Ira dan Edi masih dalam perawatan di rumah sakit. Selly sudah memaksa pulang meski lebam di tubuhnya masih ada. Rama memaksa wanita itu untuk tinggal di rumah Anya untuk sementara dan saat ini mereka sedang bicara serius di ruang keluarga.Anya sejak tadi hanya menunduk dengan jemari tangannya saling terpaut, Bima yang duduk di sampingnya mengusap punggung tangan Anya seraya mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.Selly selalu mengenakan piyama dengan alasan mudah mengenakan dan tidak terlalu menyakitkan saat tersentuh ke kulit yang masih lebam. Rama duduk di sampingnya.“Aku tidak akan memaksa, semua terserah kamu. Kalau ingin melanjutkan masalah ini, aku temani ke kantor polisi untuk membuat laporan,” tutur Bima. “Rama juga tidak ada masalah.”Tentu saja Anya ragu dan harus pertimbangan benar keputusan yang akan diambil. Meskipun bukti dan saksi bisa menjerat pelaku, kemungkinan apapun bisa terjadi dan Bima sudah menyampaikan masalah itu. Bisa jadi para pelaku akan mengaku kalau
“Dari mana kamu?” tanya Denis saat melihat putranya datang.“Pah, ingat tekanan kamu.” Denis hanya berdecak dengan teguran istrinya, padangan pria itu tetap tertuju pada putranya. Sudah berubah, begitulah kesimpulan dalam benak Denis menilai Rama. Putranya sudah berubah, membangkang dan berani.Bukan berubah, Rama hanya ingin papanya sadar kalau selama ini rencana dan yang sudah dilakukan itu salah. Merampas hak orang lain bahkan menjadi dalang dari kematian seseorang. Ia tidak bisa membayangkan kalau papanya dipenjara untuk membayar semua kesalahan yang sudah diperbuat.“Aku menyelesaikan kekacauan yang sudah papa buat.”“Halah, seharusnya kamu bantu Papa menghabisi bayi itu juga semua yang menghambat kita.”“Pah, hidup itu tidak selalu harta dan tahta. Tidak akan kita bawa mati.”“Kamu tahu apa Rama, selama ini kamu biasa hidup enak dari lahir. Tidak pernah merasakan susah seperti yang aku rasakan dan sekarang semua yang sudah kita pertahankan akan direbut oleh Bima. Papa tidak teri
“Papa kamu sudah sadar?” tanya Malika dan Rama hanya menggeleng pelan sambil mengusap wajahnya.Baru saja dari toilet membersihkan diri dan berganti pakaian, tidak menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Namun, Malika tidak sabar langsung menanyakan kondisi suaminya.“Mama baiknya pulang, istirahat di rumah. Biar Papa Aku yang jaga.”Malika hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ibu dan anak itu semalaman terjaga, menunggu proses operasi dan observasi. Sampai dengan pagi ini ternyata Denis belum juga sadar.“Kamu bersih-bersih terus sarapan, nanti gantian,” seru Malika.Rama pun beranjak. Ia memang perlu cuci muka dan segelas kopi. Pikirannya mumet mengingat kondisi Denis yang masih belum sadar dan segala macam yang berhubungan dengan pria itu.Urusan kantor masih bisa dihandle dari jauh untuk sementara, harapan Rama agar papanya segera pulih. Belum lagi ia masih memikirkan Selly yang masih dalam proses pemulihan.“Selly,” panggil Rama saat sambungan telepon terjawab.“Pak Denis gima
“Selly, gimana kabarmu?”“Hah.”Rasanya Selly ingin mengumpat menyadari sudah ada Jana di sana, bahkan langsung duduk di sampingnya tanpa bertanya ia keberatan atau tidak.“Sudah sehat?” tanya Jana lagi dan Selly masih belum bersuara hanya tersenyum canggung.“Ya … begini,” sahut Selly lirih. Sempat menatap sekitar, mencari siapapun di sana berharap diselamatkan.“Kenapa pesanku tidak pernah dibaca? Padahal mau banget jenguk kamu.”“Gimana ya, kemarin itu ponsel aku disita. Jadi, aku nggak tahu ada telpon atau pesan dari siapapun.” Tentu saja itu hanya alasan Selly, siapa juga yang menyita ponselnya.“Disita polisi?” tanya Jana.“iya, disita polisi.” Kejadian kemarin Selly adalah korban kejahatan, meski akhirnya tidak ada pelaporan. Alasan itu lebih masuk akal daripada harus berbohong yang aneh-aneh.Selly kembali fokus pada ponselnya dan menyadari Jana menggeser duduk semakin dekat.“Kenapa sendirian di sini?”“Aku malas keluar, tadi sudah titip makan sama Bu Yeni. Kayaknya bentar la
“Kamu yakin?” tanya Anya lagi saat Selly menyampaikan akan tinggal di rumah kontrakan.“Iya, yakin. Kontrakan aku dekat ke sini kok, jadi bakal sering datang untuk melihat Dewa.”Anya membaca ada hal lain yang Selly sembunyikan. Bisa jadi masalah dengan Rama, tapi tidak berani bertanya karena Selly pun enggan bercerita. Mungkin saja tidak enak karena hubungan Anya dan Rama saat ini masih terikat pernikahan.“Ya sudah, tapi kalau ada apa-apa cerita ya. Kita udah bareng-bareng selama ini, kamu banyak bantu aku dan sampai luka-luka demi menyelamatkan Dewa.” Anya bicara sambil menggenggam tangan Selly yang ada di pangkuan wanita itu.“Apa sih, kayak aku mau kemana aja.” Lalu mereka terkekeh bersama.Sengaja tidak membahas masalah Rama, Anya pun tidak tahu bagaimana kejelasan hubungan mereka berdua. Yang pasti ia akan selalu mendukung apa keputusan Selly dan Rama.Obrolan kedua wanita itu terhenti karena suara tangisan Dewa, Anya pun pamit untuk melihat putranya. Sedangkan Selly menuju kam
Aku baik-baik saja, berharap kamu pun begitu. Tolong mengerti dengan situasiku. Aku sayang kamu, Selly.Selly membaca pesan dari Rama berulang-ulang. Bingung harus meluapkan dengan rasa yang bagaimana. Pesan yang mengartikan banyak hal.“Tolong mengerti dengan situasiku,” gumam Selly. “Kapan aku tidak mengerti situasinya.” Ia pun menggaruk kepala yang memang tidak gatal.“Iya, aku baik-baik saja. Makanya pesan aku tuh dibaca.” Ia menggerutu karena sering mengirimkan pesan menanyakan kabar Rama dan mengatakan kondisinya saat ini. Nyatanya dari pesan Rama bisa disimpulkan kalau semua pesan itu sama sekali tidak dibaca.“Aku juga sayang kamu, Rama.” Ia pun menarik nafas dan meletakan ponsel di atas nakas dan berbaring menatap langit-langit kamar.Sudah kembali ke rumah kontrakan, meski tinggal bersama Anya sangat menyenangkan dan Anya juga Bima tidak mempermasalahkan bahkan mengizinkan ia tetap tinggal. Hanya saja ia perlu memberi ruang pada Anya untuk menyembuhkan luka hatinya, di mana
“Ya,” ucap Bima menjawab interkom dari sekretarisnya.“Pak Bima, ada Pak Bagas ingin bertemu dan dia sudah ada di sini di depan saya.”Bima menghela nafasnya. di tengah kesibukannya, ia malas bertemu dengan pria yang mungkin saja akan menjadi mertuanya.“Oke, suruh masuk.”Bima masih fokus dengan layar laptop dan dokumen di depannya saat Bagas masuk ke ruangan, tidak hanya sendiri tapi bersama Citra dan juga Alya.“Pagi Nak Bima,” sapa Citra.“Pagi, silahkan duduk. Saya selesaikan ini dulu, sudah ditunggu,” ujar Bima.“Oh, iya silahkan. Kami paham Nak Bima pasti sangat sibuk,” tutur Citra lagi.Bima hanya tersenyum dengan pandangan masih tertuju pada layar laptop, menyempatkan untuk mengirim pesan pada Umar agar datang sepuluh menit lagi ke ruangannya. Tidak ingin berlama dengan keluarga itu, meskipun nanti dia harus memohon restu pada Bagas dan Citra.Ia pun berdiri lalu bergabung dengan keluarga Anya, tentu saja minus Anya. Dari wajah Bagas yang terlihat tidak ramah, ia mencium bau
Bima menyampaikan bahwa keluarganya datang dan ingin bertemu. Prinsipnya pria itu akan memfasilitasi pertemuan Anya dengan keluarganya selama hal itu memang diinginkan oleh Anya tanpa keterpaksaan.Tidak ingin menjadi penghalang apalagi dianggap menyembunyikan Anya. Kalaupun menjaga Anya dari ulah Denis yang mungkin saja berniat jahat dan itu sudah terjadi. Denis memang berniat melukainya tepatnya Dewa. Untuk saat itu kekhawatiran itu tidak perlu lagi karena Denis sedang terbaring sakit.“Gimana?” tanya Bima sedang menggendong Dewa sedangkan Anya menyiram tanaman bunga. Padahal hal itu biasa dikerjakan oleh tukang kebun.“Apanya?” Anya balik bertanya lalu berjongkok memperhatikan pot bunga di depannya, tanamannya semakin besar dan pot tempatnya harus diganti.“Orangtuamu. Jangan sampai orang percaya aku menyembunyikan putrinya.”“Yang sembunyi siapa, aku hanya menepi,” sahut Anya lalu memisahkan pot-pot bunga yang harus diganti.“Yang bener sih kabur. Kamu harus tahu nak, mama kabur w
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da