"Lagi chattingan sama siapa sih, Mas? Kayaknya seru banget." tanya Carla yang baru saja selesai mandi dan mendapati Savian yang senyum - senyum sendiri di hadapan ponselnya.Savian menoleh ke sumber, kemudian ia langsung merapatkan duduknya ke Carla, "Ini teman lama aku. Kemarin aku ketemu dia gara-gara aku gak sengaja nabrak mobilnya di lampu merah. Lucu, ya?" Savian bercerita dengan wajah full senyum, tampak sangat antusias. Sementara wajah Carla jauh berbeda, wanita itu spontan cemas dan memeriksa tubuh Savian, "Kamu nabrak? Terus luka gak?" tanyanya panik. Savian menggeleng tenang, "Nggak, sayang. Aku baik-baik aja. Cuma lucu aja kok aku bisa-bisanya nabrak mobil Aly." "Aly? dia cewek atau cowok?" "Cewek. Namanya Alyssa." Gurat wajah Carla lantas menurun. Jadi, yang membuat Savian tersenyum sedari tadi adalah cewek lain? "Pasti cantik," gumam Carla memancing keributan. Ya, sejauh ini, Carla mengenal beberapa teman-teman Savian, mereka semua cantik dan trendy. Belum lagi keba
Carla: aku tunggu di Raa Cha ya. Jangan lama2 datangnya, kalo lama nanti mas yang aku panggang! Savian terkekeh kecil usai membaca pesan dari Carla, pria itu kemudian memasukan ponselnya ke dalam saku celana tanpa berniat untuk membalas. Ia baru saja turun dari mobilnya, berjalan memasuki bengkel tempat dimana Alyssa memperbaiki mobilnya. Satu jam lalu cewek itu mengirim pesan beserta alamat bengkel, Alyssa bilang mobilnya baru sempat masuk bengkel karena ketabrak Savian beberapa hari lalu.Savian bisa saja mengirim uang ganti ruginya melalui mbaking, tapi ia merasa tidak etis dan kurang sopan. Jadi lebih baik menemui pihak yang terlibat langsung, Alyssa. "Savian!" Savian mengulum senyum, menemukan Alyssa yang melambaikan tangan ke arahnya. "Hai." sapa Savian, pandangan mengedar mencari mobil Alyssa diantara mobil lain yang sedang diperbaiki. "Mobil kamu masih diperbaiki?" tanya Savian sebab tak menemukan mobil hitam itu. Alyssa menggaruk tengkuk, "Udah selesai, tapi langsung diba
"Bos, ada yang nyariin tuh di luar. Cewek, cantik banget kek artis yang suka gue lihat di TV!" "Namanya siapa?" tanya Savian tanpa mengalihkan pandangannya pada layar komputer. Meski Jordi bilang yang mencarinya adalah cewek cantik tapi hal itu tidak berhasil mengusik fokus Savian dalam bekerja. Jordi menggaruk pelipisnya, "Yah, gue gak sempet nanya. Coba deh lo temuin dulu," ujar Jordi kemudian beranjak keluar dari ruangan sang atasan. Savian menghembuskan napas, ia menghempaskan punggungnya ke badan kursi lalu melepas kacamata tanpa bingkai yang bertengger di hidung bangirnya. Sebelum akhirnya pria itu memilih bangkit untuk menemui tamunya. Begitu keluar dari ruangan, kerutan langsung tercetak jelas di dahi Savian ketika melihat Alyssa yang berdiri menunggu dan menjadi pusat perhatian para pegawainya, terutama pegawai laki-laki yang ngeliriknya sambil senyum - senyum nakal. "Aly?" Savian berjalan menghampiri membuat para pegawainya langsung pura-pura sibuk dengan pekerjaannya l
"Mama?!"Carla yang hendak marah karena pintu flat nya diketuk jam dua malam mendadak sirna emosinya ketika melihat Mirda berdiri di depan pintu dengan wajah berantakan. Belum lagi keberadaan koper besar di belakang Mirda, seketika rasa kantuk Carla langsung hilang. Tanpa berkata apa-apa, Mirda membekap Carla erat, wanita itu menangis, merintih sedih di dalam pelukan sang anak, membuat Carla semakin dibuat kebingungan dengan tingkah Mirda saat ini. "Mama kenapa, Ma?" sambil mengusap punggung Mirda, Carla bertanya dengan cemas.Sebelum menunggu penjelasan dari Mirda, Carla memerintahkan sang Mama untuk masuk dan minum air putih lebih dulu agar ia jadi lebih tenang. "Mama berantem sama Papa?" Hanya itu yang ada dipikiran Carla sekarang. Pertengkaran dalam rumah tangga itu wajar, Carla sering melihat Mama dan Papanya berdebat ketika ia masih tinggal satu rumah dengan mereka. Tapi, sebesar apapun perdebatan keduanya, Mirda bukan tipe istri yang lebih memilih untuk minggat dari pada men
"Car, keluar dulu dong. Mama kamu udah bikinin sarapan masa nggak dimakan?" Savian membuang napas frustasi sebab tak mendapatkan respon apapun dari Carla yang sedang mengurung diri di dalam kamar. Wajah Savian semakin menurun melihat Mirda yang tampak cemas mengkhawatirkan kondisi anaknya di dalam sana. "Tante udah sarapan? tante sarapan aja dulu, biar Carla saya yang bujuk ya," ujar Savian dengan lembut, ini sudah agak siang, tapi sarapan yang Mirda buat tampak belum tersentuh sama sekali.Mirda menggelengkan kepalanya. Bagaimana ia bisa mengisi perut sedangkan Carla tidak ia ketahui kondisinya seperti apa di dalam kamar yang terkunci itu. Senyum menenangkan terbit dibibir Savian, meski saat ini yang mencemaskan Carla bukan hanya Mirda, dirinya pun sama. Tapi Savian berusaha terlihat tenang agar Mirda tidak semakin panik. "Mungkin semalam Carla bergadang, Tante. Jadi kayaknya masih tidur di kamar." Begitulah dongeng Savian, padahal pria itu tahu sejak satu tahun lalu Carla sudah
Sudah hari ketiga semenjak Mirda datang ke flat. Lalu malam ini, Carla kembali kedatangan tamu, Ozi, papa tirinya datang membawa wajah kesedihan. Carla yang tidak mau ikut campur memilih untuk pergi ke rumah Savian. Ia cukup peka dengan kondisi, tentu karena Mama dan Papanya butuh ruang untuk berbicara empat mata. "Mandi dulu sana," Baru saja Carla mendudukan diri di sofa empuk milik Savian, suara pria itu malah menginstruksinya membuat Carla mendengus jengkel mendengarnya. Ia baru pulang kerja setengah jam lalu, belum sempat mandi bahkan mengganti pakaian kerjanya. "Aku nggak bawa baju ganti," jawab Carla tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Savian menutup laptopnya, kemudian beranjak duduk di sebelah Carla. "Pakai baju aku aja," balasnya, Carla tetap menggelengkan kepala menolak. "Yasudah kalau nggak mau. Kamu juga tetap cantik walaupun belum mandi," Savian gunakan tangannya untuk merangkul Carla dan menarik gadis itu kedekapan. "Lagi chatan sama siapa?" tegur Sav
Hari berjalan dengan begitu cepat, hingga tidak terasa Savian dan Carla telah sampai di hari kebahagiaan mereka. Saat ini keduanya sudah berada diatas panggung pelaminan, bersalaman dengan para tamu undangan yang datang.Senyum kebahagiaan tidak kunjung luntur dari sepasang wajah pengantin baru itu. Badan langsing Carla yang terbalut kebaya jahitan tangan mertua dipadukan dengan wajah ayu miliknya, siapapun yang melihat pasti memuji keelokan rupa wanita itu. Savian sampai kesel sendiri melihat istrinya dipandangi oleh mata jelalatan para pejantan lain. "Untung kamu jadi pengantin cuma satu kali," bisik Savian ketika mereka memiliki waktu untuk duduk dan berbincang. Tamu mulai surut, beberapa beralih ke prasmanan dan photo booth yang telah disediakan. "Kenapa emangnya?" tanya Carla, sedikit sibuk merapikan kebayanya agar tidak rusak. Kebaya khusus yang dirancang dan dijahit dengan tangan sang mertua kesayangan, Carla bakal menangis tiga hari tiga malam kalau sampai robek. Menurutnya,
Savian membereskan meja kerjanya dengan semangat. Sudah waktunya pulang, ia jadi tidak sabar ingin sampai di rumah dan memeluk tubuh mungil istrinya. "Udah mau balik, Pak?" Jordi yang melihat Savian keluar dari ruangannya latah bertanya. Pasalnya, tidak ada gurat kelelahan seperti yang biasanya Savian ciptakan saat mau pulang. Dan juga, masih tersisa satu jam lagi sebelum jam pulang kantor.Savian menoleh, sepasang alisnya terangkat saat melihat para bawahannya masih bergelut dengan pekerjaannya masing-masing. "Iya. Kok kalian belum pada pulang?" tanya Savian bingung.Dengan kompak para bawahan melongo dan saling melempar pandang. Sudah jam pulang apanya!"Masih satu jam lagi kaliiii, pak!" Miera menimpali dengan jengkel. Savian selalu mengomel setiap ada bawahannya yang izin pulang sebelum jam kerja, tapi lihat apa yang ia lakukan sekarang. Kalau tidak ingat mencari kerjaan itu susah, mungkin mereka sudah kompak memaki-maki Savian.Mendengar ucapan Miera, Savian menaikan sebelah tan
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,
Mas Kahfi: Assamu'alaikum, Na... Selamat pagi.Mas Kahfi: Hari ini kesiangan enggak sholat subuhnya? Oh iya, jangan telat sarapan, ya.Keina yang baru membuka kedua matanya dan tak sengaja mendapati pop-up pesan dari Kahfi lantas berdecih. Entah kenapa pesan manis itu terlihat menjijikan untuknya. Typing Kahfi benar-benar menggambarkan sosok bapak-bapak yang sudah tua, sangat berbeda dengan Keina yang terbiasa menerima pesan dengan typing gaul dari teman-teman sepantarannya.Tanpa berniat membalas pesan dari suaminya itu, Keina lantas meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. Sejenak dia merenggangkan otot-otot badannya sebelum menyibak selimut dan turun dari ranjang. Gadis dengan setelan piyama biru muda itu berjalan menuju jendela kamarnya, membuka ventilasi udara dan menghirup banyak-banyak udara yang belum terkontaminasi polusi.Kepala Keina menoleh ke belakang, melirik jam dinding. Ternya masih pukul enam pagi. Sejujurnya, ini momen langka karena Keina bisa bangun disaat matahar
Menepati janjinya, selepas sholat dzuhur Kahfi membawa Keina ke rumah Galih untuk silahturahmi sekaligus mengenalkan istri cantiknya itu. Tentu saja, Galih dan istrinya menyambut dengan baik kedatangan keduanya. Ya, meski gagal menjadikan Kahfi sebagai menantu mereka, tapi hubungan keluarga Galih dengan Kahfi tetap baik. Mereka juga banyak memuji Keina yang katanya cantik. Usai berbincang kecil selama kurang lebih setengah jam, Kahfi dan Keina harus pamit karena mereka harus pergi mengejar jam penerbangan pesawat ke Jakarta yang sudah mereka pesan siang ini. Ya, hari ini Keina akan kembali ke Jakarta, jika gadis itu menepati janjinya, maka dia akan kembali lagi bulan depan untuk menetap selamanya bersama Kahfi di kota ini."Sudah dicek lagi barang-barang kamu? Ada yang ketinggalan enggak?" tanya Kahfi seraya mengambil alih tas besar yang sedang Keina bawa. Lantas dia menaruhnya ke dalam bagasi mobil."Enggak ada, Kak," jawab Keina.Kahfi mengangguk, dia lantas membukakan pintu penump
"Mas Kahfi, tumben sudah dua hari saya enggak lihat mas Kahfi jamaah di sini,"Kahfi yang baru saja melangkah keluar dari pintu masjid langsung menghentikan tungkainya, dia berbalik badan dan mendapati Pak Galih yang melempar pertanyaan kepadanya.Sebelum menjawab, Kahfi lebih dulu menyalami tangan pria paruhbaya itu. Dia cukup dekat dengan Pak Galih selaku ketua RT dikompleknya. Apalagi mereka sama-sama jamaah tetap di masjid, jadi setiap hari pasti bertemu."Iya, Pak, kemarin saya habis dari Jakarta," jawab Kahfi dengan senyuman di wajah teduhnya. "Oh iya, Pak, rencananya pagi ini saya mau ke rumah bapak," imbuh Kahfi sambil melangkah menuju halaman masjid. Tentu saja, tungkai Galih juga mengiringi."Ada apa, mas?" Galih bertanya sambil memakai sandal jepitnya.Kahfi menahan senyum, sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan situasi seperti ini, dijalan menuju arah pulang. Meskipun jalanan sedang sepi dan hanya ada beberapa orang yang juga baru keluar dari masjid selepas sholat sub