“Astaga, Mas!” Anya berteriak saat keluar dari toilet karena tiba-tiba Rama, suaminya, langsung mencengkeram lehernya. Membuat wanita itu kesulitan bernapas.Sejujurnya, bukan kali ini saja Anya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dan kasar dari sang suami. Namun, bukan berarti Anya terbiasa dengan perbuatan Rama yang entah karena apa kali ini.“Aku sudah bilang, jangan mengadu!” tutur Rama penuh tekanan dan ancaman. “Mulutmu bisa digunakan untuk hal lain, tapi jangan katakan bagaimana bobroknya rumah tangga kita!” Anya Mera Hanggara dan Rama Hardana menikah karena perjodohan untuk memperkuat bisnis dua keluarga, tanpa rasa cinta sebelumnya. Bahkan rentang usia mereka agak jauh. Perbedaan usia Rama enam tahun lebih tua dari Anya. Namun, ternyata itu tidak membuat Rama bijaksana. Sejak menikah, Rama dengan tegas mengatakan tidak menyukai Anya. Dia sudah memiliki kekasih bahkan merencanakan akan menceraikan Anya dua atau tiga tahun setelah pernikahan. Ancaman agar Anya tidak mem
“Rama itu suamiku.”Terdengar tawa Selly di seberang saluran telepon. “Dih. Kepedean kamu,” ucapnya. “Rama itu tidak tertarik padamu! Kasihan, iya sih statusnya istri, tapi suaminya malah sibuk sama aku!”Anya membuka matanya dan menatap ke arah cermin nakas. Berusaha untuk tidak terusik.“Kamu menelepon hanya untuk mengatakan itu?” tanya Anya. Karena, tidak mungkin Selly menghubunginya untuk bertanya di mana Rama–pria itu punya ponselnya sendiri dan tidak mungkin mengabaikan telepon dari Selly. “Kalau tidak penting, akan aku tutup–”“Aku sudah menikah dengan Rama semalam.” Selly memotong ucapan Anya.Mendengar itu, Anya kembali diingatkan pada perasaan kecewa dan terhina yang ia rasakan tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan kepuasan pada Selly dengan bereaksi seperti yang diharapkan.“Begitu?” balas Anya. Ia ingin menunjukan ketidakpedulian agar lawan bicaranya itu kesal.“Sudah? Begitu saja?” ejek Selly. “Halah, palingan kamu sebentar lagi nangis sambil jerit-jerit.”Anya menarik n
“Apakah ini istrimu?”Anya mengambil satu langkah mundur, tampak masih terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba itu. Di sisi lain, Rama tampak kaku saat menyapa si pria asing. “Bima,” ucapnya.Sosok itu menoleh ke arah Rama sekilas dan tersenyum miring, sebelum kemudian kembali menatap Anya.“Biar kubantu,” ucapnya sembari membetulkan posisi dua koper di sisinya. Padahal ia sendiri tengah membawa ransel yang tampaknya cukup berat. “Tidak seperti suamimu, aku pantang menyusahkan perempuan.”“Eh–” Anya sedikit bingung menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa melihat Bima yang perlahan menjauh dan memasuki rumah, sementara Rama tampak tersinggung dengan ucapan sepupunya barusan.Ekspresi suami Anya itu tampak kurang baik. Apalagi saat tiba-tiba pria itu menoleh pada istrinya dan berkata, “Hati-hati padanya. Jangan kecentilan.”Tanpa menunggu respons Anya, pria itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang istri.Anya menghela napas. “Aku tidak melakukan apa-apa,
Anya mengerjapkan pelan matanya, pendingin ruangan membuat tidurnya terjaga karena hembusan udara seakan menembus kulitnya. Bahkan ia meringis merasakan kepala terasa berat.Yang lebih mengejutkan ada beban di atas perutnya. Saat ia sibak selimut ternyata tangan memeluknya dan menyadari tidak mengenakan apapun, hanya selimut saja.“Di mana pakaianku?” gumam Anya.Perlahan ia menyibak selimut dan melihat tangan melingkar di perutnya.Mas Rama, dia peluk aku. Rasanya … tidak mungkin, batin Anya. Mencoba mengingat kejadian semalam, makan malam yang dihadiri juga dengan Om Pram dan Bima. Setelah itu ia pulang, bahkan digendong ke kamar oleh Rama, tentu saja karena ia mabuk.Senyum terbit di bibir Anya, ternyata suaminya bisa bersikap manis. Apa ini pertanda hubungan mereka mulai membaik. merasakan tubuhnya tidak baik-baik saja, jelas semalam terjadi sesuatu. Apa yang selama ini dijaga telah ia berikan pada sang suami yang memang sudah menjadi haknya.“Mas Rama,” panggil Anya lirih sambil
Anya duduk di samping suaminya, tepat berhadapan dengan Bima. Menikmati makan siang dengan wajah menunduk, enggan menatap pria itu. sesekali ia mengalihkan pandangan saat bicara atau menjawab pertanyaan orang tua Rama.“Jadi, mulai sekarang Bima akan tinggal di sini dan bergabung di perusahaan,” ungkap Denis.Rama hanya menganggukan kepala pelan, meski tidak tahu alasan dibalik datangnya Bima. Namun, Rama tidak merasa hal itu sebagai sebuah ancaman. Berbeda dengan Bima yang berniat mencari tahu apa maksud Denis -- Papa Rama -- memaksanya datang dan memberikan pekerjaan yang layak. Kemana saja keluarga itu selama ini, kemana saja mereka saat ayahnya menderita dan akhirnya meninggal dunia.“Pram sudah menjelaskan padamu bukan?” tanya Denis.“Hm,” sahut Denis.“Aku dengar kamu memiliki usaha café, teruskan saja selama tidak mengganggu pekerjaan baru kamu. Anya, kamu bantu Bima karena kalian berdua akan berada dalam divisi yang sama.”Sebenarnya Anya ingin menolak, tapi tidak berani. Tida
Dalam perjalanan Anya terus bicara menolak ide Rama yang lagi-lagi menitipkan dirinya pada Bima. Sebelumnya mereka malah berakhir di ranjang dengan adegan dewasa meskipun terjadi karena tidak sadar. Kali ini entah apalagi, yang jelas Anya masih enggan berdua saja dengan pria itu.“Kamu bisa diam tidak? Aku sedang mengemudi,” sentak Rama dan sukses membuat Anya diam.Kali ini gantian ponsel Rama yang tidak bisa diam karena terus berdering, sempat melirik sekilas dan Anya melihat nama Selly di layar. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu yang berani menghubungi suaminya tidak tahu waktu.Hampir lima belas menit perjalanan, mobil Rama berbelok dan parkir di area café. Anya berdecak pelan, saat melihat mobil Bima terparkir di samping mobil Rama dan pemiliknya keluar memperhatikan sekeliling.“Mas--"“Cepat keluar, Selly sudah menungguku.”“Tapi aku istrimu, Mas. Kamu tega meninggalkan aku di sini dengan pria lain.” Anya berharap Rama akan berubah pikiran, meski harapannya kecil karena pria
Anya menelan salivanya. Ucapan Bima barusan mengingatkan kembali kejadian semalam. Tidak mungkin ia bisa lupa, bahkan seumur hidupnya. Benar apa kata pria itu kalau mereka tidak akan mudah melupakannya.“Aku bilang jangan dibahas dan lupakan saja. Anggap semua tidak pernah terjadi karena itu sebuah kesalahan,” sahut Anya lirih.Bima mendengus kesal mendengar permintaan Anya. Katakanlah ia brengsek atau apalah, tapi ia bukan pria perusak para gadis. Tanggung jawab, tentu saja Bima harus lakukan itu. Hanya saja tanggung jawab seperti apa mengingat Anya adalah istri orang. Beda cerita kalau wanita itu masih single.Malam itu ia sadar dengan posisi Anya istri dari adik sepupunya, tapi tidak ada kucing yang menolak ikan asin, apalagi tersaji dan menggoda di depan matanya. Kalau pria lain mungkin akan lenggang kangkung saat si wanita malah mengusir dan mengatakan agar melupakan apa yang sudah terjadi. Namun, bagi Bima pantang ia mundur dan menghindar.Semakin diingat kejadian itu dan ditata
Sudah hampir jam sebelas, tapi Rama belum kelihatan. Anya berniat meninggalkan café dan pulang sendiri, sudah lelah menunggu. Bima tentu saja masih beredar di area cafenya, sesekali pria itu bertanya apa ia butuh sesuatu. Bahkan salah satu pelayan mengantarkan capucino iced, ternyata perintah dari Bima.“Ck, dalam sepuluh menit mas Rama tidak datang. Aku pulang saja.” Anya menghela pelan dan mengaduk isi gelasnya lalu menengadah karena Bima sudah berdiri di depan mejanya.“Butuh sesuatu? Sepertinya menunggu sangat membosankan.”“Tidak, terima kasih.”Alih-alih kembali meninggalkan Anya, Bima malah duduk lagi di kursi yang sebelumnya ia tempati.“Tiga puluh menit lagi cafe tutup. Jangan khawatir, kamu tetap bisa tunggu di sini. Aku akan dengan senang hati menemani.”Anya mengusap layar ponsel yang dia letakan di atas meja, berharap ada pesan masuk dari Rama meski ia yakin tidak ada karena tidak ada notifikasi apapun. Menghubunginya pun percuma, dua kali panggilan sudah dia lakukan sete
Semalaman tidak tidur dengan pikiran yang entah membuat penampilan Rama berantakan, terlihat sangat lelah. Selly yang tadi keluar membeli sarapan sudah kembali dengan membawa tiga porsi bubur ayam. Menawarkan pada Rama dan Bima.Rama hanya berdehem, sedangkan Bima sedang menemani Anya sarapan. Sesekali pria itu mengeluarkan rayuan dan candaannya. Mendengar hal itu Rama hanya berdecak, bukan karena cemburu melainkan kesal ia tidak bisa melakukan hal itu pada perempuan lain. Saat ini statusnya mungkin masih seorang suami, tapi kesepian.Menoleh ke samping, Selly sedang menikmati sarapannya sambil fokus pada ponsel. Sesekali ia tersenyum, mungkin saja berbalas pesan dengan Mas Sena. Siapa pria itu semakin membuat Rama penasaran.“Makan dulu, terus mandi atau cuci muka. Penampilan kamu udah kayak orang sakit,” ujar Selly, tapi pandangannya tetap pada ponsel.Rama mengambil porsi miliknya.“Pacaran mulu,” ejeknya lirih, nyatanya didengar oleh Selly yang langsung melirik ke arahnya.“Siapa
Anya cemberut sedangkan Bima terkekeh, sejak tadi berhasil menggoda dan mengeluarkan rayuan gombal.“Gombal, nggak mempan di aku,” seru Anya masih dengan wajah cemberut.“Bagus deh kalau nggak mempan, karena aku nggak pandai ngegombal,” sahut Bima.Anya melirik jam dinding, sudah cukup lama tidak melihat Selly. Bima mengatakan sedang pergi keluar, tapi kemana.“Ada apa?” tanya Bima melihat wajah Anya mendadak resah.“Selly kemana? Apa pulang ya.”“Keluar, terus si Rama nyusul. Biarin aja, mana tahu lagi pedekate lagi mau CLBK,” ejek Bima lalu tergelak.“Ih, ngaco. Bisa aja Selly udah ada pacar atau calon suami, kenapa malah dijodohkan sama Mas Rama lagi.”“Emang Selly bilang sudah ada gantinya Rama?” Anya hanya bisa menjawab dengan gelengan. Semenjak bertemu, Selly tidak pernah menceritakan masalah pribadinya.Sedang dibicarakan, orangnya malah muncul. Selly datang bersama Rama dan langsung menjadi bahan candaan oleh Bima sampai Anya harus menegurnya.“Biarin aja, biar dia senang keta
“Jangan negatif dulu, apa yang terjadi tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Bima dan Selly hanya menggeleng.“Aku tidak mengerti dan tidak tahu, itu urusan kalian.”“Nah, bagus. Memang seharusnya begitu, jangan mengusik kehidupan orang lain.” Bima bicara pada Selly, tapi pandangannya tetap tertuju pada Rama dan Anya. “Bicarakan apa dia, kenapa berbisik begitu,” keluhnya membuat Selly ikut menatap ke arah Rama.Akhirnya Bima dan Selly malah memperhatikan dua orang lainnya yang berada di kamar itu. Rama beranjak dari duduknya karena ponselnya bergetar, ternyata panggilan dari kantor. Sebenarnya hari ini ada jadwal rapat dan dia menjanjikan akan melakukan teleconference.Di sofa, Rama sibuk rapat online dan Bima fokus pada tablet. Anya tetap berbaring dan Selly keluar mencari angin. Satu ruangan dengan Rama membuat dadanya sesak, entah penyesalan atau memang masih ada perasaan pada pria itu.Duduk di kursi taman tidak jauh dari kamar perawatan Anya, Selly menatap orang yang lalu lala
“Tunggu di sini, aku harus tanya dulu apa Anya mau bertemu denganmu atau tidak.” Selly melarang Rama ikut masuk ke dalam kamar rawat inap. “Jangan mengintip, duduk saja disitu!” titah Selly karena Rama akan melongokan kepalanya saat pintu dibuka.“Iya,” sahut Rama kemudian duduk. Entah mengapa dia begitu patuh pada Selly. Padahal bisa saja ia memaksa masuk.Selly merapatkan pintu, menuju lemari cabinet di samping ranjang menyimpan kain dan pakaian ganti untuk Anya. Bima masih setia duduk di samping ranjang, sedangkan Anya terlihat memejamkan matanya.“Dia tidur?” tanya Selly.“Hm. Tadi dokter visit lalu disuntik obat, tidak lama dia bilang ngantuk.” Bima bicara lirih agar tidak mengganggu Anya yang sedang terlelap.“Pak Bima, kemari!” Selly menunjuk sofa untuk mengajak pria itu bicara. Tentu saja membicarakan kedatangan Rama. Selly menduga Bima akan terkejut atau panik mendengar Rama datang, nyatanya tidak terduga.“Sudah datang dia, aku pikir tidak akan sampai sini.”“Loh, kalian mem
“Anya, mana yang sakit?” tanya Bima panik.Selly langsung menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Tidak ingin ulahnya diketahui pihak rumah sakit dan menjadi masalah. Bima gegas membuka nametag palsu juga jubah dokternya dan dihempaskan ke atas sofa.“Sakit,” keluh Anya sambil meringis.Bima terus menanyakan mana yang sakit sambil mengusap perut Anya.“Ya perutnya yang sakit, memang pak Bima pikir apa yang sakit?”“Ish, mana dokternya,” keluh Bima berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan masuklah dokter dengan seorang perawat.“Sakit dok, katanya sakit,” ujar Bima lalu bergeser membiarkan dokter memeriksa Anya.“Sus, cek pendarahannya.” Perawat meminta Bima dan Selly menjauh lalu menarik tirai dan melakukan pemeriksaan.“Kenapa kita tidak boleh lihat,” gumam Bima.“Ck. Sudah deh, tunggu aja apa kata dokter.”Bima menoleh dan menatap Selly lalu mengernyitkan dahinya. “Kamu siapa sih? Kayaknya nggak asing.”“Bukan siapa-siapa, bagus kalau bapak nggak kenal saya.”Dokter menyara
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar