"Kamu benar-benar mencintai anak saya?" Pertanyaan yang kuhadapi di depan mata dari mertua yang dulunya sering marah-marah kalau mampir ke kamar kosku. Pakaian papanya Sara belum berganti saat duduk pada kursi di ruang makan. Dia hanya menyesap kopi yang disediakan sang anak dan berkali-kali melihat tampilanku yang sudah berseragam lengkap putih-abu.
"Mungkin belum," ucapku santai seraya meletakkan piring berisi nasi uduk lauk dendeng ke hadapannya.
"Kalau begitu, mengapa kalian nekad menikah?" Tatapan tajam itu semakin menambah efek menyeramkan dari kumis yang menghiasi wajah papanya Sara.
Cinta? Makanan seperti apa itu? Bercanda. Enggak perlu dianggap serius. Pikiranku hanya menggali-gali definisi apa yang tepat untuk cinta. Selama ini, hubungan kami hanya didasari pada kebutuhan gairah yang meledak. Enggak tahu Sara.
Jika saling mengisi dan membutuhkan itu disebut cinta, mungkin aku
Cinta buat kalian itu apa, sih?
Permintaan ulang tahun sang tuan putri yang enggak bisa ditolak hari ini. Kebiasaannya yang tukang pamer kebahagiaan, membuat kami hari ini menjadi tontonan di tengah lapangan sekolah saat jam pulang."Kayaknya gue enggak bilang mau lakuin kayak gini, deh." Aku terus mengulang keluhan yang sama. Enggak suka jadi pusat perhatian, malah harus nemenin megangin kaki dia yang lagi berusaha sit-up dengan lutut ditekuk mencapai keberadaanku buat curi ciuman singkat sesekali.Peganganku menguat di sela lututnya sementara kakiku mengapit sisi luar sepatu putih Sara. Dia ... sekali lagi menggapaiku, tapi enggak kena. Menghindarinya ternyata mengundang decak tawa. Beberapa penonton lagi tampak terkesima."Keren tau, Sa. Lagi musim gitu orang-orang bikin vlog bareng pasangan." Sara menanggapi setelah menyelesaikan sepuluh hitungannya dan memberi isyarat berganti posisi.Kali ini aku yang berbaring pada hangatnya
Dentum musik menggema memenuhi ruangan. Gerak manusia saling merapat di pertengahan, tepat di hadapan dj yang sesekali menyapa. “Ambil aja! Enggak ada alkohol di acara gue!” teriak Sara pada beberapa orang yang menyalaminya dan turut bergoyang mengikuti hentakan musik. Dia menunjuk pada susunan gelas meninggi yang tersusun membentuk piramida kaca dikelilingi gelas-gelas bertangkai tinggi yang diisi buah dan soda. Aku sendiri berada di sisinya. Lebih mirip patung pajangan yang berdiri menjadi pegangan atau bahkan sandaran Sara semenjak pesta dimulai. Tema pakaian yang digunakan lebih pada rebelnya masa peralihan dari remaja ke dewasa. Ini mah aku banget. Atau mungkin Sara emang sengaja? “Kak Aksa keliatan garang, ya?” komentar salah seorang adik kelas yang hadir dan menyerahkan kadonya ke Sara. “Seneng?” Sara justru merengut ke arahku. Dia menguatkan cengk
Seraya berlari menuju parkiran motor, aku menghubungi kedua temanku di dalam ruang pesta. Nihil. Kalaupun tersambung, di dalam sana terlalu bising. Kuketikkan pesan singkat yang meminta bantuan mereka mencari keberadaan nomor plat mobil yang membawa Sara.“Ra ... apa gue bilang? Lo enggak dengerin gue, sih.” Percuma mengeluh. Kusambungkan pelantang tanpa kabel di telinga yang disambungkan pada ponsel dalam saku celana setelah menyalakan motor andalanku.Deru mesin mengadu ketebalan ban pada jalan yang dilalui. Aku enggak peduli dengan kemacetan yang menyambut di luar gedung parkir. Gimana pesta berjalan tanpa bintang utama? Ini namanya penculikan.“Gimana? Ada kabar?” tanyaku begitu panggilan di telinga tersambung. Berbagai panggilan kuterima sepanjang satu jam perjalanan di malam hari yang membekukan pergerakan tangan pada kedua setang masih seputar pergerakan kendaraan yang belum juga tampak di
“Aksa? Kamu di mana, Nak?” Suara dari pelantang yang tersemat di telingaku terdengar cepat. “Abah sudah di belakang mobil yang kamu bilang.” Sayangnya, semua terlambat. Aku terlambat. Seketika aku hancur melihatnya. Apa mungkin ini juga yang Sara rasakan ketika melihatku dulu menyentuh orang lain di depan matanya? “Abah ... Aksa gagal lindungin Sara, Bah ....” Aku berucap lirih tanpa bisa bergerak ketika sadari kedua tanganku telah terikat di belakang punggung. “Anak kecil pake nangis.” Kalimat itu kudengar setelah sekali tendangan menyapa pelipis. Sengat yang menyerang berikutnya enggak seberapa dibanding kekecewaan yang terlihat. “Sara, Bah ....” Menggeleng kuat pun, enggak ada yang bisa kulakukan. Hanya berguling, menutupi wajah dengan menghadap lantai. Ingin sekalian kubenturkan, tetapi cengkeraman di rambutku justru menahan. Temannya G ini sengaja
"Lihat!" Tamparan dari perempuan yang melahirkan Sara mendarat di pipiku. "Apa yang terjadi sama anak saya semenjak sama kamu?"Belum lagi reda nyeri di wajah akibat pukulan dan tendangan beberapa hari lalu, masih juga ditambah dengan pedasnya laku dan kata dari ibu mertua. Aku ... hanya bisa berdesis, menahan lidah bicara sementara bahu terus di dorong mundur menjauhi brankar tempat Sara berbaring.Lekatnya kami saat saling menghibur dengan canda kembali terpuruk karena sadari luka itu akan terus kembali selama masih ada yang terus membahas. Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh seraya menundukkan kepala. Sekali terpejam, kilasan para wanita yang mencari kepuasan padaku saat lampau dan pemuda-pemuda yang menertawakan hasrat Sara dalam mobil semakin mengobrak-abrik panasnya dadaku.Apa Tuhan mulai melancarkan hukuman untukku?"Udah, Ma. Ini bukan salah Aksa." Sara tampak berusaha turun dari brankar,
"Kamu perlu uang berapa? Bilang! Saya tahu, kamu cuma ngincar anak saya demi uang. Iya, kan? Saya bisa kasih kamu jauh lebih banyak asalkan jauhi kami."Aku enggak ngejawab. Cuma diam ketika dilempari lembaran merah muda yang masih berselimut pita percetakan baru. Dulu, ya. Mungkin aku bakal ngais semua yang jatuh seperti perlakuan para pelanggan dulu.Sekarang? Enggak.Hubungan yang kujalani sama Sara sekarang itu enggak cuma sebatas bayaran, ya ... meski tetep aja aku masih bergantung dengannya. Melihat lagi ke arah wanita yang kuingat bernama Indar ini, pelototannya padaku masih seawet hujan di luar. Dingin. Apa enggak kering matanya?"Saya enggak nyangka putri saya menikah dengan gig*lo kayak kamu! Cuih! Najis!"Aku mengulum bibir sesaat, sesekali embuskan napas yang terasa berat. Hinaan lagi ketika Sara enggak di rumah kayak gini. Belum lagi diludahi terang-terangan.
Setelah memastikan Sara beristirahat, aku mendatangi pria tua yang menghadapi layar laptop dan duduk di sofa ruang tamu paviliun. "Udah nemu, Bah?" Aku memulai pembicaraan lebih dulu."Barang buktinya ada, tapi siaran langsung yang mereka lakukan sulit dihilangkan dari publik yang sudah terlanjur melihat bahkan mungkin menyimpan secara ilegal." Abah memperlihatkan beberapa situs yang dikirimkan anak buahnya. Dalam hitungan menit, video yang tampak dari jendela layar terbuka berganti lingkaran tercoreng.Masih terlalu lambat dibanding jumlah penonton yang terlanjur melihat. Seenggaknya banyak bantuan yang kudapatkan dari Abah semenjak menyandang predikat sebagai keponakannya. Aku kira ... dari gaya berpakaian dan bicara Kea, mereka berasal dari keluarga sederhana, keluarga biasa yang memilihlow profile.Belakangan, aku takjub dengan informasi Papa mengenai perusahaan korporasi yang dimiliki Abah. Korporasi.
"Kea?" Aku terkejut mendapati anak perempuan Abah berada di depan pintu keluar dan menunduk. Gayanya serupa denganku ketika berpikir dan mendengarkan. Mengetuk sepatu ke lantai dan berpikir. Mungkin sadar dengan keberadaanku, Kea mendongak lalu senyuman segarisnya mengiringi kerutan di pangkal alis saat menyapa, "Lo mau keluar, Sa?" "Lo mau masuk?" Telunjukku mengarah ke belakang punggung. Rautku mengimitasi gerakan wajahnya yang memaksakan tawa ringan. "Cuma ... Sara-nya lagi tidur." Kea berjinjit seolah melirik sosok di belakangku, bisa jadi dia sudah melihat Abah yang sibuk dengan laptop, kemudian tersenyum lagi ketika mengeratkan pegangan pada tas selempang yang menggantung di bahunya. "Gue ikut lo keluar aja, gimana?" "Ngasap dulu gue. Ada Bapak di dalam, Ke." Maksudku, kalau perlu dia enggak usah ikutan. Ini yang ada malah pake ngegandeng lengan segala. "Enggak ma
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la