TIDUR BERSAMA LAGI?
"Aruna," panggil Dion."Apa?" jawab Aruna sambil menepuk bantal nya."Apakah kau pernah merasa penyesalan dalam hidup mu?" tanya Dion."Apa maksud Pak Dion?" sahut Aruna."Dengan adanya Bima dalam hidupmu, kau membesarkannya sendirian, melewati masa- masa sulit itu sendiri. Bahkan dia punya penyakit jantung bawaan, apa kau tidak menyesal? Harusnya kan hidupmu lebih bebas, kau bisa merintis kariermu lagi, kau juga bisa memiliki kehidupan yang lebih baik lagi. Apa Bima tak menghalangimu? Bukan kah terlalu banyak yang harus kau korbankan sebagai Ibu hanya demi Bima?" tanya Dion.Aruna tertegun mendengar pertanyaan Dion. Ini pertama kalinya semenjak mereka bertemu kembali Dion mengatakan hal seserius ini. Aruna menghela nafasnya pajang. Dia melihat ke arah lain, menatap atap di langit."Jujur saja, dalam hidup ini aku tidak pernah menyesali segala keputusan yang telah aku perbuat! Termasuk tentang kehadiran Bima di dunia ini. Karena bSEBUAH KEJUJURAN."Mas! Aku mohon dengarkan dulu semua penjelasanku! Aku akan segera menyelesaikan masalah ini secepat mungkin," sambung Aruna.Rendi terlihat menghea nafasnya panjang. Dia memandang ke arah Aruna. Entah perasaan apa yang menyelimutinya ini. Apakah Aruna mengerti dirinya cemburu atau hanya menjaga hatinya saja.""Haruskan aku mengatakan semua nya pada Aruna sekarang?" batin Rendi dalam hati sambil menatap wajah Aruna dengan lekat."Jujur saja sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir aku juga tak bisa menebak dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi dengan masa lalumu. Aku tak pernah bertanya apa yang sebenarnya kau alami saat bekerja di Jakarta dulu sampai kau bisa kembali ke kampung dengan kehamilanmu ini. Aku hanya mengetahui satu hal bahwa kau sudah mengalami hal yang tidak baik dengan Ayah kandung Bima," jawab Rendi."Aku tak pernah menanyakan itu semua padamu, Aruna! Karena aku tak mau kau teringat kembali dengan semua masa lalumu yang ku ras
MAS RENDI!Akhirnya Aruuna pun tak memiliki pilihan lain. Mau tak mau Aruna pun membuka matanya pelan -pelan sambil berpura- pura menguap. Dia bangun sambil mengeliatkan badannya."Hoahem! Kenapa sudah pagi?" tanya Aruna sambil salah tingkah. Begitupun dengan Dion. "Ibu dan Ayah kalian sudah tidur bersama!" kata Bima."Apakah kalian tidak akan berpisah selamanya?" tanya Bima sambil memandang ke arah mereka.Dion dan Aruna pun saling berpandangan. Mereka tak tahu dan bingung akan menjelaskan apa pada putranya itu. Dion menggaruk kepanya yang tak gatal, sedangkan Aruna mengedarkan pandangannya ke ruangan. Dengan setia Bima masih menatap kedua orang tuanya itu."Ehm! Anu Bima," ujar Aruna."Biar Ayah Baik yang menjelaskan," sambungnya."Hah? Tidak! Kau saja yang menjelaskan. Kau kan Ibunya," elak Dion sambil mendelik ke arah Aruna.'Ting tong' suara bel rumah Aruna berbunyi saat Dion dengannya berdebat. Sontak hal itu membuat angin segar bagi Dion a
RENDI YANG GAMANG!"Cepatlah, Bima! Kau bisa ke sana sekarang lalu mengajak nya pulang. Bagaimana?" tanya Dion yang melihat Bima tidak bergerak dari duduknya."Tidak mau!" sahut Bima dengan cepat."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" batin Dion sambil mendengus kesal.Dion terdiam dan hanya bengong. Dia sekarang menyadari jika Bima memang anak kecil yang menyebalkan sama seperti anak- anak lainnya. Dion menatap Bima, ingin rasanya marah namun tak bisa meluapkannya."Memang watak keras kepalanya ini amt sangat mirip dengan Ibunya," gumam Dion dengan kesal memandang Bima yang masih asik dengan makanannya."Sudah tak usah tergesa- gesa. Pelan- pelan saja, kau masih punya banyak waktu! Kunyah dengan baik, sampai halus dan jangan sampai tersedak," kata Dion sambil menuangkan segelas susu lagi pada cangkir minum Bima.Dengan sabar Dion merawat Bima. Setelah makan dia mengajak Bima mandi, dan menyiapkan bajunya. Saat Bima asik memilih baju, Dion menunggu
KITA?"Aku keluar dulu ya! Ingat tak usah terbebani dengan semua pasien! Kau tak perlu memaksakan diri untuk melakukan semua itu, kau yang mengatur dirimu sendiri dan harus tersenyum saat bekerja agar pasien semangat," kata Anya."Baiklah ayo cepat pergi! Jangan ada yang bekerja lagi, ini sudah masuk jam makan siang! kita adalah dokter yang tidak boleh sakit! Kasihan pasien kita jika sakit," ujar dokter Anya yang masih melihat beberapa dokter sibuk di depan laptop masing- masing untuk membuat laporan pemeriksaan."Kalian juga butuh makan! Pergilah makan duluan," ucap Rendi.Semua teman satu ruangan Rendi keluar. Hanya menyisakan Rendi. Rendi terdiam sambil terus memijat keningnya yang sakit secara tiba- tiba mengingat semua hal yang terjadi pagi hati. Ternyata Rendi baru menyadari bahwa suasana hatinya saat ini sedang buruk karenna rasa cemburunya pada Aruna. Rasa cinta yang tak pernah di ungkapkan tapi membuatnya sakit sendiri.Tak lama seorang wanita datang men
IGA BAKAR AYAH RENDI!"Apakah kau tidak memiliki kesibukan lain sehingga wanita sepertimu harus menjadi sukarelawan?" tanya Rendi."Sebenarnya aku menjadi sukarelangan karena ingin dekat denganmu," jawab Selly dengan santainya."Hah?" tanya Rendi terkejut sambil langsung menggeser kursinya agar sedikit memiliki jarak dengan Selly.Namun Selly juga langsung menggeser kursinya lagi sehingga mereka bisa langsung dekat lagi."Bukankah dengan begitu hubungan kita bisa lebih akrab buka?" tanya Selly lagi sambil memandangnya Rendi dengan wajah mesumnya. Membuat Rendi bergidik ngeri."Kita?" tanya Rendi."Ya! Kau dan aku! Bagaimana?" tanya Selly.'Tring' 'Tring' 'Tring' HP Rendi berbunyi, dia pun segera mengalihkan pandangannya tak memperhatikan Selly lagi. Rendi langsung mengambil HP nya, dan pembicaraannya dia akhiri dengan Rendi yang mengangkat telepon tanpa menjawab pertanyaan Selly."Halo! Baiklah aku akan segera ke sana," sahut Rendi."Maaf aku
PERSAINGAN RENDI DAN DION!"Ah Ibu hanya banyak bertanya Ayah Rendi! Ibu kalau memasak Iga pasti tak seenak buatan Ayah Rendi," protes Bima sambil mencicipi Iga bakar di piringnya."Hahaha! Kalau begitu makanlah yang banyak! Ayah Rendi akan memasakkannya untukmu," ujar Rendi mengelus kepala Bima lagi."Aku tidak bisa memotongnya, Bu!" ucap Bima."Tunggu sebentar! Biar Ibu saja yang memotongnya untukmu!" perintah Aruna."Sini -sini biar aku bantu dengan menggunakan garpu," sahut Rendi berdiri di belakang Bima.'Ceklek' pintu terbuka. Semua mata menatap ke arah pintu. Jantung Aruna berdegub keras, dia berharap jangan sampai Dion yang datang. Lebih baik orang tuanya dari pada Dion dengan posisi seperti ini. Ah, tapi sayang rupanya doanya kali ini tidak di kabulkan oleh Tuhan. Tiba -tiba pintu di buka ternyata Dion."Lah bukannya Pak Dion tadi mengatakan akan makan- makan dengan kolega ya? Mengapa kali ini dia pulang cepat?" batin Aruna dalam hati.Mereka
DION CEMBURU?"Sudahlah! Kenapa kau marah- marah sejak tadi? Tak baik untuk kesehatanmu! Cicipi sop Ikan Kakap merah ini, pasti cocok dengan seleramu!" perintah Rendi menyidodorkan semangkok sop hangat."Kau juga sudah masak sebanyak ini kau juga pasti lelah! Nah makanlah iga bakar yang katamu paling enak ini! Nah tambahlah kentang ini buatmu sendiri yang lunak dan lengket sepertimu yang menganggu sekali dalam keluarga kecil orang lain," sindir Dion.Dion dan Rendi pun saling bertatapan dengan raut wajah tak suka. Tak lama kemudian, Aruna datang kembali. Dia keheranan melihat Dion dan Rendi yang saling bertatap-tatapan. Aruna mengernyitkan keningnya dengan penuh tanda tanya."Hey? Mengapa kalian berdua seperti itu? Saling bertatapan, kenapa kalian tidak makan?" tanya Aruna."Makanlah! Makanlah Pak Dion, Mas Rendi ini sangat pandai memasak! Bahkan dia itu memiliki tangan yang sangat ajaib, karena selain bisa mengoperasi, dia juga sangat pandai untuk membuat sup ka
IMPIAN YANG RUNTUH!'Tring' 'Tring' Tring' Hp Arumi bergetar. Nampak panggilan masuk dari seorang lelaki yang baru saja mereka bicarakan. Aruna meneguk ludahnya kasar."Kebetulan sekali, ini adalah telpon dari Om Hendro! Kita coba tebak, akankah Om Hendro membawa berita baik atau buruk?" tanya Arumi."Sudah tak usah banyak bicara, cepat angkat!" perintah Aruna yang sangat penasaran. Baru saja Arumi mengangkatnya, tampak ekspresi wajahnya sangat terkejut."Halo Pak Hendra! Apa?" pekik Arumi sambil menutup telponnya."Ada apa, Arumi?" tanya Aruna panik. Dia takut firasat buruknya menjadi kenyataan."Ayo kita segera menemui Om Hendra! Ada yang tidak beres!" ajak Arumi menggeret lengan tangan ArunaAruna pun hanya bisa mengikuti Arumi dengan patuh. Tak lupa Aruna menyahut kopi Arumi yang masih utuh. Mereka pun berjalan ke lantai dua tempat Pak Hendra. 'Tok' 'Tok' Arumi mengetuk pintu ruangan Om nya itu."Masuk!" perintah suara lelaki dari dalam."Om!"
KEPUTUSAN ARUNA"Ibu, ayok kita temui Eyang," pinta Bima."Ayo Aruna kita harus segera menemui Juragan Waluyo, Ayahmu. Kita harus meyakinkannya bahwa kita bisa bersama dan semua akan baik-baik saja," bujuk Dion.Aruna memandangi wajah Dion dan putranya bergantian. Dia menghela nafas panjang, kedua lelaki ini memiliki sifat yang sama ketika sudah menginginkan sesuatu maka mau tak mau harus terpenuhi saat itu juga. Namun Aruna memiliki pemikiran lain, dia harus mempertimbangkan semua baik buruknya sebelum mengambil keputusan itu."Pak Dion, maaf. Bima maafkan Ibu ya, jika keputusan Ibu kali akan mengecewakanmu. Bima, tidak semua keinginanmu harus dipenuhi kan? Ada beberapa hal yang kau tidak bisa memaksakan kehendakm karena ada kehendak lain yang Ibu inginkan," kata Aruna."Kau tak boleh egois menginginkan semuanya harus sesuai dengan maumu," sambungnya.Dion pun langsung menoleh menatap ke arah Aruna. Dia menggeleng tak percaya jika Aruna akan menolak ajakannya. Dion menatap Aruna de
MEYAKINKAN ARUNA MEMBUKA LEMBARAN BARU "Aku tak ingin kau kenapa-kenapa, kemarin badanmu sangat demam sekali," kata Dion. "Tenanglah Pak Dion, aku Lebih tahu bagaimana dengan badanku. Apalagi semenjak aku menjadi seorang ibu maka aku harus bisa menghindari semuanya serta harus mengerjakan semua hal secara sendiri dalam kondisi apapun. Hebat bukan? Dan lagi, aku tak terbiasa tidur terlalu lama," kata Elena. "Apakah yakin sudah benar-benar baik?" tanya Dion mencoba memastikan karena khawatir bibir Aruna masih sangat pucat pasi. "Tentu," sahut Aruna. "Aruna aku ingin bicara serius dengaanmu," ucap Dion lagi. "Apakah benar kau dari rumah bapakku, PakDion?" tanya Aruna. Dion pun menganggukkan kepalanya. "Ya aku dari sana," jawab Dion memangku Bima dan duduk di lantai menghadap ke arah Aruna. Aruna tersenyum kecut, dia benar-benar tak mengira jika Dion akan berbuat senekat ini. Bukan tak senang dirinya diperjuangkan hanya saja dia takut Dion menghadapi kerasnya sifar Juragan Waluyo
NEGOSIASI DENGAN BIMA!Dia ingin segera memberikan kabar gembira itu pada Aruna dan tak mau menunda lagi. Takut jika kedua orang tua Aruna berubah pemikiran. Dia harus sesegera mungkin mengajak Aruna ke sana lagi.Dion pun segera melajukan mobilnya menuju ke apartemen milik Aruna. Dia segera menuju ke kamar milik Aruna yang memang sedang tertidur karena badannya belum sembuh benar. Untung saja Aruna sudah memberikan kode akses masuk ke dalam rumahnya. 'Ting' pintu pun terbuka, dia melihat sekelilingnya mencari anaknya."Bima! Bima!" teriak Dion memanggil Sang putra."Ya Ayah Baik," sahut Bima dari dalam kamarnya. Dion pun segera masuk ke dalam kamar. Da melihat putranya sedang asyik bermain Lego sendiri.Dia tak melihat Aruna di sana."Dimana ibumu, Sayang?" tanya Dion. Bima menole dan tersenyum ke arah Ayah Baiknya."Em, Ibu ya? Dia sedang tidur Ayah Baik. Katanya badannya masih tidak enak, tapi aku sudah menjaganya dengan baik. Aku sudah memastikan ibu untuk meminum obatnya sama
MERESTUI DENGAN SYARAT?"Semua saya lakukan demi Aruna dan demi Bima semuanya. Seperti yang Bapak tahu sendiri, sampai saat ini pun Aruna juga belum memiliki sosok lelaki lain. Apakah Bapak berpikir jika Aruna tidak lak? Tentu dengan tegas dan jawabannya bisa kita ketahui semua tidak itu alasannya. Aruna sangat cantik dengan segala potensi yang dia miliki. Bukankah masih menjadi tanda tanya mengapa dia tak pernah menikah atau menjalankan hubungan baru dengan lelaki lain kan, Pak? Mengapa Aruna melakukan ini semua dan sebagai seorang laki-laki tentu Bapak tahu apa jawabannya kan?" jelas Dion.Juragan Waluyo terdiam mendnegar semua penjelasan Dion panjang lebar itu. Pun dengan Nyi Waluyo, ya mereka semua tidak bisa memunafikkan semua yang dikatakan oleh Dion benar. Selama ini Aruna bukannya tak laku tetapi dia memang menutup diri dan dia tahu alasan anaknya itu apa, yaitu Aruna susah sekali jatuh cinta dan mungkin cintanya telah habis bersama Dion. Apalagi sekarang dia memili
PERJUANGAN DION DI MULAI! PART 1 "Sudahlah Pak apalagi yang mau ditutupi? Toh ini kenyataan semalam aku yakin juga Aruna juga sakit. Tapi pertanyaannya apakah ada yang merawat atau tidak. Apakah kau merawatnya, Nak?" tanya Nyi Waluyo. Dion menganggukkan kepalanya. "Ya, Bu. Saya merawatnya dengan baik dan memang benar semalam Aruna sakit. Tenang saja, saya sudah memberinya pereda panas dan membuat bubur," jelas Dion. "Syukurlah kalau kau memang memiliki sedikit perhatian kepada Aruna. Sebenarnya bapaknya dari semalam juga sangat khawatir padanya, namun kau paham kan kadang seorang lelaki tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya. Tapi dia tak mau menunjukkan kekhawatirannya itu pada Aruna," ucap Nyi Waluyo. "Kau tahu sendirilah kadang lelaki itu memang memiliki titik egois dan rasa cemburu kepada anak perempuannya yang sedikit berlebihan" ujarnya. Baru setelah mendengar pernyataan dari Nyi Waluyo itu sekarang dia mengerti ke mana arah
MEMBUKA TABIR MASA LALU DI HADAPAN ORANG TUA ARUNA"Berani juga kau ke sini!" kata juragan Waluyo dari arah samping. Dion pun menoleh, dia melihat juragan Waluyo datang dengan menggunakan tongkatnya dan memakai pakaian hitam-hitam nampak sangat elegan dan wibawanya sangat keluar. Beda dengan tadi malam yang mungkin karena diliputi amarah yang besar sehingga tak menampakkan wibawa juragan Waluyo. Seketika jantung Dion berdetak kers, dia segera menyalami Juragan Waluyo meskipun merasa sedikit ngeri juga dengan penampilan juragan Waluya yang terkesan seperti dukun bagi Dion. Juragan Waluyo hanya menanggapi sekilas lalu duduk."Duduklah!" perintah juragan Waluyo. Dion pun duduk di berhadapan dengan juragan Waluyo."Ti! Narti! Buatkan minuman untuk tamu, Ti!" perintah Juragan Waluyo lagi."Nggeh Juragan!" sahut suara seorang wanita dari belakang."Sialan sepertinya memang Aruna bukan berasal dari keluarga sembarangan. Ini mungkin yang disebut dengan orang kaya tetapi hidup di desa, sungg
MENDATANGI JURAGAN WALUYO!Pagi harinya Aruna terbangun saat sinar matahari datang, masuk ke kamarnya melalui kelambu. Aruna langsung mengerjapkan matanya. Dia melihat ke arah bawah, ternyata Dion sedang memegangi tangannya tidur di kursi sofa yang di dekatkan pada tubuhnya. Sedangkan Bima berada di pelukannya. Aruna pun mulai beranjak untuk membuat sarapan untuk mereka, untung saja semalam Dion dengan gesit merawatnya. Kepalanya sudah tak pusing lagi."Aruna kau sudah bangun? Masih pusing? Bagaimana keadaanmu?" tanya Aruna."Aku sudah lumayan Baik, Pak Dion. Kau tak papa tidur dibawah begitu? Apa kau tak masuk angin nanti? Kau tidur di ruangan AC tanpa selimut. Kau baik-baik saja? Aku buatkan susu jahe ya," kata Aruna mulai khawatir. "Tenanglah, Aruna. Ini semua tidak sebanding dengan apa yang kau dan Bima sudah rasakan dulu. Aku tak masalah, jadi kau jangan khawatir," jawab Dion."Terima kasih ya, Pak Dion. Terima kasih kau sudah merawatku, berkat dirimu aku merasa jauh lebih ba
Aruna Sakit!"Ibu, Ibu dan Ayah baik tak apa-apa kan? Kalian akan bersama kan?" tanya Bima."Tidur yuk!" ajak Aruna pada Bima.Dion menoleh, dia melihat Aruna memperjuangkannya seperti ini, tiba-tiba perasaan bersalah dan menyesal bergelanyut di benaknya. Dulu dia meninggalkan Aruna dan salah paham kepadanya sampai bertahun-tahun akhirnya Aruna harus menyimpan semua kesakitan ini sendiri. Kerasnya hidup mengasuh Bima, hambatan yang dilakukan dan dirasakan hanya bisa dirasakan dengan juragan Waluyo. Orang yang seharusnya tak ikut bertanggung jawab dalam masalah ini. Itulah yang membuat dia menutupi kebodohannya sendiri yang sangat egois. "Apakah Eyang tak suka dengan Ayah Baik? Apakah Eyang akan melarang Ayah Baik ke sini?" tanya Bima."Tidak kok. Eyang tak marah," kata Aruna."Lalu kenapa tadi Eyang langsung pulang dan marah?" tanya Bima."Mungkin Eyang lelah. Maaf ya jika kau harus terbangun. Sekarang tidur ya, Nak," perintah Aruna sambil menggendongnya."Ayah Baik, ayok! Temani Bi
NYI WALUYO TURUN TANGAN!"Eyang, Apakah Eyang Kakung tahu jika Bima dan Ayah baik memiliki persamaan? Kami memiliki penyakit yang istimewa dan hanya diderita oleh orang-orang tertentu saja. Bukankah selama ini Eyang dan Ibu selalu panik pada perasaan yang dirasakan Bima dan kesakitan ini? Tetapi sekarang rasanya Ibu dan Eyang tidak perlu khawatir lagi, karena ada Ayah Baik yang akan menemani Bima. Kami seringkali meminum obat bersama, karena memang kami harus minum vitamin untuk menjaga dunia. Benar kan Ayah Baik?" tanya Bima sambil mengusap air mata Dion yang juga turut jatuh.Juragan Waluyo langsung terdiam mendengar pernyataan cucunya itu. Ya dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika yang mengatakan hal seperti itu adalah Bima. Karena memang selama ini dia sangat mencintai Bima dan tidak ingin terjadi hal-hal mengerikan pada Bima."Eyang, kenapa Eyang harus marah-marah kepada Ayah Baik? Percayalah sungguh Ayah Baik ini adalah orang yang sangat baik sekali kepada Bima, juga pada Ibu