TAPI Vlad tetaplah Vlad. Dia masih sering berlaku semaunya saja. Dia masih sering terlambat, dia masih sering bolos, dia masih mengesalkan di kelas, dia masih malas mengerjakan tugas. Di urusan itu sepertinya dia tidak berubah. Setiap minggu pasti ada namanya di buku piket.
Seperti saat ini, lagi-lagi dia terlambat. Berjalan santai dari tempat parkir, dia langsung menjatuhkan b*k*ngnya di kursi di sisi lain kursi Anna, guru piket pagi ini. Anna hanya menarik napas panjang lalu mengembuskan kasar.
“Vlad, tiap mata pelajaran itu ada minimal kehadiran. Kamu telat mulu kalau pagi. Otomatis pelajaran pertama kamu nggak masuk. Tahun ini mau nggak lulus gara-gara urusan absen aja?” Anna menggerutu sambil menghentikan sesaat kegiatannya mengetik. “Saya bosan nulis nama kamu di sini. Sialnya, sering banget kamu bolos pas saya lagi piket.” Dia menekan tombol Ctrl dan tombol S bersamaan. Agak susah bekerja jika ada si biang rusuh di sampingnya. Dia memanfaatkan waktu sebaik mun
Etdah, ababil. Otaknya jalan beud kalau ngedeketin cewek cantik. Segala Maslow dia ajak kentjan. Oh iya. Siapa di sini yang tasnya kayak Anna? Saya ikut ngacung loh. Dulu sih gitu. Tapi pas punya anak mendadak ransel isinya ya peralatan tempur. Saya nggak pakai tas bayi. Saya pakai ransel. Jadi kalau jalan-jalan tu tas yang bawa Paksu. Saya tetap bisa melenggang tjantik tanpa bikin cowok nenteng tas cewek. Asli saya geuleuh kalau lihat kayak gitu. Sekarang? Sling bag Eiger. Anak sudah pada besar. Nggak butuh peralatan tempur lagi.
AKU tersadar perlahan. Mataku masih sangat berat membuka. Musik lembut bervolume kecil mengisi ruang. Ruang ini begitu gelap. Kenyamanan yang kurasa membuat mataku makin terasa berat membuka. Ketika akhirnya aku berhasil membuka mata aku menindai ruang ini. Di mana ini? Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya aku sadar aku ada di apartemen Vlad. Kesadaran itu membuatku mendesah menghela napas. Sudah gelap di luar. Tak ada lagi cahaya yang berhasil menerobos tirai tebal di luar. Jam berapa ini? Aku langsung menemukan tote bag di nakas. Kuambil ponsel kulirik jam di sana. Sudah jam delapan. Aku merasa sangat tak nyaman. Apalagi ketika melihat bungkus rapi dan tebal di tas berisi pembalut dan pakaian dalam. Sejenis dengan yang dulu Vlad tanyakan ketika dia melihat semua isi tasku. Paket ini selalu ada meski aku tidak dalam periodeku. Ah…. Bergegas aku ke kamar mandi. Sambil berpikir, apa Vlad tahu urusan ini sampai dia tidak membangun
ANNA tentu melaporkan tentang pertanyaan Vlad pada Bu Ros. Dari diskusi Anna dengan Vlad, mereka menyimpulkan Vlad sudah belajar sungguh-sungguh. Apalagi Anna sempat membaca catatan Vlad tentang materi yang dia kurang mengerti. Jika dia bertanya pada Anna materi biologi, tentu materi pelajaran lain akan dia cari tahu juga kan? Entah bertanya pada siapa. Mungkin hanya mencari tahu dengan jarinya saja. Tapi anehnya, nilainya tetap biasa saja. Tidak ada perkembangan berarti. Cukup tinggi untuk murid yang sering membolos. Bahkan nilai IPA pun sama. Pelajaran yang sudah beberapa kali Anna jelaskan langsung ke Vlad. Ini membuat mereka berdua bingung. Mereka memutuskan memberi waktu lagi pada Vlad untuk membuktikan catatan itu berguna. Apalagi nilai Vlad sudah cukup membuatnya lulus. Dan meski masih sering membolos, Vlad tidak lagi sering tidur di kelas. Tidak sering membantah guru. Memang dia masih terlihat abai ketika guru menjelaskan. Tapi selama dia bisa menjawab soal, guru bis
LAGI-lagi aku membuat baju Vlad basah airmata dan lendir. Dia tetap berlutut, aku tetap duduk di tepi ranjang. Posisi yang membuat aku harus membuka tungkai lebih lebar agar badannya utuh masuk memelukku. Meski begitu, tak kurasa pelukanku berbalas. Dia hanya membiarkan aku memeluknya saja. Menyadari itu, aku berusaha mengurai pelukan. Tapi kenapa dada ini terasa nyaman untuk tempat menangis? Dia juga begitu diam. Hanya ada suara tangisku mengisi ruang ini. Hujan di luar menjadi suara latar. Malam yang hitam semakin terasa suram. Aku tak menghitung waktu, aku hanya ingin terus menangis. Tak peduli lagi di dada siapa. Aku tak peduli disebut lemah. Aku memang lemah. Saat ini, jika hanya ada harimau, mungkin harimau itu yang kupeluk. Setelahnya aku menjadi santapan harimau, mungkin itu lebih baik. Sampai akhirnya tangisku mereda, aku bisa melonggarkan pelukanku lalu perlahan aku memundurkan punggung. Dengan tangan berusaha mengeringkan wajah, pelukan itu utuh te
KEESOKAN harinya Vlad datang ke sekolah. Absen sudah tidak berlaku. Dia datang santai tapi masih cukup pagi untuk bersiap menelepon. Rencananya dia akan menghubungi kantor jam 8.30, jam kerja standar. Waktu tiga puluh menit yang dia sisihkan untuk bersiap seharusnya cukup. Dia langsung ke ruang guru. Berdiri di ambang pintu, melihat Anna dengan tatapan merindu. Sebentar lagi… Tok tok tok Seisi ruang menoleh mendengar suara ketukan pintu. Namun Vlad mengabaikan yang lain, Anna pun melambai memanggilnya. Begitu Vlad duduk di sampingnya, Anna mengambil kotak sepatu dari laci. “Saya belum cek-cek lagi nih. Data terakhir nggak berubah kan?” tanya Anna setelah serah terima kotak sepatu pada Vlad. “Kayaknya nggak ada deh. Sejak masuk laci ni kotak jadi purnakotakwan yang tak tersentuh. Ini baru mau diberdayakan lagi.” Mendengar jawaban Vlad, Anna menusuk lengan Vlad dengan pulpen yang sedang dia pegang sambil tertawa renyah.
MATAKU belum terbuka, hanya gerakan bola mata saja yang menjadi pertanda aku mulai sadar. Aku berusaha mengumpulkan nyawaku sambil berusaha membuka mata. Kenapa mata ini seperti menempel rapat? Tanpa sadar tanganku bergerak menggenggam. Genggaman itu terasa utuh bertemu pasangannya. Aku berhasil membuka mata meski semua masih berbayang. Di antara bayangan itu, aku yakin aku tidak mengenali tempat ini. Di mana aku? Aku menggeliat, dan sebuah lengan terasa bersandar di pinggangku. Lengan yang tangannya kugenggam. Bhaga? Tap— Astaga! Tubuhku mengejang kaku alih-alih menggeliat. Aku berusaha bangun tapi lengan itu semakin erat memelukku. Astaga! Aku tidur di pangkuan Vlad dan sebelah lengannya yang kupeluk balas memelukku. Aku makin panik ketika merasakan ada tangan lain yang terkubur di rambutku. Kupaksa tubuhku bergerak duduk. Gerakan yang mengganggu lengan Vlad yang mengikuti kontur tubuhku. Gerakan itu juga memb
MINGGU ini Gerombolan Siberat sibuk mengambil barang. Di akhir pekan, ruang kelas yang dijadikan gudang sudah penuh. Pengumpulan sumbangan dari murid dipercepat agar paket segera bisa dibuat. Jenis dan jumlah sumbangan termasuk uang ditempel di pintu. Setiap ada barang masuk, datanya ditulis di kertas yang ditempel di pintu. List-nya yang terus memanjang membuat semua bersemangat. Di awal pekan, sumbangan bibit tanaman datang. Vlad membuat jadwal menyiram bibit-bibit itu pagi dan sore. Penjaga sekolah merangkap petugas kebersihan dan tukang kebun hanya menjadi pengawas saja. Vlad menyerahkan jadwal yang dia buat pada Pak Bon dengan perintah, laporkan padanya kalau ada yang absen tugas menyiram. Di akhir minggu kedua setelah ujian, semua sumbangan telah lengkap sesuai data. Vlad tersenyum menstempel kartu terakhir. Dia memasukkan kartu itu ke dalam kotak sepatu, tapi dia menyelipkan stempel lucu ke dalam kantung celananya. Ponsel operasional akan dia kembalik
VLAD tidak merasa perlu menyembuyikan diri ketika mengikutiku dari belakang. Mengikuti jadwal kerja guru artinya terlalu pagi bagi dia untuk ke kantor. Entah ke mana dia setelah menjadi penguntit. Ketika aku sampai di sekolah, dia langsung pergi tanpa berpamit meski hanya membunyikan klakson. Di mobil, aku memastikan riasanku cukup apik menyembunyikan kekacauan sisa kemarin. Kupulas lagi bedak dan dengan eye shadows sedikit lebih terang dari biasanya. Kelopak yang masih bengkak kututup dengan warna silver. Eye liner sedikit lebih tebal membentuk garis mata. Blush on pink untuk menyegarkan wajah. Sudah. Hari ini akan menjadi hari yang berat yang harus aku lalui sebelum aku bisa menyepi di rumah. Tapi mengingat rumah, tentu bayangan Bhaga melintas cepat. Bayangan yang makin merusak suasana hatiku. Aku ingin menangis. Dan bayangan Vlad memperburuk semuanya. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan empatiku pada apa yang dia rasa selama sembilan tahu
MENJELANG sore ketika Anna pulang dia singgah ke toko peralatan menjahit. Dia membeli flanel warna abu-abu gelap, abu-abu terang, merah menyala, kuning cerah, dacron, dan benang wol dengan warna-warna senada. Ada yang harus dia kerjakan dengan bahan-bahan itu. Tadi Vlad mengingatkan janjinya. Anna yakin, Vlad yakin dia akan memperoleh nilai cukup bagus untuk menagih janji pada Anna. Anna ingin hadiahnya sudah siap saat pengumuman. Malam itu, saat Vlad merindukan Anna, membayangkan jauh dari Anna, Anna sendiri sedang menyiapkan hadiah istimewa untuk Vlad. Buatan tangan seperti yang Vlad mau. Memang hanya buatan tangan yang bisa menjadi hadiah istimewa untuk anak seperti Vlad. Vlad bisa membeli barang bagus tanpa berkedip sementara Anna harus bekerja jungkir balik. Seperti Vlad yang rindunya tidak selesai dalam satu malam, prakarya Anna pun tidak selesai satu malam. Rindu Vlad bertahan bertahun, prakarya Anna selesai di malam kedua. Dia cukup puas dengan hasil karyanya
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika