MASIH jam sepuluh ketika Anna pergi ke kampus. Dia memilih naik kendaraan umum lalu tidur sepanjang jalan. Waktu sisa sebelum bertemu dosen dia gunakan untuk makan siang dan shalat. Setelah segar dengan perut terisi, dia merasa siap bertemu dosen.
Setelah hampir dua jam berdiskusi dengan dosen baru dia bisa keluar ruangan. Dengan kepala terisi segala jenis revisi, dia kembali merasa lelah dan butuh sedikit kudapan. Bosan dengan menu di kantin, dia melihat ke seberang jalan. Ada café kecil dengan kursi yang nyaman di sana. Anna memutuskan menyeberang. Sampai di sana dia langsung memilih sofa ternyaman untuk dia duduki. Dia sampai melenguh nyaman untuk sofa empuk yang benar-benar bisa membuat tubuhnya relaks.
Setelah memesan milk shake dan french fries, dia membuka-buka catatannya. Punggung dan kepalanya bersandar utuh di sandaran sampai kakinya pun terjulur ke bawah meja. Wadah french fries dia letakkan di sofa di sampingnya. Membuat tangann
Boy, pulang, Boy. Jangan ngayap mulu kaw, Boy. Duile… ababil sensi beud dipanggil Boy.
SEPERTI biasa di tengah semester aku sibuk dengan urusan rapot bayangan. Tapi sesibuk-sibuknya aku, aku masih bisa membalas pesan atau menerima telepon Bhaga. Tapi hanya seminggu Bhaga rutin berkirim kabar setiap hari. Setelahnya, frekuensinya menjadi berselang seling lalu kembali ke jadwal semula—terserah dia kapan. Awalnya aku berusaha kembali mengambil inisiatif. Namun akhirnya aku jengah sendiri. Bosan selalu memulai seakan hanya aku yang butuh atau terasa aku begitu membutuhkan dirinya. Akhirnya aku membiarkan saja Bhaga dengan maunya. Terserah. *** Bhagavad Antares : Na. Itu pesan yang terbaca. Aku sedang piket jadi aku bisa memegang ponsel. Meski terkejut dan merasa mendapat kejutan, segera saja kubalas. Savannah Gayatri : Ya, Ga. Savannah Gayatri : Lagi di mana? Savannah Gayatri : Hari kerja tumben bisa internetan.
MENINGGALKAN rumah Anna, Vlad tidak ada tujuan. Jam delapan untuk ukuran Vlad berarti hari masih sore. Pulang dan Vlad adalah dua hal yang sulit bertemu. Tapi saat ini yang Vlad mau cuma diam sendirian mengurai marah. Entah marah yang mana. Anna pulang dengan lelaki lain atau lelaki itu memanggilnya boy. Itu hinaan besar bagi Vlad. Di saat negara pun sudah mengakui kedewasaannya dengan menerbitkan KTP dan SIM untuknya, kenapa banyak orang masih menganggapnya bocah? Dan— Savannah… mending tadi aku bolos biar bisa ngojekin kamu seharian. Bosan juga di sekolah nggak ada kamu. Vlad menggerutu dalam hati sepanjang jalan. Tapi kalau tadi ada gue lalu mereka ketemu, apa gue nggak dijadiin obat nyamuk tuh? Berasap tapi cuma bisa muter-muter doang kayak orang gila. Lalu gue disuruh pulang duluan gitu? Aaaarrrggghhh… Dia ingin ke tempatnya biasa nongkrong. Tapi dia tidak mau ada satu orang pun yang tahu emosinya. Bertemu teman dengan wajah ter
AKU menjalani sisa hari di sekolah bersama gelisah. Lepas jam istirahat masih ada satu kelas lagi dan itu kulalui dengan usaha sangat keras untuk tetap berkonsentrasi. Beberapa kali membuat kesalahan, akhirnya kuputuskan berhenti. Kelas kuberi tugas. Aku ingin melarikan diri, tapi tentu tak bisa. Kelas ini masih menjadi tanggung jawabku. Aku terpaksa tetap duduk menemani mereka mengerjakan tugas sambil membuka buku. Hanya kubuka tapi tak kubaca. Aku benar-benar merindukan bel pulang. Bel berbunyi, aku tak peduli jika aku terlalu bersemangat meninggalkan kelas. Yang aku mau saat ini hanya menyepi. Sendiri merasai hati. Marah pada Bhaga dan malu pada Vlad yang kurasa bersamaan membutuhkan jeda sendiri untuk mereda. Marahku pada Bhaga bisa kuselesaikan dengan bertelepon. Aku sudah merencanakan meneleponnya jika aku sudah lebih tenang. Tapi malu pada Vlad, ini yang sulit. Mungkin bukan malu, ini lebih tepat seperti aku menelanjangi diriku sendiri di hadapannya. Sesuatu yang sela
DARI hasil browsing Vlad tahu dia tidak bisa mengharapkan hasil instans. Dia tidak mau menambah asupan hormon dalam dietnya. Semua dia lakukan alami. Tapi aktifitas fisiknya tentu ada efek yang lebih cepat dia rasa dari sekadar membentuk otot. Dia merasa tubuhnya lebih segar dan jadwal hariannya menjadi rapi. Dia memang masih sering hang out. Tapi makan yang teratur, tidur yang cukup, latihan fisik yang tepat, membuat hidupnya lebih berisi. Tak mudah mengantuk di kelas dengan tubuh bugar membuat dia lebih cepat lagi menangkap materi. Di rumah dia bisa berkonsentrasi belajar meski hanya sendiri saja. Dia baru merasa belajar itu ternyata menyenangkan. Sampai dia merasa soal dari sekolah kurang lalu dia membeli buku bank soal lalu asyik mengutak atik soal dari sana. *** “Mas, tadi sore pas Vlad ngemil lontong padang aku nanya dia jadi SMA ke Singapura. Katanya iya.” Sepasang itu sedang bersantai di ranjang sambil b
UCAPANNYA mengingtkan aku kenapa sampai kecelakaan itu bisa terjadi. Aku melamun terlalu dalam sampai tak sadar sedang mengemudi. Dan ucapannya juga membuatku mengingat kembali kejadian tadi siang. Jika kecelakaan itu bisa diurus Pak Danu, maka kejadian tadi siang harus aku yang membereskannya termasuk menyanggah isi kepala Vlad. Oke, aku tahu, memang aku sedang ada masalah dengan Bhaga, tapi itu hal wajar dalam rumah tangga kan? Kejadian itu tidak membenarkan pendapat Vlad bahwa aku menjalani pernikahan yang tidak bahagia kan? Pernikahanku bahagia kan? Aku merasa aku baik-baik saja. Atau Bhaga yang merasa tidak baik-baik saja? Tapi mengingat pribadi Bhaga yang abai, kupikir Bhaga pun merasa pernikahan ini baik-baik saja. Buktinya dia sangat enteng meminta izin tak pulang. Meminta izin? Dia tidak minta izin. Dia hanya memberi info. Itu dua hal yang berbeda jauh. Ah, Bhaga, tidak bisakah dia sedikit peduli padaku? Peduli dalam arti yang aku m
TAPI Vlad tetaplah Vlad. Dia masih sering berlaku semaunya saja. Dia masih sering terlambat, dia masih sering bolos, dia masih mengesalkan di kelas, dia masih malas mengerjakan tugas. Di urusan itu sepertinya dia tidak berubah. Setiap minggu pasti ada namanya di buku piket. Seperti saat ini, lagi-lagi dia terlambat. Berjalan santai dari tempat parkir, dia langsung menjatuhkan b*k*ngnya di kursi di sisi lain kursi Anna, guru piket pagi ini. Anna hanya menarik napas panjang lalu mengembuskan kasar. “Vlad, tiap mata pelajaran itu ada minimal kehadiran. Kamu telat mulu kalau pagi. Otomatis pelajaran pertama kamu nggak masuk. Tahun ini mau nggak lulus gara-gara urusan absen aja?” Anna menggerutu sambil menghentikan sesaat kegiatannya mengetik. “Saya bosan nulis nama kamu di sini. Sialnya, sering banget kamu bolos pas saya lagi piket.” Dia menekan tombol Ctrl dan tombol S bersamaan. Agak susah bekerja jika ada si biang rusuh di sampingnya. Dia memanfaatkan waktu sebaik mun
AKU tersadar perlahan. Mataku masih sangat berat membuka. Musik lembut bervolume kecil mengisi ruang. Ruang ini begitu gelap. Kenyamanan yang kurasa membuat mataku makin terasa berat membuka. Ketika akhirnya aku berhasil membuka mata aku menindai ruang ini. Di mana ini? Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya aku sadar aku ada di apartemen Vlad. Kesadaran itu membuatku mendesah menghela napas. Sudah gelap di luar. Tak ada lagi cahaya yang berhasil menerobos tirai tebal di luar. Jam berapa ini? Aku langsung menemukan tote bag di nakas. Kuambil ponsel kulirik jam di sana. Sudah jam delapan. Aku merasa sangat tak nyaman. Apalagi ketika melihat bungkus rapi dan tebal di tas berisi pembalut dan pakaian dalam. Sejenis dengan yang dulu Vlad tanyakan ketika dia melihat semua isi tasku. Paket ini selalu ada meski aku tidak dalam periodeku. Ah…. Bergegas aku ke kamar mandi. Sambil berpikir, apa Vlad tahu urusan ini sampai dia tidak membangun
ANNA tentu melaporkan tentang pertanyaan Vlad pada Bu Ros. Dari diskusi Anna dengan Vlad, mereka menyimpulkan Vlad sudah belajar sungguh-sungguh. Apalagi Anna sempat membaca catatan Vlad tentang materi yang dia kurang mengerti. Jika dia bertanya pada Anna materi biologi, tentu materi pelajaran lain akan dia cari tahu juga kan? Entah bertanya pada siapa. Mungkin hanya mencari tahu dengan jarinya saja. Tapi anehnya, nilainya tetap biasa saja. Tidak ada perkembangan berarti. Cukup tinggi untuk murid yang sering membolos. Bahkan nilai IPA pun sama. Pelajaran yang sudah beberapa kali Anna jelaskan langsung ke Vlad. Ini membuat mereka berdua bingung. Mereka memutuskan memberi waktu lagi pada Vlad untuk membuktikan catatan itu berguna. Apalagi nilai Vlad sudah cukup membuatnya lulus. Dan meski masih sering membolos, Vlad tidak lagi sering tidur di kelas. Tidak sering membantah guru. Memang dia masih terlihat abai ketika guru menjelaskan. Tapi selama dia bisa menjawab soal, guru bis
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika