Share

25, Takut

last update Last Updated: 2022-02-23 09:54:59

BHAGA, jangan pergi, aku takut.

Aku terus merapal mantra itu. Begitu ketakutan jika harus sendiri menghadapi Vlad. Aku takut hatiku meluluh. Biar bagaimana pun, kebersamaan kami dulu di sekolah membekas lama di memoriku. Sepanjang aku menyusun skripsi, wajahnya selalu terbayang sampai bisa kujelaskan detail di laporan tertulis. Dan kebersamaan itu ternyata membuat tujuan jalan hidupnya ke arahku.

Bhaga, jangan pergi, aku takut.

Bus berhenti di halte sebuah mal. Banyak yang turun di sana, tanpa perintah otak aku ikut turun.

Di dalam mal aku hanya berjalan berputar tanpa tujuan. Aku merasa otakku begitu penuh mencari jalan agar Bhaga mau pindah. Apa harus aku yang pindah ke sana? Aku terus berusaha meyakinkan diriku bahwa aku bisa mengatasi keterbatasan sarana di sana. Baiklah, aku bisa bertahan. Bersama nyamuk dan air sadah yang kehitaman. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak bisa?

Tapi…

Ya Tuhan, aku sudah mengorbankan

Sandra Setiawan

Mulai lagi deh… kebetulan kebetulan kebetulan. Manggala dan Nayara banget ya. Maaf ya, ide saya agak buntu kalau nyari ide scene biar mereka ketemu. Mereka harus ketemu untuk ngebangun jiwa novel ini. Biar nggak cuma ngerasani aja. Dua-duanya saling bermonolog. Apalagi kalau scene masa kini pakai pov 1, full Anna. Ngedeketin tokoh, kalau nggak kebetulan ya dijodohin. Ck. Tapi masih betah di sini kan? Makasih ya…

| 1
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Sembilan Tahun Lagi   26, Om Darto

    KELOMPOK kedua dan behasil. Anna sudah melaporkan pada Bu Ros dan meminta Bu Ros menyiapkan guru atau murid yang lebih senior melobi orang. Biar bagaimana pun, anak-anak ini tidak bisa langsung dilepas dengan hanya satu kali pendampingan. Bu Ros menyanggupi bahkan dia pun bersedia turun tangan langsung. Tak terasa kesibukan itu sudah dua minggu berjalan. Pagi itu sebelum jam pertama dimulai, Vlad sudah melewati gerbang. Hal yang sekarang sudah jamak terjadi. Anna yang menunggu di meja piket memanggil Vlad dengan melambaikan proposal yang sudah dia siapkan. “Vlad, kita jalan. Teman saya kasih channel ke sini.” Anna menunjukkan proposal di tangannya. “Kita coba lobi gedung pertemuannya di Puncak, sama kalau bisa busnya sekalian.” Anna menjelaskan cepat. “Let’s go.” Seringai lebar langsung tercetak di wajah Vlad. Dan Anna spontan mengikut ke tempat motor Vlad diparkir. “Motor saya aja ya, Vlad.” “Apa?” Vlad langsung meno

    Last Updated : 2022-02-24
  • Sembilan Tahun Lagi   27, Perbedaan Mereka

    “KAMU mau aku urus biar Bhaga dipindahin ke head office aja?” tanyanya tiba-tiba ketika aku asyik melamun lagi. “Hah?” “Kamu tuh sekarang ngelamun terus ya. Ck.” Dia berdecak kesal. “Kamu ada hubungan apa sama kantornya Bhaga?” “Where there’s a will, there’s a way. Nggak ada hubungan, tapi nanti aku bisa cari orang yang bisa atur.” Ada kesungguhan dan ketulusan di wajah itu. “Kamu kan yang ajarin itu?” Haruskah kujawab jujur? Bisikan ibu sambungnya kembali terdengar. Aku ingin berteriak kepadanya, ajari aku bagaimana caranya agar tidak menyakiti anakmu? “Savannah, kamu ngelamun lagi.” “Aku kenal Bhaga, Vlad. Kalau dia nggak mau, ya nggak mau. Dia terpaksa pindah ke tempat yang dia nggak mau, ya dia bakal keluar, cari kerja yang lain.” “Umur dia nggak bisa sebegitunya lagi.” “Nggak tau lah. Aku pusing, Vlad.” Aku memegang dahiku dengan sebelah tangan yang bersandar di meja. “Kamu ke sini

    Last Updated : 2022-02-25
  • Sembilan Tahun Lagi   28, Kardus Sepatu

    PROPOSAL sudah tersebar ke mana-mana. Tugas Anna bertambah, mengajari mereka cara follow up dan berbagi tugas, termasuk piket menelepon. Dia membuat semacam kartu berisi data setiap tujuan proposal. Kartu itu berisi data kapan proposal diserahkan, siapa yang menerima, siapa contact person-nya, dan data-data lain termasuk kapan mereka harus menindaklanjuti proposal itu. Anna juga membuat kotak dari kardus sepatu bekas dengan penanda tanggal. Setiap kali mereka sudah menindaklanjuti—siapa pun orangnya—dia harus mencatat hasilnya di kartu selengkap mungkin termasuk kapan mereka bisa menelepon lagi. Lalu kartu itu diletakkan di kotak sepatu pada penanda tanggal yang sama. Setiap hari, petugas piket akan mengambil kartu-kartu di bagian paling depan di tanggal yang sama dengan hari itu, kemudian menelepon lalu melakukan seperti arahan Anna. Dengan cara itu, tidak ada proposal dan janji yang terlewati. Siang itu Vlad sedang memeriksa kartu yang sudah seles

    Last Updated : 2022-02-26
  • Sembilan Tahun Lagi   29, Meet Me at The Pasar Becek

    MALAM berlalu begitu saja. Pagi datang tanpa rasa. Hanya rutinitas yang biasa, terasa menjemukan saat Bhaga yang jarang di rumah lalu waktu habis di rumah saja. “Bhaga, antar ke pasar yuk,” pintaku setelah bosan di rumah saja. “Pasar apaan?” “Ya pasar. Pasar tradisional.” Aku ingin memasakkan yang istimewa untuknya. Sejak dia datang, aku hanya memasak yang simpel-simpel saja malah kadang kami mengorder makanan. Memasak untuk Bhaga tentu bisa mengisi kekosongan waktu. “Oke.” Tak lama kami sudah berboncengan. Di depan pasar, Bhaga menghentikan motor. “Kamu mau parkir di mana? Kok berhenti di sini?” tanyaku sambil memberikan helm padanya. “Nggak usah parkir lah. Aku langsung pulang aja.” Santai, dia menggantung helm itu. “Loh kok? Katanya mau antar aku ke pasar.” “Ya ini sudah aku antar kan? Kalau sudah, ya telepon aja, nanti aku jemput lagi.” “Ih, Bhaga, gimana sih? Ayo temenin belanja.” Suaraku meninggi d

    Last Updated : 2022-02-27
  • Sembilan Tahun Lagi   30, Lucky

    KERTAS itu kembali kepada Vlad setelah berkeliling ke seluruh kelas. Melihat list itu, Vlad tersenyum miring. “Tunggu sebentar ya.” Dia menaikturunkan alisnya lalu langsung pergi. Di meja piket sudah ada Anna yang sedang menikmati hujan. “Bu,” Vlad menyerahkan kertas berisi nama teman-temannya. Anna mengambil lalu membaca cepat. Hanya list nama nyaris seluruh teman sekelas Vlad. Mendongak, Anna bertanya, “Ini apa?” Dahinya berkerut dalam. “Pegang aja, Bu. Nanti Ibu akan butuh.” “Hah?” Kerutan di dahi makin jelas. Vlad langsung menganggukkan kepala satu kali, sopan, berpamit pergi. Anna terdiam lalu bergantian melihat list dan punggung Vlad yang menjauh. Kelas Vlad harus melewati bagian tanpa atap, harus menerobos hujan. Hujan seperti saat ini, membuat guru malas berbasah-basah jika tidak terlalu penting. Itu yang terjadi pada Anna sekarang. Dia terjebak di meja piket tanpa payung. Seme

    Last Updated : 2022-02-28
  • Sembilan Tahun Lagi   31, Memasak

    “KITA ke tempat kamu aja, Vlad. Aku masak di sana.” Keputusan yang cepat kuambil dalam emosi yang memuncak. “Pulang, Pak.” Suara Vlad memberi perintah pada supir. “Baik.” Sepanjang jalan aku diam. Kesalku masih bergumpal di puncak kepala. Bayangan makan siang bersama Bhaga hilang. Aku memang tidak pernah berhaap Bhaga membantuku di dapur—dia hanya akan mengganggu saja—tapi… ah, libur hanya sebentar, sepertinya lebih banyak dia habiskan dengan teman-temannya. Di rumah dia hanya tidur dan meniduri. Sampai di depan gedung, Vlad langsung mengarahkan aku ke fresh market di lantai dasar. Sementara belanjaanku diurus supirnya. “Kamu mau makan apa lagi sih? Kok mampir ke sini lagi?” ujarku ketika melewati pintu masuk yang dia bukakan untukku. Aku masih menggerutu efek jengkel pada Bhaga. “Dapur aku nyaris kosong. Kamu harus belanja lebih lengkap kalau masak di sana.” Dia menjawab santai sambil mengambil keranjang. “Kamu butuh apa?” Di

    Last Updated : 2022-03-01
  • Sembilan Tahun Lagi   32, Terdakwa

    ANNA memang tidak menarik telinga Vlad sepanjang jalan. Tapi kali ini Anna benar-benar marah. Vlad tahu itu. Dia diam saja sepanjang berjalan di samping Anna. Menunduk menghitung langkah sampai ke sekolah. Di sini dia semakin merasa ada yang aneh dengan dirinya. “Bu…” Vlad berusaha menyamai langkah Anna. “Apa?” bentak Anna. “Ibu marah beneran?” “Pakai nanya lagi! Nggak ngelihat saya bawa siapa jemput kalian?” Anna mengeluarkan kertas berisi list yang Vlad berikan tadi lalu melambaikan di depan wajah Vlad. “Ini maksudnya apa?” Vlad terdiam, berjalan tetap menunduk. “Saya sudah curiga kamu bikin ulah. Tau-tau ada warga datang ke meja piket ngasih info ada anak dari sini bergerombol bikin rusuh.” “Kenapa, Bu?” Pak Kepsek mendengar Anna berteriak. Mereka sudah melewati gerbang sekolah. “Ini, Pak. Ini biang keroknya. Dia tadi kasih saya list nama.” Anna menunjukkan kertas itu. “Saya nggak mikir dia

    Last Updated : 2022-03-02
  • Sembilan Tahun Lagi   33, Bosan

    SEMOGA isi kepala ibunya tidak berlari ke mana-mana. Aku merutuki kebodohanku. Kenapa bisa sampai aku berakhir di sini. Memasak, makan, bahkan disuapi. Lalu tertidur, lelap pula dan memakai pakaiannya. “Maaf, Bu. Saya ketiduran.” Dia sudah berjalan ke arahku, lalu duduk di sampingku. Aku memastikan pakaian yang aku kenakan tertutup rapi. Ya Tuhan, apa yang ada di kepalanya melihat aku memakai pakaian Vlad di saat matahari seterik hari ini? “Jangan turutin maunya Vlad. Dia sering caper.” Aku mendengus. Kulirik, Vlad tidak bergerak dari kursinya. Melihat dia sediam itu, bayangan dia berdiri di depan tiang bendera kembali hadir. Apa tadi dia membelaku juga? Seperti dulu dia menutupi malu guru-gurunya. “Anna, Bunda terbelah, Sayang.” Dia mengelus bahuku. “Bunda mau anak bunda dapat yang dia mau. Tapi kamu…” “Ya, Bu, saya mengerti. Saya yang salah.” Kali ini kuambil alih tanggung jawab. Seperti dulu dia berani mengakui kesalahannya

    Last Updated : 2022-03-03

Latest chapter

  • Sembilan Tahun Lagi   122, [END] Malam Pertama

    AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c

  • Sembilan Tahun Lagi   121, Get Married

    OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem

  • Sembilan Tahun Lagi   120, In A Hurry

    “I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do

  • Sembilan Tahun Lagi   119, I’ll Take The Risk.

    MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue

  • Sembilan Tahun Lagi   118, Wake Up, Vlad. It’s Me.

    DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat

  • Sembilan Tahun Lagi   117, Do You Love Him?

    JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su

  • Sembilan Tahun Lagi   116, Di Tahun Ke Sembilan

    SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s

  • Sembilan Tahun Lagi   115, (Closure?) Rendezvous

    “TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling

  • Sembilan Tahun Lagi   114, Strategi

    VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika

DMCA.com Protection Status