"Kenapa bisa terjadi kebakaran?" tanya Damian disela-sela kepanikannya. "Apa semuanya sudah keluar?"
"Rose ... Di mana Rose? Di mana putriku?" Tyna mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat. "Reega, di mana Rose?!"
"Aku tidak tahu, Ma. Aku tidak bersamanya tadi." Reega juga panik, perempuan yang baru saja menyandang gelar istri di hidupnya belum ditemukan. "Jangan-jangan Rose masih di dalam?"
Sambil menangis, Tyna terus berteriak. "Rose! Siapa pun tolong putriku, dia terjebak di dalam. Kenapa kalian diam saja!"
"Ma, tenang. Papa yakin Rose baik-baik saja." Chris, suaminya berusaha menenangkan Tyna.
"Aku akan ke dalam," ucap Reega namun sebelum masuk sudah ditahan lebih dulu oleh kedua orang tuanya. "Rose masih di dalam. Jangan halangi aku, dia bisa mati, Ma, Pa!"
"Papa mengerti, tapi lihat! Api sudah membesar. Kami juga tidak ingin kau kenapa-kenapa." Damian memberikan penjelasan pada putranya.
Reega sadar, meski perempuan yang sudah menyandang status istrinya itu bukanlah perempuan yang dia cintai, biar bagaimanapun juga dia memiliki tanggung jawab.
"To ... Loonggg ...." Tetiba terdengar suara teriakan seseorang muncul dari samping gedung.
Seluruh tamu undangan memusatkan perhatiannya ke sumber suara. Seseorang muncul dengan tertatih-tatih seraya menggendong perempuan. Mereka baru saja selamat dari kebakaran itu.
"Rose! Itu Rose!" kata Tyna menghampiri keduanya.
***
"Aku ada di mana?" Rose bertanya lirih sembari mengerjapkan matanya. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul dan kepalanya sakit.
"Rose, akhirnya kau sadar juga." Reega bisa bernapas lega sekarang. "Sebentar, kupanggil dokter dan yang lainnya."
Rose tidak merespon perkataan Reega. Dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Dia terjebak di dalam gedung pernikahannya. Ya ... Hanya itu yang dia ingat. Setelah itu dia tidak tahu siapa yang telah menyelamatkannya.
"Rose!" panggil Tyna langsung memasuki ruangan saat Reega memberitahu jika Rose sudah siuman.
"Saya periksa dulu, ya." Tyna memberi ruang agar dokter bisa memeriksa keadaan Rose. "Coba gerakkan kaki kirimu."
Perlahan, Rose mengikuti arahan dari dokter. "Awww ...," rintihnya kesakitan.
"Alhamdulillah, kaki kirinya tidak apa-apa. Hanya cedera ringan saja dan untungnya Rose tidak terlalu banyak menghirup asap." Semua yang ada di dalam ruangan mendengarkan penjelasan sang dokter. "Satu lagi, Rose juga sudah diperbolehkan pulang hari ini."
"Mmmm, Dok, kalau saya ingin Rose dirawat beberapa hari lagi di sini, apa boleh?" Pertanyaan Reega membuat keluarganya bingung.
"Tentu saja, boleh. Saya tinggal, ya."
Reega tentu saja melakukannya bukan tanpa alasan. Selain untuk kesembuhan Rose, baru saja dia mendapat kabar via pesan w******p dari Felix, jika wartawan sudah mengerubungi rumah sakit.
"Ga, aku ingin pulang saja," pinta Rose. Dia tidak suka berlama-lama di rumah sakit.
"Kau belum benar-benar pulih, Rose. Lihat kakimu, aku tidak ingin menanggung risiko jika terjadi sesuatu padamu."
"Benar apa yang dikatakan suamimu, Rose." Tyna menyetujuinya. "Mama ingin kau cepat pulih."
"Baiklah. Terserah saja." Rose pasrah dan tak bisa membantah. "Omong-omong kalian semua tahu, kan, siapa yang menolongku dari kebakaran itu?"
Seluruh pasang mata yang ada di ruangan terdiam. Tentu saja mereka semua tahu siapa yang telah menolong Rose dari kebakaran itu. Namun, orang itu tidak ingin Rose tahu jika dirinyalah yang menolong.
"Kami semua tidak tahu, Rose." Tyna menjawab. "Sudahlah lebih baik kau istirahat. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak penting."
***
"Jadi, kau juga tidak tahu siapa yang menolongku di kebakaran itu?" Rose mengulang pertanyaannya pada Reega, benaknya masih dipenuhi dengan rasa penasaran.
Saat ini, Rose telah dipindahkan di ruangan pasien VIP dan orang tua mereka sudah pulang lebih dulu. Menurut informasi yang didapatnya dari Felix, kerumunan wartawan yang menunggu di luar rumah sakit juga sudah membubarkan diri.
"Kau masih ingin membahasnya? Bukankah Mamamu sudah mengatakannya tadi?" Reega berucap sambil mengupas apel.
"Aku tidak percaya. Aku yakin kalian semua menyembunyikan sesuatu dariku."
"Lupakan saja, Rose. Kami semua memang tidak tahu. Lebih baik kau fokus dengan kesembuhanmu." Reega geregetan hingga nyaris emosi. Ia menyuapkan apel tersebut pada Rose. "Makanlah."
"Aku tidak mau." Rose memalingkan wajahnya, enggan memakan apa pun karena tidak bernafsu. "Aku curiga kebakaran itu terjadi karena kesengajaan. Bisa jadi peneror yang menerorku."
"Soal itu tidak perlu kau pikirkan. Aku sudah mengerahkan orang-orangku untuk menyelidikinya." Reega masih sabar menghadapi Rose. "Sudah malam. Istirahatlah."
Rose memilih diam dan berhenti berdebat karena percuma juga, tak ada satu pun jawaban yang didapat. Sesuai dengan perintah Reega, Rose membaringkan tubuh dan berusaha memejamkan mata.
Setelah memastikan istrinya tertidur pulas, Reega keluar dari ruangan. Dia berniat menghubungi Felix akan tetapi dua orang polisi dan beberapa anak buahnya datang, mengurungkan niatnya.
"Selamat malam, Pak Reega. Kami sudah menyelidiki penyebab kebakaran di lokasi pernikahan anda," ucap salah satu polisi tersebut. "Diduga penyebab kebakaran karena adanya unsur kesengajaan. Kami menemukan beberapa dirijen kosong berbau gosong dan kabel-kabel yang terkelupas di tempat kejadian," lanjutnya panjang lebar.
"Jadi benar, ada orang yang sengaja membakar gedung itu." Reega bergumam, mengusap tengkuknya. "Saya harap pelakunya segera ditangkap."
"Ini baru dugaan sementara, kami masih akan menyelidikinya lebih lanjut dan mencari pelakunya. Kalau begitu kami permisi."
Kedua polisi itu pergi sementara beberapa anak buah Reega masih di tempat. Reega memerintahkan mereka untuk berjaga-jaga di luar ruangan karena keadaan belum aman, dia harus tetap waspada.
Saat kembali ke ruangan di mana Rose terbaring istirahat, Reega dikejutkan oleh sosok berpakaian hitam yang sedang membekap istrinya dengan bantal. Ia pun segera berusaha mengejar sosok tersebut.
"Hey, siapa kau! Jangan lari!" Reega tak dapat menangkapnya. Sosok itu berlari kencang dan kabur lewat jendela.
Rose menatap jalanan dari balik kaca mobil. Selepas insiden tak menyenangkan yang menimpanya tadi malam, Reega memutuskan untuk membawanya pulang sebab dirasa rumah sakit tak lagi aman."Kau membawaku ke mana?" Rose mengernyit, merasa bahwa jalan yang mereka lalui bukanlah jalan ke rumahnya, bukan pula jalan ke rumah Reega."Ke rumahku," jawab Reega sambil memainkan ponselnya."Rumahmu? Tapi ini bukan jalan ke rumahmu, kan?""Aku sudah membeli rumah sendiri sejak jauh-jauh hari. Rumah yang rencananya akan kutinggali dengan Padma setelah kami menikah," jelas Reega. Ia memasukkan ponselnya ke saku jaket."Kalau begitu kenapa kau membawaku ke sana?""Memangnya kau mau tinggal bersama orang tuaku kalau aku tidak membawamu ke sana?" Reega balik bertanya, membuat Rose menggelengkan kepalanya kuat-kuat."Tapi barang-barangku masih ada di rumah,"
"Aku tidak menyangka kalau kau punya waktu luang untuk hal sepele seperti ini." Rose berucap seraya membuka bungkus kado."Aku mengambil cuti beberapa hari. Lagi pula, aku harus memastikan sendiri kalau semua kado ini aman.""Yang benar saja. Kita sudah membuka sebanyak ini, lihatlah! Tidak ada yang aneh ataupun mencurigakan. Mana mungkin mereka mencelakakan kita." Rose tidak percaya selagi belum mendapatkan keanehan apa pun. "Kecurigaanmu berlebihan."Reega membuang napas berat. "Siapa yang akan menjamin kalau kau benar-benar aman?"Bahu Rose merosot. "Ya, terserah kau saja. Lakukan apapun yang kau mau." Diambilnya kotak kado lain yang masih terbungkus rapi.Entah perasaan Rose mendadak tidak enak saat membuka kado yang dipegangnya. Benar saja, ada sesuatu yang aneh dari kado tersebut. Rose tidak berani membuka kado itu sebab aroma menyengat dan tidak sedap tertangkap hidungnya meski samar."Aaaaaaaa ...." Rose t
Hari-hari bagi Rose berjalan seperti yang sudah-sudah. Sudah satu minggu berlalu sejak pernikahannya dilangsungkan, dan selama itu pula kehidupan rumah tangganya berjalan tanpa ada halangan yang berarti. Kecuali teror boneka berdarah di awal pernikahan mereka. Selebihnya, tidak ada teror-teror lain setelah hari itu.Rose mengesah pelan, memilih untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di kepala. Kaki jenjangnya ia bawa melangkah memasuki toko kue kebanggaannya dengan tangan kanan menenteng tas dan tangan satunya membawa rantang makanan."Sudah sampai mana perombakannya?" Rose mendekati Arka, meletakkan rantang makanannya di meja.Arka menoleh, kemudian melipat kedua tangannya sambil bersandar pada pilar. "Sudah hampir selesai semuanya. Siang nanti aku akan pergi ke pusat kota untuk mencari beberapa lampu kandelir dan kepala rusa imitasi seperti permintaanmu kemarin," jelasnya. "Ngomong-ngomong, apa yang kau bawa itu?"
"Aku yakin kau masih menginginkanku." Padma tersenyum puas sebab dia mampu menaklukan hati laki-laki itu.Reega membuang napasnya. "Kau memang ahlinya dalam menggodaku." Dia merapikan kemeja dan jasnya. Tak lupa pula memasang kembali dasinya.Padma terkekeh. "Itu karena kau masih mencintaiku." Tangannya terulur membantu memasangkan dasi kekasihnya."Ya, kau benar. Satu-satunya perempuan yang ada di hatiku hanya dirimu, Padma.""Tapi kau sudah memiliki istri."Reega berdeham. "Kita bisa menjalin hubungan diam-diam tanpa dia tahu," ucapnya dengan santai.Reega berani mengatakan hal tersebut karena isi perjanjian pernikahannya dengan Rose. Yaitu keduanya boleh berhubungan dengan kekasih masing-masing dengan syarat jangan sampai publik tahu. Perihal perjanjian itu tidak boleh ada satu pun orang yang tahu termasuk Padma."Bagaimana jika wartawan dan publik tahu? Mereka pasti akan menganggapku pelak
Rose terbangun di pagi hari dengan rasa pening luar biasa. Ia cepat-cepat berlari ke wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya di sana. Rose sedikit berjengit ketika merasakan tengkuknya dipijat perlahan, diliriknya cermin di hadapannya dan menemukan Reega di sana."Sudah?" tanya Reega ketika Rose mulai membasuh mulutnya dan berkumur, yang hanya dijawab dengan anggukan oleh perempuan itu. "Kalau sudah, pergilah ke meja makan. Aku sudah membelikanmu sup untuk meredakan pengar.""Berapa banyak yang kuminum semalam?" Rose bertanya sambil membasuh wajahnya."Cukup banyak," jawab Reega. "Apa kau selalu seperti ini? Melarikan masalahmu dengan alkohol, apa kau menemukan jalan keluar setelahnya?"Rose menggeleng. "Tidak." Ia berhenti membasuh wajah dan mengeringkannya dengan handuk kecil yang ada di samping cermin. Kepalanya masih pening, tapi setidaknya sudah lebih baik dibandingkan tadi.
"Maaf, Bu Padma. Pak Reega sedang meeting," tegur Ilona ketika Padma melewati mejanya.Kedua mata mata Padma memanas. "Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya Ibu! Apa saya setua itu?" Dia menghela napas. "Aku akan menunggunya di dalam."Padma langsung masuk ke dalam ruangan Reega tanpa persetujuan Ilona. Kedatangannya kali ini ke kantor Reega bukan tanpa alasan. Dia akan membahas kontrak kerja sama menjadi brand ambassador produk terbaru dari perusahaan kekasihnya itu.Padma mengedarkan pandangannya dan menangkap sebuah bingkai besar berisi foto pernikahan kekasihnya dengan perempuan lain. Sebelah tangannya terkepal, dia kesal karena seharusnya yang berada di sana adalah dirinya."Kau sudah datang? Maaf telah membuatmu menunggu." Reega datang dengan membawa dua cup kopi di tangannya."Ya, membosankan sekali."Reega terkekeh lantas menyodorkan kopi di hadapan Padma. "Minumlah. Supaya
[Jangan senang dulu, kejutan lain masih menunggu.]]Rose sedang meletakkan baju-baju miliknya dan milik Reega di atas tempat tidur saat ingatan mengenai gumpalan kertas di teras rumah pagi tadi berkelebat di kepalanya. Ia meletakkan kertas tersebut di bawah bantal. Berhubung mamanya menginap semalam, maka seluruh pakaian dan barang-barang milik Rose juga masih ada di kamar Reega."Kau sedang apa?" Reega masuk ke kamar dengan handuk yang tersampir di lehernya."Memang kelihatannya aku sedang apa?" Rose balik bertanya. "Aku sedang menyiapkan pakaian untuk kita besok.""Aku baru tahu kalau kau bisa menyiapkan pakaian sambil melamun," sarkas Reega. Laki-laki itu berjalan menuju lemari dan menarik koper besar dari atas sana. "Sebenarnya kita tidak perlu membawa apa-apa, tinggal beli saja di sana."&
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja," ajak Ezar begitu orang sekitar mulai memperhatikan mereka berdua.Rose menyetujuinya, dia berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ezar dari belakang. Sementara di dalam mobil, Reega sejak tadi memperhatikan mereka dengan penasaran. Akan tetapi, dia tidak ingin mengambil pusing karena itu adalah urusan mereka."Jelaskan padaku siapa wanita itu?" Rose sudah tak sabar menunggu penjelasan dari Ezar. Keduanya kini sudah berada di ruang kerja pribadi Rose."Sumpah demi apapun, aku tidak pernah membawa wanita lain ke apartemenku kecuali kau, Rose.""Bullshit! Aku dengar sendiri suara desahan dan eranganmu di dalam kamar," ucap Rose terang-terangan. Ezar mengusap wajahnya. Dia merutuki kebodohannya karena membuat Rose salah paham. Dia tidak tahu pada saat penyakitnya kambuh Rose datang ke ap
Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p
"Kita sekalian makan malam di luar saja." Reega bersuara setelah keheningan yang terjadi selama beberapa menit di dalam mobil. Ia melihat arloji di pergelangan tangan dan mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi."Di kulkas masih ada beberapa bahan makanan, sayang kalau busuk," balas Rose."Tanganmu terluka." Reega melirik pergelangan tangan Rose yang memerah dan lecet, bekas jeratan tali di lokasi tadi. "Aku juga tidak sampai hati membiarkanmu bekerja di dapur dengan kondisi yang seperti itu.""Ini hanya sedikit lecet, besok juga sembuh.""Setidaknya dengarkan aku sesekali, Rose." Kali ini Reega benar-benar menoleh dan menatap Rose. "Aku berusaha untuk bersikap selayaknya suami yang baik, aku selalu mencoba untuk menjaga dan melindungimu yang mungkin kau anggap berlebihan. Tapi bahkan perlindungan yang kuberikan juga masih belum cukup untuk membuatmu aman. Aku hanya memintamu tetap diam di rumah atau di toko sampai aku kembali dari bekerja, tapi kau selalu mencari-cari alasan untuk perg
Reega menyetir mobilnya dengan cepat, dia mengarahkan laju sesuai dengan lokasi yang dikirimkan oleh Pak Randi. Reega tak habis pikir kenapa Rose masih berada di perjalanan padahal biasanya tak lama dia berangkat kantor, Rose langsung ke toko.Tiba di lokasi, Reega melihat beberapa bodyguardnya babak belur. Dia tidak menemukan Rose di mana-mana, sementara Pak Randi mulai terlihat panik."Di mana Rose?" tanya Reega dengan nada tinggi."I-ibu Rose dibawa mereka pergi," jawab Pak Randi ketakutan. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa menghalangi mereka.""Kalian semua kenapa tidak becus menjaga Rose!" Amarah Reega sudah memuncak. Semua bodyguardnya tak ada yang menjawab justru malah menundukan kepala.Reega menelpon Rose tapi berkali-kali panggilannya tidak diangkat dan kemudian teringat bahwa semalam dirinya baru saja memasang GPS di ponsel Rose. Maka dari itu, dia langsung melacak keberadaan Rose melalui GPS."Kalian semua ikuti saya dari belakang dan jangan lupa hubungi polisi," titah Reega saat
Rose memandangi ponselnya berkali-kali dengan bosan. Pesannya tak kunjung mendapatkan balasan dari Reega dan ia mengartikan itu sebagai persetujuan dari Reega. Maka tanpa basa-basi Rose segera meraih tasnya dan bersiap pergi."Kau mau ke mana?" tegur Arka begitu mendapati Rose sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas."Aku mau pulang," balas Rose."Bukankah di rumahmu tidak ada orang?" Arka mengernyit."Bukan ke rumahku, tapi ke rumah orang tuaku. Sudah, ya, aku pergi dulu." Rose hendak berjalan ketika Arka tiba-tiba menghalangi jalannya."Kau sudah minta izin pada suamimu? Aku tidak mau dia datang sambil marah-marah seperti kemarin, malu pada pelanggan. Untung kemarin sedang sepi, ya, kalau ramai bagaimana?""Aduh, sejak kapan kau jadi cerewet begini, eh? Aku sudah mengirim pesan padanya tadi, kau tenang saja, oke? Sekarang biarkan aku pergi, lagi pula aku hanya pulang ke rumah orang tuaku, kok."Arka merotasikan matanya namun tetap menyingkir dari hadapan Rose. "Ya sudah, hati-hati.