Aku baik-baik saja, berharap kamu pun begitu. Tolong mengerti dengan situasiku. Aku sayang kamu, Selly.Selly membaca pesan dari Rama berulang-ulang. Bingung harus meluapkan dengan rasa yang bagaimana. Pesan yang mengartikan banyak hal.“Tolong mengerti dengan situasiku,” gumam Selly. “Kapan aku tidak mengerti situasinya.” Ia pun menggaruk kepala yang memang tidak gatal.“Iya, aku baik-baik saja. Makanya pesan aku tuh dibaca.” Ia menggerutu karena sering mengirimkan pesan menanyakan kabar Rama dan mengatakan kondisinya saat ini. Nyatanya dari pesan Rama bisa disimpulkan kalau semua pesan itu sama sekali tidak dibaca.“Aku juga sayang kamu, Rama.” Ia pun menarik nafas dan meletakan ponsel di atas nakas dan berbaring menatap langit-langit kamar.Sudah kembali ke rumah kontrakan, meski tinggal bersama Anya sangat menyenangkan dan Anya juga Bima tidak mempermasalahkan bahkan mengizinkan ia tetap tinggal. Hanya saja ia perlu memberi ruang pada Anya untuk menyembuhkan luka hatinya, di mana
“Ya,” ucap Bima menjawab interkom dari sekretarisnya.“Pak Bima, ada Pak Bagas ingin bertemu dan dia sudah ada di sini di depan saya.”Bima menghela nafasnya. di tengah kesibukannya, ia malas bertemu dengan pria yang mungkin saja akan menjadi mertuanya.“Oke, suruh masuk.”Bima masih fokus dengan layar laptop dan dokumen di depannya saat Bagas masuk ke ruangan, tidak hanya sendiri tapi bersama Citra dan juga Alya.“Pagi Nak Bima,” sapa Citra.“Pagi, silahkan duduk. Saya selesaikan ini dulu, sudah ditunggu,” ujar Bima.“Oh, iya silahkan. Kami paham Nak Bima pasti sangat sibuk,” tutur Citra lagi.Bima hanya tersenyum dengan pandangan masih tertuju pada layar laptop, menyempatkan untuk mengirim pesan pada Umar agar datang sepuluh menit lagi ke ruangannya. Tidak ingin berlama dengan keluarga itu, meskipun nanti dia harus memohon restu pada Bagas dan Citra.Ia pun berdiri lalu bergabung dengan keluarga Anya, tentu saja minus Anya. Dari wajah Bagas yang terlihat tidak ramah, ia mencium bau
Bima menyampaikan bahwa keluarganya datang dan ingin bertemu. Prinsipnya pria itu akan memfasilitasi pertemuan Anya dengan keluarganya selama hal itu memang diinginkan oleh Anya tanpa keterpaksaan.Tidak ingin menjadi penghalang apalagi dianggap menyembunyikan Anya. Kalaupun menjaga Anya dari ulah Denis yang mungkin saja berniat jahat dan itu sudah terjadi. Denis memang berniat melukainya tepatnya Dewa. Untuk saat itu kekhawatiran itu tidak perlu lagi karena Denis sedang terbaring sakit.“Gimana?” tanya Bima sedang menggendong Dewa sedangkan Anya menyiram tanaman bunga. Padahal hal itu biasa dikerjakan oleh tukang kebun.“Apanya?” Anya balik bertanya lalu berjongkok memperhatikan pot bunga di depannya, tanamannya semakin besar dan pot tempatnya harus diganti.“Orangtuamu. Jangan sampai orang percaya aku menyembunyikan putrinya.”“Yang sembunyi siapa, aku hanya menepi,” sahut Anya lalu memisahkan pot-pot bunga yang harus diganti.“Yang bener sih kabur. Kamu harus tahu nak, mama kabur w
“Lihat! Anya tidak mau bicara denganmu. Setelah ini nomornya tidak akan aktif lagi.” Mendapati Anya mengakhiri pembicaraan mereka, Citra tidak bisa menahan amarahnya. Bukannya introspeksi, Bagas malah ceramah kalau semua ini Anya yang salah.Lelah, itulah yang dirasakan Citra. Mengikuti jalan pikiran suaminya yang kadang tidak didukung, tapi sebagai harus berbakti mau tidak mau Citra pun patuh. Namun, kali ini ia merasa sudah cukup. Ia rindu putrinya, Anya.“Cukup Mas!” bentak Citra. “Cukup menyalahkan Anya atas semua kekacauan yang kamu lakukan. Akui saja kalau kamu tidak berhasil dengan bisnismu, kamu tidak becus. Anya selalu kita manfaatkan agar Rama bisa bantu kamu, saat keluarga itu angkat tangan kamu salahkan Anya.”“Karena Anya bisa bantu kita, ini malah kabur dan buat masalah.”“Dia kabur karena kita. Dia rela menikah dengan pria yang tidak dia cintai, dikhianati dan saat ia menyerah kita tidak ada untuknya. Kita ini orang tuanya Mas, tapi dia merasa sendirian.”“Anakmu seling
Kedatangan Citra tanpa sepengetahuan keluarganya. Ia sudah yakin untuk menemui Anya. Putrinya yang sudah hampir setahun ini tidak bertemu, entah bagaimana kabarnya. Meskipun ia yakin Anya baik-baik saja, tapi waktu yang sudah dilewatinya pasti ada saja masalah dan persoalan.Sengaja datang sendiri, berharap Bima akan memberikan informasi. Datang dengan Alya pun percuma, putri bungsunya itu sudah terlalu buta mencintai Bima. Entah benar cinta atau karena tahta. Siapa tidak kenal Bima yang sekarang menjadi presiden direktur Hardana Company, posisinya lebih tinggi dibandingkan Rama.Ternyata Bima tidak ada di tempat, ia rela menunggu meski awalnya tidak diperkenankan. Beruntung ada pria yang pernah ia lihat mendampingi Bima. Mungkin asisten pribadi atau wakilnya.Baru lima belas menit menunggu, Bima akhirnya datang. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kali ini Bima terlihat lebih santun.“Maaf kelamaan menunggu,” ujar Bima lalu mengajaknya bersalaman.Ia tersenyum dan mengatakan tidak m
“Baru sampe?” tanya Yeni yang baru datang setelah visit ke lokasi proyek.“Hm,” sahut Selly setelah meletakan ransel di atas meja dan menghempaskan tubuhnya di kursi menikmati hembusan angin dingin dari AC. Segera ia membuka ikatan rambut yang tadi diselipkan ke dalam topi, rasanya lepek karena keringat.Berada di bawah terik matahari selama perjalanan dan di lokasi proyek pembangunan, sudah biasa dilakukan. Sudah menjadi tugasnya, harus kroscek langsung beberapa data terkait pekerja. Mengambil beberapa helai tisu lalu melap dahi dan leher yang berkeringat.“Di luar panas bu, kayaknya sore mau hujan deh,” keluh Selly masih berusaha mendinginkan tubuhnya.“Jangan hujan dong, nanti sore aku mau jalan,” seru rekan kerja Selly sambil cengengesan.“Jalan ya jalan wae, kunaon teu menang hujan,” cetus Bu Selly dengan nada ketus. Namun, ucapan wanita itu tidak diambil hati karena sudah saling memahami dengan karakter masing-masing.Selly hanya tersenyum mendengar komentar Bu Yeni.“Ih bu Yeni
“Bu, ada Pak Rama,” ucap Ira.Anya yang memastikan Dewa tertidur dengan nyaman setelah dipindahkan ke box bayi pun terdiam. Bima memang mengatakan Rama akan menemuinya, tapi tidak tahu kalau secepat itu.“Mas Rama sendiri?”“Iya Bu. Biar Dewa saya yang temani. Ibu ke depan saja. Saya sudah tanya sudah makan siang atau belum, katanya sudah waktu keluar tol.”Hanya menjawab dengan anggukan, Anya menitipkan putranya pada Ira. “Kamu sambil baringan aja di situ.” Ia menunjuk sofa, tahu kondisi Ira belum fit seperti sebelum insiden kecelakaan, lebih tepatnya kekerasan karena ulah Denis. “Kalau jam segini tidurnya lama.”“Iya Bu.”Anya pun keluar dari kamarnya, berpapasan dengan Mbak Ela yang membawa nampan.“Mas Rama di mana?” tanyanya dan Ela menjawab Rama ada di ruang tamu.Melangkah pelan menuju ruang tamu, meski sudah tahu apa yang akan dibahas. Tetap saja membuat Anya gugup.“Mas Rama, apa kabar?” sapa Anya karena sejak kepulangan Rama ke Jakarta lalu mendengar kondisi Denis yang mengk
Rama tidak mengajak Selly keluar dari mobil. Hanya mematikan mesin dan membuka setengah kaca jendela. Apalagi langit mulai gelap, sepertinya akan turun hujan sesuai dengan prediksi Selly.Cukup lama keduanya terdiam tenggelam dengan perasaannya masing-masing. Kalau mau jujur, Selly ingin sekali tergelak menyadari keluguan mereka seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Padahal ia ingin langsung melompat ke pangkuan Rama dan mengalungkan tangan di leher pria itu lalu bercumbu.Oh tidak, Selly menggeleng pelan mengusir bayangan erotis yang mungkin saja mereka lakukan. Ia ingin hubungannya dengan Rama berjalan normal seperti pasangan pada umumnya dan melakukan hal lebih jauh kalau status mereka sudah berubah.“Ehem.” Rama berdehem, seakan mengusir rasa gugup.Ia bingung hendak memulai dari mana. Apa yang akan disampaikan akan menyakiti Selly, meski bertujuan untuk kebaikan mereka berdua. Dari raut wajah Selly terlihat kalau wanita itu senang dengan pertemuan ini, mungkin saja sudah dinant
Rama tidak mengajak Selly keluar dari mobil. Hanya mematikan mesin dan membuka setengah kaca jendela. Apalagi langit mulai gelap, sepertinya akan turun hujan sesuai dengan prediksi Selly.Cukup lama keduanya terdiam tenggelam dengan perasaannya masing-masing. Kalau mau jujur, Selly ingin sekali tergelak menyadari keluguan mereka seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Padahal ia ingin langsung melompat ke pangkuan Rama dan mengalungkan tangan di leher pria itu lalu bercumbu.Oh tidak, Selly menggeleng pelan mengusir bayangan erotis yang mungkin saja mereka lakukan. Ia ingin hubungannya dengan Rama berjalan normal seperti pasangan pada umumnya dan melakukan hal lebih jauh kalau status mereka sudah berubah.“Ehem.” Rama berdehem, seakan mengusir rasa gugup.Ia bingung hendak memulai dari mana. Apa yang akan disampaikan akan menyakiti Selly, meski bertujuan untuk kebaikan mereka berdua. Dari raut wajah Selly terlihat kalau wanita itu senang dengan pertemuan ini, mungkin saja sudah dinant
“Bu, ada Pak Rama,” ucap Ira.Anya yang memastikan Dewa tertidur dengan nyaman setelah dipindahkan ke box bayi pun terdiam. Bima memang mengatakan Rama akan menemuinya, tapi tidak tahu kalau secepat itu.“Mas Rama sendiri?”“Iya Bu. Biar Dewa saya yang temani. Ibu ke depan saja. Saya sudah tanya sudah makan siang atau belum, katanya sudah waktu keluar tol.”Hanya menjawab dengan anggukan, Anya menitipkan putranya pada Ira. “Kamu sambil baringan aja di situ.” Ia menunjuk sofa, tahu kondisi Ira belum fit seperti sebelum insiden kecelakaan, lebih tepatnya kekerasan karena ulah Denis. “Kalau jam segini tidurnya lama.”“Iya Bu.”Anya pun keluar dari kamarnya, berpapasan dengan Mbak Ela yang membawa nampan.“Mas Rama di mana?” tanyanya dan Ela menjawab Rama ada di ruang tamu.Melangkah pelan menuju ruang tamu, meski sudah tahu apa yang akan dibahas. Tetap saja membuat Anya gugup.“Mas Rama, apa kabar?” sapa Anya karena sejak kepulangan Rama ke Jakarta lalu mendengar kondisi Denis yang mengk
“Baru sampe?” tanya Yeni yang baru datang setelah visit ke lokasi proyek.“Hm,” sahut Selly setelah meletakan ransel di atas meja dan menghempaskan tubuhnya di kursi menikmati hembusan angin dingin dari AC. Segera ia membuka ikatan rambut yang tadi diselipkan ke dalam topi, rasanya lepek karena keringat.Berada di bawah terik matahari selama perjalanan dan di lokasi proyek pembangunan, sudah biasa dilakukan. Sudah menjadi tugasnya, harus kroscek langsung beberapa data terkait pekerja. Mengambil beberapa helai tisu lalu melap dahi dan leher yang berkeringat.“Di luar panas bu, kayaknya sore mau hujan deh,” keluh Selly masih berusaha mendinginkan tubuhnya.“Jangan hujan dong, nanti sore aku mau jalan,” seru rekan kerja Selly sambil cengengesan.“Jalan ya jalan wae, kunaon teu menang hujan,” cetus Bu Selly dengan nada ketus. Namun, ucapan wanita itu tidak diambil hati karena sudah saling memahami dengan karakter masing-masing.Selly hanya tersenyum mendengar komentar Bu Yeni.“Ih bu Yeni
Kedatangan Citra tanpa sepengetahuan keluarganya. Ia sudah yakin untuk menemui Anya. Putrinya yang sudah hampir setahun ini tidak bertemu, entah bagaimana kabarnya. Meskipun ia yakin Anya baik-baik saja, tapi waktu yang sudah dilewatinya pasti ada saja masalah dan persoalan.Sengaja datang sendiri, berharap Bima akan memberikan informasi. Datang dengan Alya pun percuma, putri bungsunya itu sudah terlalu buta mencintai Bima. Entah benar cinta atau karena tahta. Siapa tidak kenal Bima yang sekarang menjadi presiden direktur Hardana Company, posisinya lebih tinggi dibandingkan Rama.Ternyata Bima tidak ada di tempat, ia rela menunggu meski awalnya tidak diperkenankan. Beruntung ada pria yang pernah ia lihat mendampingi Bima. Mungkin asisten pribadi atau wakilnya.Baru lima belas menit menunggu, Bima akhirnya datang. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kali ini Bima terlihat lebih santun.“Maaf kelamaan menunggu,” ujar Bima lalu mengajaknya bersalaman.Ia tersenyum dan mengatakan tidak m
“Lihat! Anya tidak mau bicara denganmu. Setelah ini nomornya tidak akan aktif lagi.” Mendapati Anya mengakhiri pembicaraan mereka, Citra tidak bisa menahan amarahnya. Bukannya introspeksi, Bagas malah ceramah kalau semua ini Anya yang salah.Lelah, itulah yang dirasakan Citra. Mengikuti jalan pikiran suaminya yang kadang tidak didukung, tapi sebagai harus berbakti mau tidak mau Citra pun patuh. Namun, kali ini ia merasa sudah cukup. Ia rindu putrinya, Anya.“Cukup Mas!” bentak Citra. “Cukup menyalahkan Anya atas semua kekacauan yang kamu lakukan. Akui saja kalau kamu tidak berhasil dengan bisnismu, kamu tidak becus. Anya selalu kita manfaatkan agar Rama bisa bantu kamu, saat keluarga itu angkat tangan kamu salahkan Anya.”“Karena Anya bisa bantu kita, ini malah kabur dan buat masalah.”“Dia kabur karena kita. Dia rela menikah dengan pria yang tidak dia cintai, dikhianati dan saat ia menyerah kita tidak ada untuknya. Kita ini orang tuanya Mas, tapi dia merasa sendirian.”“Anakmu seling
Bima menyampaikan bahwa keluarganya datang dan ingin bertemu. Prinsipnya pria itu akan memfasilitasi pertemuan Anya dengan keluarganya selama hal itu memang diinginkan oleh Anya tanpa keterpaksaan.Tidak ingin menjadi penghalang apalagi dianggap menyembunyikan Anya. Kalaupun menjaga Anya dari ulah Denis yang mungkin saja berniat jahat dan itu sudah terjadi. Denis memang berniat melukainya tepatnya Dewa. Untuk saat itu kekhawatiran itu tidak perlu lagi karena Denis sedang terbaring sakit.“Gimana?” tanya Bima sedang menggendong Dewa sedangkan Anya menyiram tanaman bunga. Padahal hal itu biasa dikerjakan oleh tukang kebun.“Apanya?” Anya balik bertanya lalu berjongkok memperhatikan pot bunga di depannya, tanamannya semakin besar dan pot tempatnya harus diganti.“Orangtuamu. Jangan sampai orang percaya aku menyembunyikan putrinya.”“Yang sembunyi siapa, aku hanya menepi,” sahut Anya lalu memisahkan pot-pot bunga yang harus diganti.“Yang bener sih kabur. Kamu harus tahu nak, mama kabur w
“Ya,” ucap Bima menjawab interkom dari sekretarisnya.“Pak Bima, ada Pak Bagas ingin bertemu dan dia sudah ada di sini di depan saya.”Bima menghela nafasnya. di tengah kesibukannya, ia malas bertemu dengan pria yang mungkin saja akan menjadi mertuanya.“Oke, suruh masuk.”Bima masih fokus dengan layar laptop dan dokumen di depannya saat Bagas masuk ke ruangan, tidak hanya sendiri tapi bersama Citra dan juga Alya.“Pagi Nak Bima,” sapa Citra.“Pagi, silahkan duduk. Saya selesaikan ini dulu, sudah ditunggu,” ujar Bima.“Oh, iya silahkan. Kami paham Nak Bima pasti sangat sibuk,” tutur Citra lagi.Bima hanya tersenyum dengan pandangan masih tertuju pada layar laptop, menyempatkan untuk mengirim pesan pada Umar agar datang sepuluh menit lagi ke ruangannya. Tidak ingin berlama dengan keluarga itu, meskipun nanti dia harus memohon restu pada Bagas dan Citra.Ia pun berdiri lalu bergabung dengan keluarga Anya, tentu saja minus Anya. Dari wajah Bagas yang terlihat tidak ramah, ia mencium bau
Aku baik-baik saja, berharap kamu pun begitu. Tolong mengerti dengan situasiku. Aku sayang kamu, Selly.Selly membaca pesan dari Rama berulang-ulang. Bingung harus meluapkan dengan rasa yang bagaimana. Pesan yang mengartikan banyak hal.“Tolong mengerti dengan situasiku,” gumam Selly. “Kapan aku tidak mengerti situasinya.” Ia pun menggaruk kepala yang memang tidak gatal.“Iya, aku baik-baik saja. Makanya pesan aku tuh dibaca.” Ia menggerutu karena sering mengirimkan pesan menanyakan kabar Rama dan mengatakan kondisinya saat ini. Nyatanya dari pesan Rama bisa disimpulkan kalau semua pesan itu sama sekali tidak dibaca.“Aku juga sayang kamu, Rama.” Ia pun menarik nafas dan meletakan ponsel di atas nakas dan berbaring menatap langit-langit kamar.Sudah kembali ke rumah kontrakan, meski tinggal bersama Anya sangat menyenangkan dan Anya juga Bima tidak mempermasalahkan bahkan mengizinkan ia tetap tinggal. Hanya saja ia perlu memberi ruang pada Anya untuk menyembuhkan luka hatinya, di mana
“Kamu yakin?” tanya Anya lagi saat Selly menyampaikan akan tinggal di rumah kontrakan.“Iya, yakin. Kontrakan aku dekat ke sini kok, jadi bakal sering datang untuk melihat Dewa.”Anya membaca ada hal lain yang Selly sembunyikan. Bisa jadi masalah dengan Rama, tapi tidak berani bertanya karena Selly pun enggan bercerita. Mungkin saja tidak enak karena hubungan Anya dan Rama saat ini masih terikat pernikahan.“Ya sudah, tapi kalau ada apa-apa cerita ya. Kita udah bareng-bareng selama ini, kamu banyak bantu aku dan sampai luka-luka demi menyelamatkan Dewa.” Anya bicara sambil menggenggam tangan Selly yang ada di pangkuan wanita itu.“Apa sih, kayak aku mau kemana aja.” Lalu mereka terkekeh bersama.Sengaja tidak membahas masalah Rama, Anya pun tidak tahu bagaimana kejelasan hubungan mereka berdua. Yang pasti ia akan selalu mendukung apa keputusan Selly dan Rama.Obrolan kedua wanita itu terhenti karena suara tangisan Dewa, Anya pun pamit untuk melihat putranya. Sedangkan Selly menuju kam