“VLAD, jujur aja ya, gue nggak yakin sama rencana lu.” Arif, kasie acara berkata setelah Vlad menjelaskan idenya.
“Kenapa?” Vlad bertanya sampai alisnya bertemu di tengah dahi. “Lu tinggal milih mau acara yang mana.” Dia serius mempraktekkan ajaran Anna.
“Gua pasti share ke yang lain. Kami akan diskusi. Tapi gue sudah bisa nebak isi kepala yang lain seperti apa.”
“Apa?”
“Vlad, gue tim acara, kalau gue gagal berarti acara gagal, dan gue nggak mau kerja gue gagal cuma gara-gara lu gagal.”
“Loh, kenapa gue yang gagal? Gue kerja aja belum.”
“Nah itu dia, gue nggak yakin sama hasil kerja lu. Tim gue juga sama.”
“Sh*t!” Vlad memaki. Tapi lebih untuk dirinya sendiri. Kelakuannya membuat orang sulit percaya pada dirinya.
“Gini deh, Bro. Gue tetap akan diskusi sama tim. Lu tetap jalanin rencana lu. Kalau lu berhasil, kita bisa jalanin rencana lu buat acara itu.”
“Jadi maksud lu acara gue jadi cadangan?”
Suka deh nulis part-part ini. Berasa balik ke zaman-zaman begadang bikin proposal. Walau di sini saya percepat dengan bantuan Anna jadi nggak ada meeting-meeting tim yang sering bikin tarik urat. Tapi seru. Saya menikmati setiap step kehidupan saya. Yang masih sekolah, nikmati masa-masa itu ya. Waktu nggak bisa diputar ulang. Menikmati masa-masa itu nggak cuma dengan hangout bareng squad. Aktif organisasi akan bikin kalian punya banyak sekali pengalaman.
“MENGENALMU,” dia menoleh menatapku, “aku harus menyesal atau bersyukur?” Pertanyaan retoris yang menggantung mengisi ruang senyap di antara kami. Berdua, kami masih diam berdiri saling menatap. Tatapannya sulit kuartikan. Cahayanya redup, seperti bersedih. Ada juga kilas rindu yang memujaku. Ya Tuhan… Siapa menyangka, remaja yang dulu sangat kekanakan bisa tumbuh sedewasa ini. Dia terlihat sangat matang. Garis wajahnya keras. Tulang rahangnya tegas. Tegap terbiasa tertempa kerasnya hidup. Tapi apa anak seperti Vlad merasakan kerasnya hidup? “Kamu capek, Savannah?” tanyanya mendadak. Mungkin dia melihatku menarik napas panjang. Tanpa menunggu jawabanku, dia mengarahkanku ke sebuah pintu. “Ini kamarmu. Feel free.” Dia membuka handle lalu mundur mempersilakan aku masuk. Dan aku terdiam begitu melihat isi kamar. Ini kamar wanita dengan design interior sesuai seleraku. Jelas dia membuatnya untukku apalagi ada pigura besar berisi fotoku. F
DAN dimulailah era pendampingan itu. Chat-chat panjang yang sering berujung pembicaraan absurd, meeting bersama tim yang Vlad bentuk. Dan diskusi yang sering berarti hanya berdua dengan Vlad. Anna mengerti, berorganisasi adalah hal baru bagi Vlad. Dia memang berteman tapi bermain dengan teman berbeda dengan berorganisasi. Berkali-kali Anna mengingatkan Vlad agar tidak terlalu mendikte yang terkesan egois. Bertoleransi seperti menjadi pelajaran ekstra untuk Vlad saat ini. Dia yang selalu membantah kali ini harus siap dibantah. Termasuk urusan jadwal menyebar proposal untuk mendulang dana. Tim ini berjumlah sepuluh orang, jabatan yang tertulis di proposal hanya pemanis saja. Pada dasarnya mereka bekerja serabutan, Benar-benar membuat Anna pusing. Ketika Anna melaporkan soal itu ke mentornya, Bu Ros hanya terkekeh ringan sambil menepuk bahunya. “Karena itu makanya kamu ada di sana, Anna. Untuk membuat mereka tetap di jalurnya. Biarin aja mereka begitu. Ini proyek no
SEBENARNYA aku berniat menunggu Bhaga, tapi sampai jauh malam dia tak pulang sampai akhirnya aku jatuh tertidur. Ketika aku bangun menjelang subuh, dia sudah ada di sampingku. Seperti biasa, tidur telentang dengan dengkur lembut. Entah kenapa kali ini aku malas menatap wajah tidurnya. Biasanya aku akan menatap wajah itu lalu menciumi sampai dia bangun. Mungkin aku masih jengkel karena urusan pindah kerja dan dia pergi seharian kemarin. Tapi aku kan juga pergi. Tak mau terlarut lebih dalam lagi, aku bergegas ke luar dan beraktivitas normal. Ketika Bhaga bersikap biasa saja, aku pun berusaha mengikuti alurnya. Memang tak baik terlalu lama merajuk. Dia duduk di meja counter dan mencoba nasi goreng langsung dari wadahnya. Terlalu banyak untuk disebut mencicipi. Langsung kusodorkan piring kosong yang cepat dia ambil. “Thanks.” “You’re welcome,” balasku. “Kamu pulang jam berapa semalam?” tanyaku sebagai basa–basi pagi. “Sorry ya,
AKHIRNYA rapat-rapat itu harus diimplementasikan sesegera mungkin. Guru lagi-lagi terbelah. Waktu-waktu krusial yang seharusnya diisi lebih fokus untuk pengayaan mereka pakai berkeliling mencari donatur. Tapi satu sisi mereka tahu, tim ini berisi anak yang … belajar tidak belajar hasilnya tidak akan beda jauh. Setelah pertimbangan yang matang, akhirnya tim guru memutuskan untuk membagi mereka menjadi lima kelompok. Tiap kelompok didampingi satu guru atau murid lain yang lebih berpengalaman berhubungan dengan cara formal. Tapi untuk permulaan, Anna membagi dua kelompok yang akan dia dan Vlad dampingi dengan harapan setelah dua kali pendampingan Vlad bisa berjalan sendiri sambil dia melatih temannya yang lain. Dengan cara ini Anna berharap tidak terlalu banyak mengambil waktu guru dan murid lain. Hari pertama misi, Vlad muncul dengan pakaian rapi. Baju dimasukkan ke celana, dengan ikat pinggang, sepatu convers hitam dengan sol utuh, dasi biru, dan rambut tercukur pende
KAMI sampai di rumah setelah Bhaga singgah membeli kudapan malam. Dia selalu begitu ketika pulang. Seperti memanjakan lidahnya dengan berbagai macam makanan. Kubiarkan dia membeli penganan yang dia suka semantara aku hanya menunggu di mobil. Sementara mennggu, aku menonton ulang video Discovery Channel yang Vlad bagikan. Ketiadaan Bhaga membuatku bisa bebas menginterprestasikan isi video itu dengan ekspresi wajah. Dua singa jantan itu bertarung sampai berdarah-darah. Dan caption-nya… aku hanya bisa menarik napas lelah saja. Dia memang hanya bisa berharap. *** Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar tapi mata ini tetap tak tertutup. Ucapan ibunya terus terdengar berulang. Tolak dia, but please, be careful of his heart. Dia tidak setegar yang terlihat Kalimat itu terasa lebih pas dengan Vlad yang bersama denganku di flatnya. Bukan Vlad yang tiba-tiba datang ke kelas lalu mem
MALAM itu, menunggu hari baru Vlad merasa sangat bergairah. Dia menunggu bisa berkeliling lagi. Ini lebih menyenangkan daripada belajar di kelas. Anna membuatnya belajar banyak. Banyak sekali. Termasuk kata-kata penyemangatnya. Anna seperti motivator yang selalu memberikan kepercayaan diri pada Vlad. Savannah Gayatri. Dia sebagai motivator atau keberadaannya yang menjadi motivator? Semakin lama Vlad merasa Annalah yang menjadi motifnya terus bergerak. Dan dia pun sadar, kemarin begitu menyenangkan karena ada Anna di sana. Selalu duduk di sampingnya, mengoceh menjelaskan banyak hal. Anna begitu mudah menyuruh Vlad melakukan apa pun. Apa pun. Vlad sampai tidak mengenali dirinya sendiri ketika dia berdiri di musholla sebagai imam buat Anna dan teman-temannya yang lain. Dia bisa. Tapi selama ini tidak ada yang memercayainya. Semua beranggapan Vlad hanya anak pintar yang malas sekolah. Tapi Anna? Sudah beberapa kali Anna berkata ba
BHAGA, jangan pergi, aku takut. Aku terus merapal mantra itu. Begitu ketakutan jika harus sendiri menghadapi Vlad. Aku takut hatiku meluluh. Biar bagaimana pun, kebersamaan kami dulu di sekolah membekas lama di memoriku. Sepanjang aku menyusun skripsi, wajahnya selalu terbayang sampai bisa kujelaskan detail di laporan tertulis. Dan kebersamaan itu ternyata membuat tujuan jalan hidupnya ke arahku. Bhaga, jangan pergi, aku takut. Bus berhenti di halte sebuah mal. Banyak yang turun di sana, tanpa perintah otak aku ikut turun. Di dalam mal aku hanya berjalan berputar tanpa tujuan. Aku merasa otakku begitu penuh mencari jalan agar Bhaga mau pindah. Apa harus aku yang pindah ke sana? Aku terus berusaha meyakinkan diriku bahwa aku bisa mengatasi keterbatasan sarana di sana. Baiklah, aku bisa bertahan. Bersama nyamuk dan air sadah yang kehitaman. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak bisa? Tapi… Ya Tuhan, aku sudah mengorbankan
KELOMPOK kedua dan behasil. Anna sudah melaporkan pada Bu Ros dan meminta Bu Ros menyiapkan guru atau murid yang lebih senior melobi orang. Biar bagaimana pun, anak-anak ini tidak bisa langsung dilepas dengan hanya satu kali pendampingan. Bu Ros menyanggupi bahkan dia pun bersedia turun tangan langsung. Tak terasa kesibukan itu sudah dua minggu berjalan. Pagi itu sebelum jam pertama dimulai, Vlad sudah melewati gerbang. Hal yang sekarang sudah jamak terjadi. Anna yang menunggu di meja piket memanggil Vlad dengan melambaikan proposal yang sudah dia siapkan. “Vlad, kita jalan. Teman saya kasih channel ke sini.” Anna menunjukkan proposal di tangannya. “Kita coba lobi gedung pertemuannya di Puncak, sama kalau bisa busnya sekalian.” Anna menjelaskan cepat. “Let’s go.” Seringai lebar langsung tercetak di wajah Vlad. Dan Anna spontan mengikut ke tempat motor Vlad diparkir. “Motor saya aja ya, Vlad.” “Apa?” Vlad langsung meno
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika