atas rambut. Entah kenapa Zira gugup ketika Kaesar mengaca
"Ada apa?" tanya Kaesar, menatap Samuel lalu beralih menatap seorang perempuan mungil yang berdiri di depan Samuel. Perempuan itu menunjukkan raut muka gugup, panik serta takut. Entah kenapa itu malah menggemaskan di mata Kaesar. Ekspresi gadis mungil ini begitu lucu. "Zira dan temannya sedang dihukum meminta tanda tangan kita sekaligus foto. Tolong berikan," ucap Samuel, membantu Zira berbicara pada Kaesar. Dia tahu Kaesar adalah suami dari adiknya ini, dia hadir di pesta pernikahan tertutup keduanya. Namun, Samuel memahami situasi– adiknya masih canggung dengan Kaesar. Itu hal yang wajar sebab Kaesar dan Zira tidak pernah dekat sebelumnya. Ditambah perbedaan usia keduanya yang sangat jauh, semakin membuat keduanya mungkin canggung. Tidak masalah beda usia jauh jika masih satu zona. Namun, Zira dan Kaesar berbeda zona. Kaesar pria dewasa menuju matang sedangkan Zira gadis remaja yang masih sibuk mencari jati diri. Tentu perbedaan itu membuat keduanya tidak nyaman. "Humm." Kaesar b
Langkah Zira berhenti seketika, terpaku pada sosok pria yang menikahinya– di mana pria tersebut sedang bersama perempuan, bergandengan tangan. 'Aduhh ….' Zira membatin sembari meletakkan tangan di dada– menatap dua insan yang terlihat sangat romantis tersebut, 'kenapa dadaku nyeri yah? Nggak mungkin kan karena lihat mereka?' Matanya mengerjab, terus memperhatikan keduanya. 'Ah, enggan lah. Dadaku nyeri pasti karena mau tumbuh makin besar. Yah, pasti karena itu,' dewi batin Zira, buru-buru beranjak dari sana sebelum keberadaannya disadari. Yang dia lihat barusan adalah Kaesar dengan seorang perempuan cantik, seksi dan tinggi– cocok dengan Kaesar. Keduanya bergandengan tangan, berjalan lambat sembari si perempuan yang bercoleteh. Bukankah keduanya terlihat manis layaknya pasangan? "Jika kita berani jatuh cinta, maka kita harus bersiap-siap menanggung resiko untuk cemburu," ucap Zira, membaca sebuah kertas yang ia temukan di lantai– dekat rak coklat. "Ih, apaan sih?" gumam Zira, merob