"Kea?" Aku terkejut mendapati anak perempuan Abah berada di depan pintu keluar dan menunduk. Gayanya serupa denganku ketika berpikir dan mendengarkan. Mengetuk sepatu ke lantai dan berpikir.
Mungkin sadar dengan keberadaanku, Kea mendongak lalu senyuman segarisnya mengiringi kerutan di pangkal alis saat menyapa, "Lo mau keluar, Sa?"
"Lo mau masuk?" Telunjukku mengarah ke belakang punggung. Rautku mengimitasi gerakan wajahnya yang memaksakan tawa ringan. "Cuma ... Sara-nya lagi tidur."
Kea berjinjit seolah melirik sosok di belakangku, bisa jadi dia sudah melihat Abah yang sibuk dengan laptop, kemudian tersenyum lagi ketika mengeratkan pegangan pada tas selempang yang menggantung di bahunya. "Gue ikut lo keluar aja, gimana?"
"Ngasap dulu gue. Ada Bapak di dalam, Ke." Maksudku, kalau perlu dia enggak usah ikutan. Ini yang ada malah pake ngegandeng lengan segala.
"Enggak ma
"Aksa bercanda mulu!" Kea memukul bahuku. Tepukan dari telapak tangannya ternyata pedes banget. Gimana kalau belajar bela diri? Dia menyejajari langkahku melalui jalan setapak luar bangunan rumah sakit. Enggak kayak sebelumnya yang lewat koridor dalam. "Enggak mungkin lah gue gantiin Sara," lanjut Kea sambil terkekeh. Kalau dibandingkan sama penampilan Sara biasanya yang cenderung mengenakan jin atau rok pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya dengan atasan yang harus in, Kea betah menjadikan kaus dan jin panjang--menutupi keseluruhan tubuhnya yang lebih pendek dariku. Abah berhasil membuat adikku ini tetap terlihat sederhana dan enggak diperhitungkan buat sasaran pengincar harta. Coba aja dia kayak anaknya para tante yang sering memanggilku, pasti sudah banyak yang ngantri mengajaknya kencan. Ubah penampilan yang bisa menonjolkan kecantikannya gitu. Ah, jangan, deh. Biar Kea tetap Kea yang biasa sampai
Bosenin juga enggak ada si rese. Udah kebiasaan kali ya ngeliat Sara yang biasanya mimpin tim penyorak latihan di lapangan. Entah kapan dia bakal balik ke sekolah atau mungkin mau tetap bersembunyi ampe benar-benar ngerasa aman dari urusan video mesum yang terlanjur kesebar meski belum ada berita atau isu tentang itu di sini. "Udah liat pengumuman, belum?" Kea muncul di luar jendela sebelah meja belajarku. Semenjak disematkan predikat sebagai sepupu, Kea rajin banget mampir. Entah karena anggep aku keluarga atau nyari peluang deketin Nabas lagi. "Pengumuman apa?" Kalan lebih dulu nanya tanpa melepaskan atensi dari gim di layar ponsel. Dia masih betah berteriak pada rekan timnya dari sambungan daring. "Siswa yang bisa ajuin daftar non-tes ke universitas negeri." Nabas turut muncul. Dia merebut kotak susu yang disedot Kea, menekan ujung sedotan yang gepeng sebelum menghabiskan isinya. Kebiasaan
Kepalan tanganku menguat, menghantam permukaan meja dan hampir melayangkan pukulan kalau aja enggak sadar Kinar itu perempuan. "Asal lo tau! Sara bukan cewek gampangan kayak lo yang mudah banget ngisep burung cowok!"Atensi sekeliling menahanku berbuat lebih jauh. Setiap tatapan ke arahku terasa menjemukan. Aku bergeser dari meja dan berniat menjauh."Udah banyak yang liat buktinya kok, Kak." Seringai yang terlihat di wajah Kinar ketika menunjukkan potongan video ke depan mataku justru mendidihkan darah yang telah panas. "Pelakunya dimasukkin penjara buat nutup kasus? Gerald kan emang udah lama suka sama Sara, Kak."Susah payah kutahan geraman hingga menggertakkan gigi dalam mulut. Namun, Kea lebih dulu menarik rambut panjang Kinar dan menariknya keluar kelas."Mulut lo ini perlu cium tanah kayaknya."Wajah mulus Kinar sukses mendarat di lantai koridor saat diempaskan. Ingin aku bertepuk tangan
"Gue enggak sekolah aja kali yah, Sa." Sara terlihat menggesekkan ujung selimut dalam genggamannya, cemas.Setelah sadar dari amukan tadi, dia menghindari peganganku tanpa sebab. Jadi, aku lebih banyak duduk di dekat ranjang sambil memainkan gim rekomennya Kalan. Perang strategi menggunakan tembakan runduk berkelompok secara daring. Sesekali terdengar seruan rekanku dalam pelantang di telinga kanan ketika saling memberi arahan sementara telinga kiriku bebas mendengarkan celotehan acak Sara."Kenapa enggak?" Aku menanggapi, beberapa kali mengawasinya dari sudut mata. Hanya berjaga-jaga, meminimalisir kemungkinan berbahaya."Malu gue. Anak-anak pada ngabarin gue soal Kinar yang ngasih liat lo video itu."Soal itu ... aku juga menyayangkan, sih. Padahal kalau enggak ada yang bicarain, isu itu bakal tenggelam dengan sendirinya."Maaf, gue enggak bisa bantu apa-apa." Aku juga salah ka
"Gue kangen sama lo, Ra." Aku meraih pinggang Sara dari belakang setelah tiba di kamar, di rumahnya. Daguku bertumpu di pundak Sara, menenggelamkan wajah pada lekuk yang tampak dari garis leher blus yang dikenakannya."Aksa ...." Sara sempat melenguh, terlihat menggeliat, menghindar dan mendorongku lepaskannya. "Enggak!"Kedua tanganku menggantung di sisi tubuh. Terdiam dan berpikir berulang-ulang kalau semua ini enggak mudah buat kami seperti dulu lagi. Bayangan malam itu terus muncul di kepalaku. Wajah Sara yang menikmati dan mencapai pelepasan di depanku, menyakitiku."Maaf." Sara berbalik. Jemarinya naik ke udara, hampir mencapaiku yang terus mundur hingga berada di ambang pintu.Aku menggeleng. "Maaf juga." Melihat wajahnya yang memelas ternyata bisa memanaskan kelopak mataku."Sa?" Jemari Sara berhasil mencapai rahangku, menyentuhkan kulit dinginnya yang ternyata berkeringa
Kumainkan pemantik rokok di permukaan meja, mendengarkan ocehan rekanku setelah urusan klien yang enggak jadi datang. Selain itu, layar ponselku di samping pemantik terus berkedip. Layarnya menampilkan deret pesan yang terus muncul dari Sara. "Kalau gue mau nyari kerjaan di luar pesanan Nyonya gimana?" tanya Nabas yang mengalihkan perhatianku buat sejenak. Sambil membalas pesan mengenai lokasi, aku bertanya pada Nabas, "Mau?" Kubenahi posisi duduk yang menumpu sebelah kaki di lutut kaki satunya dan melihat sekeliling. "Kali ...." Ragu terdengar dari jawaban pelan Nabas. "Bilang aja nyari tambahan." Kukeluarkan kotak rokok putih ke atas meja, mengetuk-ngetuk permukaan bawahnya pada lapisan plastik yang menjadi alas dari es teh di hadapan kami. "Mau?" "Eng ...." Masih keraguan yang sama. Ekspresi wajah Nabas seperti cewek yang menggigit bibir bawahnya ketika tertang
Baru juga mulai udah kasus. Aku beranjak dari tempat duduk diikuti Sara yang ternyata menggandeng lenganku. Lucu juga ya ditempelin makhluk sehalus bulu gini, bawaannya ngikut aja. Tas belanjaannya aja ditinggal mentang-mentang deketan. Kunaikkan kuncung penutup kepala dari jaket yang dikenakan Sara untuk menutupi keseluruhan rambutnya."Bapak siapa, ya?" tanyaku lebih dulu seraya membelah kerumunan berseragam serba gelap yang mengelilingi Nabas."Kalian ini yang siapa? Saya tidak ada urusan dengan kalian." Pria berperut besar yang tampak berdebat dengan pasangannya itu langsung mengoceh ke depan wajahku. Ampe berasa muncrat menerpa dan perlu ambil tisu dari meja buat ngelap.Kupindahkan pegangan Sara di tangan, berganti genggaman menguat. "Maaf ya, Pak. Ini teman saya. Bapak bisa tanya saya lebih lanjut sebagai saksinya." Aku mendorong perlahan bapak tua ini biar menjauh dari Nabas yang terlihat menutup wajah meski susu
Apaan ... juga ngikutin maunya bini yang nyuruh pura-pura nyari klien lepas gini. Masa nungguin di depan kafe sambil mainin pemantik rokok yang sengaja enggak digulir?Ada banyak teknik sebenarnya buat ngasih kode lagi nungguin pelanggan, tapi ya ... emang Sara enggak cemburu?Kulirik sesekali keberadaan Sara yang bersandar pada pembatas void mal sambil memasang masker yang menutupi sebagian wajahnya. Dia kayaknya ngobrol seru banget sama Nabas. Kan ngeselin. Kuambil sebatang tembakau dari dalam kotak putih dalam genggaman, sekadar nangkring di selipan bibir dan menunggu lagi."Lingga?" Panggilan familier yang sering diucap pelanggan membuatku menoleh dan temukan wanita yang kerap berganti warna rambut menghampiri. "Lama enggak ketemu.""Hai, Tan." Awalnya aku terkejut, tetapi sandaran punggung pada dinding kutinggalkan dengan berdiri tegak menghadapinya dan menurunkan rokok dari bibir ke selipan jar
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la