Terbit setiap hari Minggu dan Kamis.
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
"Memangnya kau hamil?"Rose diam saja, enggan menjawab pertanyaan Ezar dan justru menghela napas. Hal itu membuat Ezar yang semula tak acuh, menjadi tegang."Kau ... benar-benar hamil?""Aku tidak hamil! Aku hanya ingin kita segera menikah," ucap Rose menahan kesal.Ezar menghela napas lega meski gurat-gurat cemas masih terpancar di wajahnya."Dan kau tahu dengan jelas bahwa aku masih harus menyelesaikan pendidikanku. Rose, kita sudah membahas soal ini berulang-ulang kali kalau kau lupa."Rose mengesah lantas menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku tahu, tapi Mama dan Papa mulai bertanya-tanya kapan kau akan melamarku, kapan kita akan menikah, apakah kau serius atau hanya main-main. Mereka terus mendesakku soal itu."Ezar menghentikan kegiatan makannya dan memusatkan seluruh atensi pada Rose. "Tidak bisakah kau menunggu sebentar lagi, Ros
"Reega, apa maksudnya kau akan menikah?" tanya seorang perempuan cantik begitu terduduk di kursi penumpang samping kemudi mobil. Dia menatap tajam Reega, lantas mendapati raut wajah lelaki itu menegang."Aku akan menjelaskannya nanti." Reega kembali membawa mobilnya bersama dengan perempuan yang dicintainya itu ke suatu tempat.Tak jauh dari tempat perempuan itu menunggu tadi, Reega memarkirkan mobilnya di sebuah restoran. Dia mengajak kekasihnya masuk ke dalam, tepatnya di ruang VIP yang sudah dipesan sebelumnya."Jadi, bisa kau jelaskan perihal berita pernikahanmu?" Perempuan itu sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi. "Aku tidak percaya kau akan menikah dengan perempuan lain."Reega melempar senyuman walau terkesan memaksa. Dia berusaha menciptakan suasana yang hangat walaupun ada gelisah yang tertanam dalam dirinya."Kita makan siang dulu," ucap Reega sembari mengambil sendok dan garpu di meja. Makan siang mere
Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p
"Kita sekalian makan malam di luar saja." Reega bersuara setelah keheningan yang terjadi selama beberapa menit di dalam mobil. Ia melihat arloji di pergelangan tangan dan mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi."Di kulkas masih ada beberapa bahan makanan, sayang kalau busuk," balas Rose."Tanganmu terluka." Reega melirik pergelangan tangan Rose yang memerah dan lecet, bekas jeratan tali di lokasi tadi. "Aku juga tidak sampai hati membiarkanmu bekerja di dapur dengan kondisi yang seperti itu.""Ini hanya sedikit lecet, besok juga sembuh.""Setidaknya dengarkan aku sesekali, Rose." Kali ini Reega benar-benar menoleh dan menatap Rose. "Aku berusaha untuk bersikap selayaknya suami yang baik, aku selalu mencoba untuk menjaga dan melindungimu yang mungkin kau anggap berlebihan. Tapi bahkan perlindungan yang kuberikan juga masih belum cukup untuk membuatmu aman. Aku hanya memintamu tetap diam di rumah atau di toko sampai aku kembali dari bekerja, tapi kau selalu mencari-cari alasan untuk perg
Reega menyetir mobilnya dengan cepat, dia mengarahkan laju sesuai dengan lokasi yang dikirimkan oleh Pak Randi. Reega tak habis pikir kenapa Rose masih berada di perjalanan padahal biasanya tak lama dia berangkat kantor, Rose langsung ke toko.Tiba di lokasi, Reega melihat beberapa bodyguardnya babak belur. Dia tidak menemukan Rose di mana-mana, sementara Pak Randi mulai terlihat panik."Di mana Rose?" tanya Reega dengan nada tinggi."I-ibu Rose dibawa mereka pergi," jawab Pak Randi ketakutan. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa menghalangi mereka.""Kalian semua kenapa tidak becus menjaga Rose!" Amarah Reega sudah memuncak. Semua bodyguardnya tak ada yang menjawab justru malah menundukan kepala.Reega menelpon Rose tapi berkali-kali panggilannya tidak diangkat dan kemudian teringat bahwa semalam dirinya baru saja memasang GPS di ponsel Rose. Maka dari itu, dia langsung melacak keberadaan Rose melalui GPS."Kalian semua ikuti saya dari belakang dan jangan lupa hubungi polisi," titah Reega saat
Rose memandangi ponselnya berkali-kali dengan bosan. Pesannya tak kunjung mendapatkan balasan dari Reega dan ia mengartikan itu sebagai persetujuan dari Reega. Maka tanpa basa-basi Rose segera meraih tasnya dan bersiap pergi."Kau mau ke mana?" tegur Arka begitu mendapati Rose sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas."Aku mau pulang," balas Rose."Bukankah di rumahmu tidak ada orang?" Arka mengernyit."Bukan ke rumahku, tapi ke rumah orang tuaku. Sudah, ya, aku pergi dulu." Rose hendak berjalan ketika Arka tiba-tiba menghalangi jalannya."Kau sudah minta izin pada suamimu? Aku tidak mau dia datang sambil marah-marah seperti kemarin, malu pada pelanggan. Untung kemarin sedang sepi, ya, kalau ramai bagaimana?""Aduh, sejak kapan kau jadi cerewet begini, eh? Aku sudah mengirim pesan padanya tadi, kau tenang saja, oke? Sekarang biarkan aku pergi, lagi pula aku hanya pulang ke rumah orang tuaku, kok."Arka merotasikan matanya namun tetap menyingkir dari hadapan Rose. "Ya sudah, hati-hati.