Reigha yang tertoleh dengan cepat menatap tajam ke arah Ziea, rahangnya mengatup kuat dengan raut wajah mengerikan serta aura pekat yang menundukkan. Matanya menyorot dingin serta penuh ancaman, memancarkan kemarahan yang kentara di sana. TesNamun, saat melihat sebuah bulir kristal jatuh dari pelupuk mata Ziea, kemarahan itu seketika lenyap dan berganti perasaan bersalah. Entah, dia bingung kenapa Ziea menangis tetapi dia merasa bersalah melihat air mata itu. "Sebenci itu Kak Rei padaku yah sampai harus menyewa gigolo untuk melecehkanku?!" serak Ziea rendah dan bergetar, mendongak untuk menatap Reigha dengan manik berkaca-kaca yang penuh kesedihan."Apa yang kau katakan, Zie?" ucap Reigha pelan dan rendah, dia langsung membawa Ziea dalam pelukannya– mendekapnya dengan hangat dan erat, berusaha memberikan rasa aman pada istrinya tersebut. Shit! Dia bisa melihat ketakutan yang sangat besar memancar di mata Ziea. Dan … menyewa gigolo untuk melecehkan …- fucking jerk! Tidak mungkin Re
"Punya pemikiran darimana sehingga kau bisa meyakini jika aku berniat buruk padamu?" tanya Reigha dingin, mengabaikan perkataan Ziea sebelumnya dan tiba-tiba mendongak– menatap intens pada sang istri. Jantung Ziea berdebar dengan sangat kencang. Oh, Tuhan! Bisakah Reigha tidak menatapnya seperti ini? Jujur saja jantung Ziea sudah tidak sanggup. Rasanya … sulit dijelaskan. Intinya dia gugup. 'Dia masih bisa bertanya begitu? Setelah semua yang dia lakukan padaku?' batin Ziea, masih gugup karena tatapan Reigha yang terlalu dalam dan menghipnotis. Tetapi di sisi lain, dia sangat kesal! Pertanyaan Reigha sangat menjengkelkan. "Kak-- Mas Rei masih nanya? Jelas-jelas perbuatan Mas Rei lah.""Perbuatan apa? Coba katakan," ucap Reigha dingin, merapikan kotak obat lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian dia beralih duduk di sebelah Ziea. 'Serius, dia masih nanya?' batin Ziea yang semakin kesal dengan suaminya ini. "Mas lupa yah jika Mas pernah mengancamku, dan hanya orang berniat jahat ya
Akibat kejadian memalukan tadi, Ziea semakin canggung dan gugup setiap kali bertemu dengan Reigha. Tadi-- otaknya memang sudah tidak ada karena itu Ziea bisa berpikir seperti itu.Hah! Memalukan!Sejujurnya Ziea masih duduk di sofa yang sama dengan tadi, di kamar mereka. Ziea sedang bermain game di handphone, sudah tiga puluh kali bermain dan hanya satu kali menang. Reigha duduk di sebelahnya, itu penyebab kenapa Ziea kalah melulu. Tentunya dia gagal fokus. Cik, dari luasnya kamar ini, kenapa Reigha memilih duduk di sebelahnya? Padahal di kamar ini ada meja kerja yang lebih nyaman digunakan sebagai tempat bekerja dibandingkan duduk di sofa seperti sekarang ini. Gilanya lagi, mereka duduk bersebelahan tetapi tidak saling berbicara. Bibir Ziea gatal ingin mencerocos, tetapi mau bagaimana lagi? Yang berada di sebelahnya ini Reigha, di mana berbicara dengan pria ini sama saja seperti berbicara dengan batu atau tembok. Jadi percuma! 'Aku juga tidak tahu fungsiku dinikahi oleh pria ini. M
Saat itu juga roh dalam tubuh Ziea terasa ingin minggat ke alam lain. Jantungnya sudah ingin pecah dalam sana, dan keringat dingin bermunculan di tengkuk, leher dan kening. "Bagus, Ziea." Suara Reigha yang begitu dingin dan mengalun rendah, menusuk indera pendengaran Ziea. Entah sudah yang ke berapa kalinya, Ziea meneguk saliva secara kasar. Dia dengan cepat-cepat menghapus postingannya tersebut, sebelum Reigha melakukan sesuatu pada ponselnya. Setelah itu, dia turun dari kursi bar– berniat kabur tetapi malah berakhir terperangkap dalam kungkungan Reigha. Tubuh Reigha merapat padanya dan tangan pria itu menahan di antara sisi meja bar– membuat Ziea tak bisa kabur dan keluar. "Aku sudah menghapusnya, Kak Reigha. Aku-- tolong maafkan aku," cicit Ziea dengan air muka yang sudah ingin menangis dan pucat pias. Sial! Padahal Reigha belum melakukan apa-apa padanya, bisa-bisanya dia sudah ingin menangis. Tiba-tiba saja Reigha menempelkan bibirnya di atas bibir Ziea, kemudian secara meng
"Paman Fauzan, tolong suruh maid untuk membereskan ruanganku," titah Reigha dengan nada datar, air muka flat seperti biasa."Baik, Tuan." Fauzan menganggukkan kepala. Reigha berdehem pelan, beranjak dari sana sembari menggendong istrinya. Cih, perempuan menggemaskan ini tertidur– sebelum dia menyelesaikan hukuman yang Reigha berikan padanya. Sampainya dalam kamar, Reigha membaringkan Ziea di ranjang– sejenak dia menatap wajah cantik wanita yang telah berhasil ia miliki tersebut. Setelah puas, barulah Reigha beranjak, membersihkan diri dan mengganti pakaian tidur. Dia kembali ke ranjang, membaringkan tubuhnya dengan menarik Ziea dalam dekapannya. Ah, Reigha masih tak percaya jika Ziea telah menjadi istrinya. Dulu, perempuan ini sangat cerewet, tetapi sekarang dia lebih banyak diam. Aneh! Bukankah Ziea dulu sangat ingin menikah dengannya? Kenapa setelah keinginan tersebut terwujud Ziea seperti tidak senang? Apa benar jika istrinya ini sudah pindah ke lain hati? Sial! Sampai kapanpun
Namun, Reigha melenggang begitu saja– tanpa menyapa balik atau sekedar melirik ke arah Ziea. Deg deg degBaru saja tadi Lea menceritakan hal seperti ini, dan sekarang Ziea merasakannya. Benar! Lea benar sekali. Sakitnya menembus jantung! ***Sejak saat itu, Reigha tidak pernah berbicara lagi pada Ziea. Pria itu bukan hanya mendiami Ziea, tetapi juga mengabaikan keberadaan Ziea. Sedangkan Ziea, dia sama sekali tak berani mengajak Reigha berbicara. Dia pernah mencoba, sekali, untuk meminta maaf pada Reigha. Namun, ujung-ujungnya pria itu meninggalkannya. Lebih parahnya, Reigha mendadak pergi ke negara Aunty-nya tanpa mengatakan apapun pada Ziea. Dia ke sana sendiri dengan menyuruh Fauzan untuk mengantarkan Ziea pulang ke tanah air. Kesannya, pria itu seperti mengembalikan Ziea secara halus. Hah, itu hanya perasaan Ziea saja sepertinya. Sekarang Ziea sudah sampai ke rumahnya, di mana kepulangannya disambut hangat oleh orang tua dan Kakaknya. "Harusnya Ziea pulang ke rumah mertuamu
Brak'Ucapan Haiden seketika berhenti, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka secara kasar– memperlihatkan adiknya yang berada di ambang pintu, menyengir lebar sembari menaik turunkan alis. "Cik, yang dibicarakan datang," bisik Haiden ke ponselnya. 'Jangan matikan. Aku ingin mendengar suaranya.' Haiden mendengkus, menatap Ziea yang saat ini berjalan ke arahnya dengan langkah terburu-buru. "Kak Dan yang tampan, boleh bantu Ziea?" tanya Ziea dengan nada lemah lembut dan sangat sopan, tak seperti biasanya! Tentu saja, dia membutuhkan bantuan Kakaknya, jadi Ziea harus super manis dan imut dihadapan sang Kakak. 'Perasaanku tidak enak.' batin Haiden, menatap malas ke arah adiknya. "Bantu apa?" "Tolong berpura-pura jadi suami Ziea," ucap Ziea dengan cengengesan– Haiden membulatkan mata dan spontan menutup mikrofon HP, takut seseorang di seberang sana mendengarnya. "Bodoh!" ketus Haiden. "Cik. Apasih?! Ini-- mantan aku, Dion, terus menelponku. Kakak cuma angkat trus bilang 'tolong jangan h
"Dia yang akan menikah denganku. Tolong rias dan ganti pakaiannya dengan gaun pernikahan," titah Dion pada orang-orang dalam kamar tersebut. Setelah itu, dia beranjak dari sana– membiarkan orang-orangnya untuk menghias Ziea. "Mari, Kak. Biar cepat," ucap salah satu MUA, mempersilahkan Ziea untuk duduk supaya make-up bisa dimulai. "Cepat apa?!" Ziea menepis kasar tangan MUA tersebut, "aku sudah menikah. Waras kalian semua! Dasar gila," ucap Ziea setengah berteriak pada para orang-orang di sana. Para MUA terlihat kaget, mengerutkan kening dan terdiam karena tak tahu harus melakukan apa-apa. Sedangkan kerabat Dion yang berjaga di sana, mereka sama kagetnya tetapi tetap mendekati Ziea untuk memaksa perempuan cantik tersebut dirias. Ziea memberontak, buru-buru mengeluarkan Handphone– kebetulan Reigha menghubunginya. Pertama kalinya dan di dalam kondisi yang mendesak begini. Rasanya Ziea sangat lega! Dengan buru-buru dia mengangkat telpon tersebut, tanpa ba bi bu dia langsung mengatak
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming