AKU terbangun nyaris tidak mengenali di mana aku berada. Ah, ini hanya ruang tengah rumahku saja. Semua lampu mati. Tersisa lampu teras dan nyala redup di kamar. Dingin terasa memeluk tubuhku yang tersingkap selimut. Membuatku menyelusup lebih dalam ke bawah selimut.
Aku sendirian di sini. Mataku terbuka lebar di kegelapan ruang. Menembus dinding berlapis kaca dan tirai menuju kehitaman malam. Tapi gelap di sini semakin terasa segelap di luar. Sepotong bagian bulan terlihat dari lubang angin, itu pun berlapis awan yang semakin tak mampu menembus hitamnya malam.
Sepi sesenyap ini, aku ingin berpikir. Tapi aku malas berpikir. Atau takut? Aku malas berpikir karena isi kepalaku menakutiku. Aku ingin merasai, tapi hatiku pun semakin menegaskan ketakutanku. Kukosongkan pikiran dan hati, tapi ternyata kelebat bayangnya tetap hadir. Bergantian. Saling menyakiti, dan menyakitiku juga.
Hanya seperti itu dan gelap malam semakin menuju puncaknya. Lalu hitam itu menghilan
Hadoh, basi banget sih tuh scene sakit. #ngaku Habis gimana lagi dong? Scene mendadak jatuh, dipeluk, biasanya kecelakaan ringan aja sih. Butuh sedikit kontak fisik biar lebih nyes. Tapi yang lebih nyes ya pas Vlad bilang, “Kalau aku dapat pelukan seperti itu, aku batalin semua schedule. Aku akan ikut ke mana kamu pergi.” Manusia memang susah bersyukur kali ya. Kayak Bhaga.
SEMUA diam membiarkan perempuan itu bersama air mata dan duka yang meleleh beriringan dengan lerai air di pipinya. Mereka memang hanya tahu sedikit tentang kehidupan temannya yang sedang berjuang mempertahankan nyawa dalam belitan selang dan kabel di dalam. Yang sedikit itu tidak bisa mereka tambah. Mereka hanya bisa mengira-ngira saja. Melihat perempuan itu, tiba-tiba Anna merasa hatinya tersengat. Wajahnya yang cantik dengan make up berantakan seakan menjelaskan teriakan batinnya. Anna tahu apa yang dia lakukan untuk bertahan hidup. Itu bukan pilihan yang menyenangkan. Itu bukan sedih. Dia sudah patah. Tak sanggup melihat duka pada sosok di depannya, tanpa dia sadari, kakinya bergerak mundur beberapa langkah, lalu dia membalik badannya. Pergi berlari meninggalkan ruangan yang sesak penuh lara. Vlad melihat Anna melangkah mundur dengan gerakan kaku. Ketika Anna berbalik lalu berlari, dia ikut berlari. Tak memanggil, hanya mengikuti saja ke mana Anna pergi.
“AHH…” Tanpa sadar kucengkeram tangan yang memegangku. Membuat Vlad semakin bersiaga dan memegangku—memelukku—lebih erat lagi. Sebuah pecahan semen sebesar kepalan tangan itu yang kuinjak yang membuatku limbung nyaris terjengkang. Ketika aku berusaha menstabilkan tubuh, aku merasakan tarikan urat di betis yang menyengat membuatku tersentak lalu aku mengaduh dan meringis. Aku tidak bisa menggerakkan tungkai tanpa membuat tarikan itu makin terasa. Aku seutuhnya berpegangan pada Vlad, bergantung di lengan dan bahunya. “Kamu kenapa?” tanyanya cemas. “Sa… kit…” Aku berusaha berjalan, tapi bergerak saja aku kepayahan. Vlad terus memegangku, membiarkan aku utuh bersandar di tubuhnya. Tapi aku berusaha berjalan menuju sisi pengemudi mobil. Vlad seperti mengetahui maksudku, aku merasakan kakiku tak menginjak tanah ketika dia mengangkatku di pinggang menuju mobilnya yang entah kapan sudah ada di dekat kami. Aku pasrah ketika dia membantu mendudukkan aku
ANNA benar-benar ambruk. Seakan semua tenaganya tersedot di dimensi lain yang kemarin dia masuki. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan ibu Bowo. Jika mata perempuan itu tidak sesakit itu, mungkin dia bisa lebih kuat. Tapi ibu Bowo begitu terluka. Entah luka apa. Apa luka yang dia timbulkan pada anaknya. Atau lukanya sendiri. Tapi Anna melihat banyak luka di sana. Pagi itu Vlad datang hendak menjemput Anna ke sekolah. Tapi Anna yang menyambutnya dengan wajah lusuh dan kuyu membuatnya langsung terdiam. “Saya nggak bisa ke sekolah, Vlad.” “Ibu sakit beneran?” Anna hanya mengangguk. “Nanti kamu cari teman buat ke Bowo ya.” Vlad mengangguk satu kali. “Iya, Bu.” “Kapan kamu ke rumah sakit?” “Pulang sekolah.” “Ya sudah. Saya nggak janji bisa temani ya. Jadi kamu cari yang lain aja. Jangan sendiri. Repot banget kalau jaga orang sakit sendiri.” “Iya, Bu. Ibu istirahat dulu aja.” Dia berpamit. “Ibu sudah
HARUSKAH aku menyesal? Menganggap ucapannya dulu hanya ucapan remaja labil yang tidak bisa mengendalikan hormon testosteronnya. Sepanjang kebersamaan kami, dia selalu kuanggap muridku, anak didikku. Jadi, meski umur kami hanya selisih tiga tahun, aku tak pernah memandang dia sebagai lelaki. Aku selalu menganggap dia bocah yang perlu bimbingan lebih. Kuabaikan fisiknya yang mulai tumbuh sempurna sebagai lelaki. Kulupakan dua tahun ketertinggalannya karena semua kuanggap kenakalan remaja yang wajar saja. Remaja yang sedang tumbuh mencari jati diri, Kutemani dia mencari jati dirinya, dan ternyata dia mengartikan lain kebersamaan kami. Apa aku pernah memberinya sinyal lain selain hubungan guru dan murid? Ya Tuhan… dia muridku! Apa dia tidak berpikir untuk memeriksakan kejiwaannya? Mungkin dia menderita oodiepus complex? Karena aku yakin aku tidak tertarik pada daun muda. Brondong tidak ada dalam kamusku. Aku menyukai lelaki mapan yang matang seperti Bhaga yang l
TERBURU mereka memakai baju steril lengkap dengan penutup kepala yang seorang perawat berikan ketika mereka berdiri menunggu gelisah di depan sebuah pintu yang lain. Lalu pintu di depannya bergerak tanpa derit membuat mereka berjengit terkejut. “Keluarga anak Wibowo Laksono?” tanyanya masih dengan masker terpasang. “Saya, Dok.” Ibu Bowo menjawab cepat. “Saya ibunya.” Dokter itu menarik turun masker sehingga meeka berdua bisa melihat utuh wajahnya termasuk seulas senyum di bibir. “Selamat, Bu. Anak Ibu sudah melewati fase kritis.” Mendengar itu, ibu Bowo terkesiap lalu langsung menangis. “Tanda vitalnya sudah stabil dan membaik.” Mereka sudah tidak mendengar penjelasan yang lain. Tidak perlu. Toh mereka tidak akan mengerti. Bagi mereka cukup kabar Bowo membaik [titik] Dan ketika mereka diizinkan masuk, itu seperti anugrah yang lain selain kabar baik itu. Di dalam, mereka hanya melihat Bowo yang berwajah pucat. Tapi matan
JAM sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekitar rumah semakin sepi tapi aku masih duduk merenung di kursi tamu. Menatap kosong ke bingkai seukuran poster berisi foto pernikahan kami. Foto yang juga Vlad pandangi ketika pertama kali dia hadir. Apa yang dia rasa ketika melihat foto itu? Aku merasa ada missing link. Kenapa Vlad masih bertahan dengan perasaannya jika dia sudah tahu dari awal tentang pernikahan aku dengan Bhaga? Kenapa dia tidak berpindah hati saja secepat mungkin sebelum dia mengacak-acak hidupku seperti ini dan menyakiti dirinya sendiri? Apa benar dia mengacak-acak? Kalau benar, berarti ada yang salah denganku atau dengan pernikahan ini. Jika pernikahan ini baik-baik saja dan aku kuat bertahan memegang komitmen pernikahan dengan Bhaga, tidak akan ada yang mampu masuk menjebol pertahanan pernikahan ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar ini yang sangat mengganggu. Membuatku merasa sangat bersalah. Tidak seharusnya aku ber
MAKSUD hati hanya sebentar di dalam tapi teryata mereka harus menemani dulu ibu Bowo menangis berterima kasih. Dia juga menanyakan tentang kebenaran info dari Vlad bahwa ada celah untuk Bowo sembuh. Anna menjanjikan padanya untuk mencari info lebih jelas dan itu membuat si ibu lagi-lagi menangis berterima kasih. Setelah lebih satu jam akhirnya mereka berpamit dan ibu Bowo berjanji sebentar lagi akan pulang beristirahat di rumah lalu kembali lagi pukul enam pagi. Sudah nyaris pukul sepuluh ketika Anna dan Vlad berjalan menuju parkir motor. “Bu.” “Ya?’ “Are you okay?” “Maksudnya?” “Kemarin sakit, sekarang sampai jam segini belum pulang.” Anna terkekeh. “Berita gembira itu mood booster banget. Apalagi ibu Bowo mau kalau anaknya direhab.” “Ibu ada channel ke sana?” “Ya nggak ada lah. Memang saya kayak kamu, anak penggede. Kamu ada nggak?” Vlad menggeleng. “Saya aja baru tau
KUTUTUP mulutku yang telah memaki dengan sebelah tangan sementara sebelah lagi terus memegang ponsel. Napasku menderu dan aku terus melihat video itu. kuputar ulang lagi dan lagi. Di akhir video, jika kutegaskan pendengaranku, terdengar suara desah menghela napas. My God, Vlad, please stop. Jangan hancurkan dirimu seperti ini. Tapi aku sendiri tidak berhenti melihat video itu. Kenangan malam berhujan, bermotor memeluknya dari belakang, membuatku semakin sakit. Dia melapisi tubuhku dengan dua hoodie mengingat aku baru sembuh. Hoodie itu memang utuh kuyup, tapi itu cara dia menjagaku. Anak seperti Vlad. Yang egois, tidak pernah mau mengalah, bisa sedemikian lembut mengurusku. Aku yakin, video yang aku lihat berulang-ulang mengacu ke kenangan malam itu. Aku yakin, malam itu adalah malam dia jatuh cinta padaku. Dan aku tidak pernah berpikir lain selain rasa segan murid pada gurunya. Aku sebebal itu. Kesa
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika