Masih dengan degup jantung tidak karuan dengan peristiwa tadi, Anya masih mendekap Dewa yang mulai menangis.“Sayang, kaget ya. Ini Mama, nak. Mbak Ira, kamu ….”“Saya nggak pa-pa. Ayo pak, lebih cepat. Mobil di belakang masih ngikutin.”Ira menghubungi seseorang dengan ponsel di telinganya sambil menoleh ke belakang.“Kalian di mana? Kami diikuti, motor dan mobil,” ujar Ira lalu diam dan mengernyitkan dahi. “Hah?”“Pegangan Bu.”Brak.Mobil kembali ditabrak dari belakang. Wajah Anya pucat dan panik, tapi tetap berusaha untuk tenang. Dewa semakin rewel. Sempat menatap sekeliling, di mana pula mereka berada. Terdengar decit ban mobil, rupanya mobil di belakang berusaha menyalip.Ira kembali menghubungi seseorang, masih terdengar nada tunggu.“Pegangan,” seru sopir.BrakMobil di mana Anya berada sengaja dipepet dan kembali dibenturkan. Ira memasang seatbelt Anya dan melepaskan ponselnya begitu saja. Wanita itu ikut memegang Dewa sambil memperhatikan mobil di samping.Prank.Kaca jendel
Rama sudah mendengar kejadian yang menimpa Anya dan bayinya. Meski kronologi rincinya belum tau seperti apa. Sudah bisa dipastikan ini ulah Denis. Yang membuatnya semakin geram, Selly menjadi korban dengan kondisi yang lumayan parah.Mengecek jadwalnya tidak ada pertemuan darurat, Rama meminta Ibu Rahma menghandle pekerjaannya dua hari kedepan kalau sampai dia tidak datang ke kantor. Meninggalkan kantor, Rama menuju kediaman orang tuanya.“Ya,” ucap Rama saat menerima telepon dari Bima. Ia baru saja tiba di rumah, bahkan mobil baru saja parkir carport.“Selly sudah dalam perawatan, gue nggak bisa jelasin. Lo datang aja, ini juga laporan dari orang-orang gue. Bentar lagi gue sampai,” tutur Bima di ujung sana.“Kok bisa orang-orang kamu kecolongan begini.”“Nggak ngerti, gue pengen habisin juga mereka. Jaga Anya sama Dewa aja nggak becus. Lo di mana?” tanya Bima.“Baru sampai.”“Hah, sampe mana?” tanya Bima lagi.“Kediaman Denis Hardana,” sahut Rama lalu mematikan mesin mobil, melepas s
Rama tiba hampir jam tujuh malam, langsung menemui Bima dan Anya. Memastikan sendiri kondisi Anya dan Dewa baik-baik saja. Sempat berbincang sebentar dengan Bima lalu pamit menuju rumah sakit.Sebenarnya Bima sudah menyampaikan kalau Selly sudah sadar, kondisinya tidak separah Edi dan Ira. Namun, tetap saja Rama khawatir. Sudah mendapatkan info di mana Selly dirawat. Tiba di depan kamar, bertepatan dengan Ela keluar dari kamar itu.“Pak Rama,” sapa Ela.“Ada siapa di dalam?” tanya Rama.“Hanya ada mbak Selly, saya diminta cek Mbak Ira. Kata Mbak Selly dia nggak masalah ditinggal.”“ya sudah, Mbak Ela fokus dengan Ira saja. Biar Selly saya yang jaga.”Ela pun mengangguk dan permisi. Rama membuka pintu kamar dan hendak melangkah masuk saat mendengar suara Selly.“Tutup lagi pintunya Mbak, dingin banget.”Selly belum tahu kalau Rama yang datang. Posisinya berbaring miring membelakangi arah pintu dan sedang fokus dengan ponselnya. Rama yang sudah berdiri di samping ranjang tepat di belaka
Rama hanya tidur dua jam itu pun tidak lelap sempurna. Melihat kondisi Selly dan selalu meringis dalam tidur, seakan merasa bersalah. Bagaimana tidak, Papanya yang membuat Selly terluka. Meski ditujukan bukan untuk wanita itu, tetap saja semua salah Denis.Masih terpejam dengan kepada disandarkan pada sisi ranjang. Selly terjaga dan terkejut ada Rama di depannya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala pria itu dan membuat Rama terjaga.“Sudah bangun? Mau ke toilet?” cecar Rama masih dengan suara serak khas bangun tidur.“Harusnya aku yang tanya, kamu tidur di sini apa tidak pegal.”“Masih lebih pegal kamu, bergerak juga sakit.” Rama menggeliat dan meregangkan otot tubuhnya lalu membantu Selly yang beranjak duduk dan menyodorkan gelas.“Tolong panggilkan perawat, aku mau ke toilet sekalian bersih-bersih.”“Aku bantu,” ujar Rama bersiap menggeser tiang infus.“Rama, panggilkan perawat aja.” Selly menolak usul Rama. Hubungan mereka saat ini tanpa status dan ia ingin hidupnya lebih baik,
Ira dan Edi masih dalam perawatan di rumah sakit. Selly sudah memaksa pulang meski lebam di tubuhnya masih ada. Rama memaksa wanita itu untuk tinggal di rumah Anya untuk sementara dan saat ini mereka sedang bicara serius di ruang keluarga.Anya sejak tadi hanya menunduk dengan jemari tangannya saling terpaut, Bima yang duduk di sampingnya mengusap punggung tangan Anya seraya mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.Selly selalu mengenakan piyama dengan alasan mudah mengenakan dan tidak terlalu menyakitkan saat tersentuh ke kulit yang masih lebam. Rama duduk di sampingnya.“Aku tidak akan memaksa, semua terserah kamu. Kalau ingin melanjutkan masalah ini, aku temani ke kantor polisi untuk membuat laporan,” tutur Bima. “Rama juga tidak ada masalah.”Tentu saja Anya ragu dan harus pertimbangan benar keputusan yang akan diambil. Meskipun bukti dan saksi bisa menjerat pelaku, kemungkinan apapun bisa terjadi dan Bima sudah menyampaikan masalah itu. Bisa jadi para pelaku akan mengaku kalau
“Dari mana kamu?” tanya Denis saat melihat putranya datang.“Pah, ingat tekanan kamu.” Denis hanya berdecak dengan teguran istrinya, padangan pria itu tetap tertuju pada putranya. Sudah berubah, begitulah kesimpulan dalam benak Denis menilai Rama. Putranya sudah berubah, membangkang dan berani.Bukan berubah, Rama hanya ingin papanya sadar kalau selama ini rencana dan yang sudah dilakukan itu salah. Merampas hak orang lain bahkan menjadi dalang dari kematian seseorang. Ia tidak bisa membayangkan kalau papanya dipenjara untuk membayar semua kesalahan yang sudah diperbuat.“Aku menyelesaikan kekacauan yang sudah papa buat.”“Halah, seharusnya kamu bantu Papa menghabisi bayi itu juga semua yang menghambat kita.”“Pah, hidup itu tidak selalu harta dan tahta. Tidak akan kita bawa mati.”“Kamu tahu apa Rama, selama ini kamu biasa hidup enak dari lahir. Tidak pernah merasakan susah seperti yang aku rasakan dan sekarang semua yang sudah kita pertahankan akan direbut oleh Bima. Papa tidak teri
“Papa kamu sudah sadar?” tanya Malika dan Rama hanya menggeleng pelan sambil mengusap wajahnya.Baru saja dari toilet membersihkan diri dan berganti pakaian, tidak menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Namun, Malika tidak sabar langsung menanyakan kondisi suaminya.“Mama baiknya pulang, istirahat di rumah. Biar Papa Aku yang jaga.”Malika hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ibu dan anak itu semalaman terjaga, menunggu proses operasi dan observasi. Sampai dengan pagi ini ternyata Denis belum juga sadar.“Kamu bersih-bersih terus sarapan, nanti gantian,” seru Malika.Rama pun beranjak. Ia memang perlu cuci muka dan segelas kopi. Pikirannya mumet mengingat kondisi Denis yang masih belum sadar dan segala macam yang berhubungan dengan pria itu.Urusan kantor masih bisa dihandle dari jauh untuk sementara, harapan Rama agar papanya segera pulih. Belum lagi ia masih memikirkan Selly yang masih dalam proses pemulihan.“Selly,” panggil Rama saat sambungan telepon terjawab.“Pak Denis gima
“Selly, gimana kabarmu?”“Hah.”Rasanya Selly ingin mengumpat menyadari sudah ada Jana di sana, bahkan langsung duduk di sampingnya tanpa bertanya ia keberatan atau tidak.“Sudah sehat?” tanya Jana lagi dan Selly masih belum bersuara hanya tersenyum canggung.“Ya … begini,” sahut Selly lirih. Sempat menatap sekitar, mencari siapapun di sana berharap diselamatkan.“Kenapa pesanku tidak pernah dibaca? Padahal mau banget jenguk kamu.”“Gimana ya, kemarin itu ponsel aku disita. Jadi, aku nggak tahu ada telpon atau pesan dari siapapun.” Tentu saja itu hanya alasan Selly, siapa juga yang menyita ponselnya.“Disita polisi?” tanya Jana.“iya, disita polisi.” Kejadian kemarin Selly adalah korban kejahatan, meski akhirnya tidak ada pelaporan. Alasan itu lebih masuk akal daripada harus berbohong yang aneh-aneh.Selly kembali fokus pada ponselnya dan menyadari Jana menggeser duduk semakin dekat.“Kenapa sendirian di sini?”“Aku malas keluar, tadi sudah titip makan sama Bu Yeni. Kayaknya bentar la
Meski dengan perdebatan panjang, akhirnya diputuskan kalau Selly hanya akan mengakhiri kontrak kerjanya sampai akhir tahun. Setelah itu ia akan fokus menjadi ibu rumah tangga saja.Rama masih tinggal di Bali, dalam beberapa bulan ke depan akan bolak-balik Jakarta Bali masalah pekerjaan. Resepsi pernikahan akan mereka laksanakan di Bali. Bahkan Rama setuju usulan Selly untuk menetap di sana.Mulai tahun depan Bima akan memimpin kantor cabang yang ada di Bali, Umar yang akan menggantikan posisi Rama. Bahkan rumah untuk tempat tinggal, sudah mereka dapatkan.“Aku suka tinggal di sini, banyak tempat indah.”“Tapi biaya hidup di sini mahal.”“Kamu ‘kan yang kerja, aku diminta di rumah saja. Aku tidak boros kok,” jelas Selly dan Rama sudah meyakini itu. Kehidupan Selly berubah dari sebelumnya, jarang menggunakan barang branded kecuali di acara tertentu.Bahkan tidak jarang ia tidur menggunakan daster yang dibeli secara online dua ratus ribu dapat tiga pcs.“Ayo tidur,” ucap Selly menjauhkan
“Rama, kamu yakin?” Selly menarik tangan Rama yang akan membuka pintu.“Tentu saja aku yakin, memang kamu mau sembunyi di mana. Mama pasti tinggal di sini untuk beberapa hari. Semenjak papa tiada, dia posesif padaku. Hari ini aku akan berikan apa yang dituntut selama ini?”“Apa?” tanya Selly masih berbisik sedangkan ketukan pintu dan suara bel bagai bersahutan.“Calon istri,” jawab Rama lalu membuka pintu.“Lama sekali, kamu ngapain sih. Makanya jangan begadang, mama mulai diabaikan. Pasti … ini siapa? Kenapa kalian berdua ada di … kamu bukannya … Selly.” Malika mencecar setelah melihat Selly dari balik tubuh putranya.Sambil bersedekap, Malika menarik nafasnya memandang Rama dan Selly duduk berdampingan berseberangan dengannya di sofa. Dari penampilan mereka bisa dipastikan aktivitas dewasa. Kemeja Rama berantakan, apalagi rambutnya. Sama halnya dengan Selly dengan rambut berantakan dan dress dilapisi blazer.“Hah, jadi ini yang kamu lakukan di sini?”“Mah, dengar penjelasanku dulu.
Seharusnya pagi itu Selly mandi dulu, bukan terlihat berantakan. Meski Rama terlihat tidak masalah, tapi ia sesali. Sarapannya berakhir di warung tenda samping gedung apartemen, tidak mungkin Selly makan di resto bersama penghuni lain.Saat perbaikan unit tempat Rama, Selly memastikan sendiri semua sudah oke. Bahkan ia mencuri pandangan melihat sekeliling kamar dan tidak menemukan barang milik perempuan.“Seharusnya aku tidak boleh begini, tapi penasaran.”Berkali-kali menghubungi unit Rama saat malam dan pagi, nyatanya tidak dijawab. Kontaknya Selly tidak punya, hanya sekedar menyampaikan kalau semua sudah beres. Berharap bisa lanjut komunikasi.“Hah.” Selly tertelungkup di meja resepsionis pojok. Harapannya pupus, menduga Rama kecewa dan ilfil dengannya saat pertemuan terakhir dan itu sudah berlalu seminggu yang lalu.Sudah mendapatkan kontak Rama dari data penyewa, tapi urung menghubungi karena tidak ada alasan untuk sekedar basa basi. Hari ini Selly kembali shift dua dan tidak lam
“Lantai tujuh?” tanya Rama saat Selly menekan angka lantai yang mereka tuju.“Unitku di lantai tujuh,” jawab Selly.Rama terkekeh lalu menyugar rambutnya, membuat Selly bingung. Ia merasa semesta memang mendukung pertemuannya. Dari sekian banyak apartemen rumah kosan, kantor memilihkan apartemen itu untuk dirinya dan dari banyaknya lantai dan kamar nyatanya mereka malah sangat dekat.“Kenapa?”“Tujuh satu dua,” jawab Rama.“Hah, kamu di … aku tujuh kosong delapan.”Sudah kuduga, perempuan yang aku lihat malam itu memang Selly. Astaga, aku harus bagaimana Tuhan. Kenapa sedekat ini, bagaimana kalau … statusnya. Aku harus cari tahu statusnya, batin Rama.Masih dengan kecanggungan akhirnya hening, Selly mengulum senyum menyadari mereka berada dalam satu lantai. Mungkinkah mereka akan sering bertemu. Pekerjaannya hanya mengecek mana unit yang habis waktu sewa dan sewa baru, tidak berurusan dengan database penyewa atau pemilik. Kecuali sedang ada masalah seperti di unit delapan satu lima.R
Hampir subuh, Rama masih berada di balkon. Setelah menikmati makan malam di pagi buta, tidak mungkin langsung tidur. Berada di balkon kamarnya sambil fokus pada ponsel.Hari ini rencananya ia akan langsung menuju lokasi proyek. Kendaraan dan supir yang akan mengantar selama ia berada di Bali sudah dihubungi dan standy setiap jam setengah delapan pagi.Rama mengusap kasar wajahnya, antara ngantuk dan pusing. Tidur pun tidak mungkin, dia akan kesiangan.“Sepertinya mandi air hangat saja,” gumam Rama lalu menutup pintu balkon dan menuju toilet.Berada di bawah guyuran shower, air hangat mengalir menyiram tubuhnya. Benar saja ia merasa lebih segar. Saat akan membilas busa dari sabun, mendadak air yang mengguyur tubuhnya terasa dingin. Memutar kran pengatur air hangat, nyatanya yang keluar tetap dingin.“Rusak atau ….”Berkali-kali memutar kran pengatur suhu, nyatanya tidak berfungsi. Rama mengakhiri mandinya. Kecewa karena berakhir dengan kedinginan. Baru saja memakai kemeja dan celana pa
“Selamat sore, mbak. Saya mau ambil kunci kamar, booking atas nama Rama. Rama Hardana.”Resepsionis yang sedang bertugas menatap Rama tanpa berkedip, beberapa saat masih saja diam mematung. Tidak menjawab salam dan permintaan pria di hadapannya.Rama sampai berdeham.“Mbak, saya mau ambil kunci,” ujar Rama lagi.“Eh, iya, maaf mas.” Resepsionis itu terlihat canggung. “Namanya … siapa?”“Rama Hardana,” jawab Rama kembali tersenyum.“Ah. Iya, sebentar.” Mengambil kunci access kamar sekaligus id card dan form yang harus diparaf oleh Rama. “Ini tolong ditanda tangani, boleh dibaca dulu. Kami isi berdasarkan data yang dikirim saat booking ya.”Rama membaca sekilas isian biodatanya tentang perjanjian sewa, tidak ada yang aneh dan semua terlihat aturan biasa yang berlaku untuk sewa menyewa apartemen atau gedung. Ia membubuhkan tanda tangan lalu menyerahkan kembali formulir tersebut.“Ini kartu aksesnya, selamat datang semoga nyaman tinggal di sini. Kalau ada saran atau membutuhkan sesuatu si
“Halo.” Selly menjawab telepon sambil menguap dengan suara parau.“Mbak, ada masalah. Bisa turun dulu nggak, please!”“Astaga, kalian nggak bisa kasih saya istirahat tenang. Tengah malam saya baru naik ke kamar, ini jam berapa saya harus turun lagi,” keluh Selly mendengar permintaan dari ujung sana.“Tolong, mbak! Aku tidak ngerti, ini bule marah-marah nggak jelas.”“Tunggu, aku turun sekarang.”Panggilan berakhir, Selly gegas menuju toilet untuk memeriksa penampilannya. Tidak mungkin harus mandi dulu, akan semakin lama. Menyisir rambutnya, beruntung rambut lurusnya tidak sulit diatur. Menggunakan liptint agar tidak pucat dan terlihat belum mandi.“Oke, nggak mungkin pake piyama.” Selly melepaskan dan membiarkan piyamanya teronggok di lantai lalu mengambil dress putih dan blazer hitam. Tidak lupa ponselnya aman di dalam saku.Masih jam empat pagi, suasana apartemen masih lenggang. Tentu saja aktivitas lift bisa cepat digunakan.“Halo.”“Mbak ….”“Ini sudah di lift. Bentar lagi sampe.
Anya merasakan keseruan mengasuh ketiga anaknya, meski masih dibantu oleh Ira dan seorang baby sitter bernama Emi. Rencana memiliki banyak anak, minimal empat atau lima harus ditunda untuk sementara. Paling tidak menunggu si kembar berumur empat tahun.Bima agak trauma saat Anya melahirkan anak kedua mereka karena pecah ketuban di umur kehamilan delapan bulan dan pembukaan yang sangat cepat dan harus rela persalinan darurat dengan jalan operasi.“Mbak, anak-anak sudah tidur?” tanya Anya memastikan hidangan makan malam sudah siap dan tinggal di sajikan.“si kembar sudah bu, tapi Dewa belum. Ini saya mau buat susunya dulu.”Anya hanya mengangguk mendengar laporan dari Emi. Malam ini Bima mengundang makan malam keluarganya, Rama serta Malika juga keluarga Anya.“Anak-anak kemana?” tanya Citra yang baru datang bersama Alya. Bagas tidak hadir karena ada pertemuan mendadak dengan klien bisnisnya.“Di kamar Bun, sudah tidur, tapi Dewa belum.”“Hm, Alya kamu bantu temani anak-anak,” titah Cit
Saat Anya dan Bima kembali ke rumah, sudah ada Citra dan Alya di sana. Menyambut kedatangan mereka yang membawa kabar gembira. Bukan hanya pasangan itu yang antusias dengan kehamilan Anya, tapi keluarga besar Anya juga para pekerja di rumah.Kebahagiaan seakan berkali lipat manakala hasil pemeriksaan ditemukan ada dua kantung janin, artinya Anya mengandung anak kembar. Usia kehamilan sudah hampir sepuluh minggu. Tidak menyadari cukup lama periodenya terlewat.“Dewa, mama sama papa datang,” seru Citra.Anya langsung menghempaskan tubuhnya di sofa, Bima yang tadi merangkul Anya memaksa wanita itu untuk membersihkan diri sebelum menyentuh Dewa.“Bik, tolong turunkan belanjaan di bagasi,” titah Bima. “Lalu buatkan salad, istriku mau makan salad. Yogurtnya yang di kulkas.”“Nah gitu, mau makan sesuatu lebih baik minta bibik yang buatkan. Jangan beli, apalagi yang di pinggir jalan. Mana tahu ada debu masuk ke makanan,” nasehat Citra.Kalau Citra bahagia karena akan mendapatkan cucu lagi, be