Anya baru saja masuk ke dalam kamar, Ira asisten wanita itu sudah mengantar dan memastikan majikannya nyaman di dalam kamar. Selly sempat melirik saat Ira menutup pintu kamar Anya.Hari ini sepulang kerja, selly langsung ke rumah Anya dan memutuskan untuk menginap. Meski sudah ada Ira yang menemani, rasanya agak khawatir apalagi sudah dekat persalinan dan tadi siang mereka sempat berkirim pesan di mana Anya mengeluhkan perutnya sering kram dan kontraksi palsu.Bima pun sempat menghubungi Selly agar mengawasi Anya dan terus mengabari kalau siap melahirkan. Sesuai dengan janji pria itu, mobil datang dan stand by di kediaman Anya.“Sudah tidur mbak?” tanya Selly saat Ira menutup pintu kamar.“Sudah, Mbak,” jawab Ira.Selly mengangguk pelan, berbaring di ruang tamu yang memang hanya ada karpet dan kasur lipat akan digunakan untuk tidur dirinya juga Ira. Masih memainkan ponsel menscroll media sosial dan online shop. Dahinya mengernyit saat ada panggilan masuk. Sebenarnya bukan hal yang ane
Bima sudah mendapatkan kabar dari Rama, kemungkinan Denis akan gencar mencari Anya karena pengakuan kalau pria itu tidak akan mendapatkan cucu dari Anya. Dua orang kepercayaan Bima masih berada di daerah di mana Anya tinggal. Masih mengawasi dan memastikan keamanan Anya.Tidak boleh gegabah dengan datang menemui Anya, paling tidak sampai wanita itu melahirkan. Sebelum itu, sangat beresiko.Masalah lain yang harus dipikirkan adalah, di mana Anya akan tinggal setelah melahirkan. Selama menunggu proses perceraian dan masa iddah selesai sebelum menikah dengan Bima.Masa itu akan chaos, persoalannya bukan hanya berhadapan dengan Denis, tapi juga orangtua Anya. Bima kurang konsentrasi, padahal sedang berdiskusi dengan Umar.“Anda dengar penjelasan saya?”Bima bergeming.“Pak Bima,” tegur Umar.“Eh, kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mendesah pelan. Benar saja, bosnya itu tidak fokus. Tidak lain memikirkan Anya.“Kalau kangen, ya samperin aja Bos.”“Nggak semudah itu, kalau gue ke sana nanti
Dua hari ini Selly sedang sibuk, bahkan tidak bisa mampir ke rumah Anya. Hanya menghubungi tadi siang dan menanyakan kabar pada Ira. Tubuhnya lelah dengan aktivitas seharian ini. Hampir jam delapan malam saat dia tiba di rumah kontrakan yang selama ini ditempati.Brak.Selly melempar tasnya ke atas meja lalu menguap. Bukan hanya lelah, tapi masih kesal sendiri setelah obrolan dengan Rama beberapa hari yang lalu melalui telepon.“Mandi gak ya,” gumam Selly ragu-ragu. “Nggak mandi gerah, mandi dingin banget.”Seharian berada di luar ruangan, berpeluh dan kena debu. Selly memutuskan untuk mandi air hangat. Berbeda dengan tinggal di apartemen, yang tinggal memutar kran untuk mendapatkan air hangat. Di sini ia harus memasak air dalam panci, setelah cukup panas dituang dengan air mandinya di dalam bak atau ember besar.“Hah, segar,” ucap Selly setelah selesai membersihkan diri dan mengeringkan rambutnya. Terdengar dering ponsel, Selly menatap sekitar mencari keberadaan ponselnya.“Di mana y
Hampir tengah malam saat Bima tiba di rumah sakit dan Anya masih menikmati kontraksi agar bisa pembukaan sempurna. Baik Selly ataupun Ira sama-sama belum pengalaman masalah persalinan, hanya bisa menyemangati Anya dan menyampaikan pada bidan keluhan Anya yang dianggap sudah mengkhawatirkan.“Sayang, aku di sini,” ujar Bima langsung meraih tangan Anya yang bebas dari jarum infus.Wanita itu tidak merespon dengan ceria karena menahan sakitnya kontraksi.“Maaf sudah buat kamu jadi begini.” Bima mengecup punggung tangan Anya.Hanya Bima yang menemani Anya, Selly dan Ira menunggu di luar. Efek induksi yang diberikan satu jam lalu membuat Anya merasakan kontraksi semakin intens.“Suster!” teriak Bima. “Istri saya kesakitan.” Bima langsung panik saat Anya mencengkram tangannya.Bidan kembali melakukan pemeriksaan dalam dan mengatakan sudah pembukaan sempurna.“Suster, panggilkan dokter. Ini sudah siap lahir, saya siapkan alat dulu.”“Saya nggak tahan sus, seperti ada yang mendorong dari dala
Bima berjalan di sisi ranjang Anya yang didorong menuju kamar perawatan. Bayi mereka masih berada di ruang perawatan bayi. Ira sudah lebih dulu karena membawa perlengkapan Anya dan bayinya.Rama dan Selly mengekor agak jauh. Berjalan sambil menunduk mengingat interaksinya dengan Rama sejak pria itu datang. Sebenarnya Selly senang dengan sikap dan perhatian Rama, tapi ada ketakutan kalau Rama melakukan itu bukan karena masih ada perasaan dan cinta diantara mereka.‘Tenang Selly, jangan kepedean,' batin Selly agar tidak terjebak dengan rasanya sendiri.Jujur ia menyesal dengan apa yang sudah terjadi dan rasa pada Rama belum hilang. Apalagi setelah terpisah dan bertemu lagi, perasaan itu semakin kuat. Namun, Selly tidak akan menuntut Rama untuk membalas atau memiliki rasa yang sama. Seiring waktu, ia yakin akan bisa melupakan Rama.Anya mengatakan ia akan bercerai, bukan berarti Rama akan kembali pada Selly. Itulah mengapa ia harus menahan perasaannya.“Selamat ya Mom’s Anya, tapi aku be
Selly sudah sibuk dengan pekerjaannya. Entah Rama sedang apa di luar. Pria itu bilang akan kembali ke rumah sakit. Saat datang, mereka sempat menjadi perhatian dari security dan beberapa pekerja yang menyaksikan kedatangan.Siapa sebenarnya pria yang datang bersama Selly, bahkan atasan wanita itu atau manager operasional kantor cabang saja langsung menghampiri. Ternyata mengenal Rama. Selly langsung masuk dan menekuni berkas di mejanya.“Selly, itu siapa? Mani ganteng pisan, pacar kamu?” tanya rekan Selly. (Ganteng banget)“Bukan bu,” jawab Selly. “Beliau orang pusat, sepertinya sedang ada kegiatan dekat-dekat sini. Ada beberapa orang gitu,” seru Selly.Hanya menjelaskan singkat kedatangan Rama dan Bima, tidak mungkin jujur kalau Rama datang untuk melihat istrinya yang melahirkan putra dari pria lain dan dirinya adalah mantan istri Rama. Sangat membingungkan.Rama malah berniat mendatangi lokasi proyek bersama dengan atasan Selly, hanya untuk mengecek saja bukan bermaksud ikut campur
“Jagoan papa merem terus,” ucap Bima baru saja terjaga langsung menghampiri box bayi dan menatap hangat putranya yang sedang tertidur, sempat mengusap kepalanya seakan tidak ingin melukai atau membuat sang bayi terkejut.“Mas Rama kemana ya? Udah hampir jam lima,” tanya Anya karena tidak melihat pria itu sejak tadi pagi, beralasan akan sarapan bersama Selly.“Biarkan saja, ngapain cari Rama.” Bima langsung ikut duduk di ranjang tepat di samping Anya dan merangkulnya.“Ya bukan gitu, dia kelayapan takutnya ada yang lihat. Feeling aku nggak enak, takutnya Papa Denis sudah tahu keberadaan kita di sini.”“Kamu nggak usah pikirin hal beginian, biar jadi urusan aku. Fokus kamu hanya sehat dan jaga buah hati kita ini. Lainnya biar jadi urusan aku dan Rama.”Anya menghela nafasnya, sudah pasti akan hal yang tidak terduga. Sejak kemarin Bima selalu serius bicara dengan Rama dan beberapa kali melakukan panggilan telepon di luar kamar, seakan tidak ingin didengar apa yang dibicarakan. Namun, Any
Rasanya malas melanjutkan pembicaraan, tidak ingin memiliki rasa semakin besar pada Rama yang sudah move on darinya. Ia pun memilih berbaring dan memejamkan mata, bahkan tidak mengatakan kalau ia ingin tidur.Mengacuhkan Rama yang masih duduk di sofa tunggal. Padahal ia sendiri belum ada rasa kantuk.“Sell, kamu tidur?” tanya Rama dan Selly hanya berdehem menjawab Rama. “Tidurlah, pasti capek dengan aktivitasmu hari ini,” seru Rama lirih.Yang capek bukan fisik, tapi batin, ucap Selly dalam hati.Cukup lama Selly pura-pura tidur dengan memejamkan matanya, entah apa yang dilakukan Rama. Saat ia sudah mulai kantuk dan terbuai mimpi, terasa usapan di kepala dan sesuatu di kening. Hendak merespon, tapi Selly sudah mulai tidak sadar.Rama mengusap kepala Selly, mengecup kening wanita itu.“Tidur yang nyenyak ya, harimu pasti berat,” ujar Rama lirih. Selly tidak merespon, Rama menghela nafasnya lalu menyandarkan kepala pada sandaran sofa. Memikirkan esok yang pasti akan sangat sibuk.Sang p
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da