KEKALAHAN IDING!
"Selain itu, Pak Dion pasti juga tahu karakter Aruna sangat susah untuk di ajak bergaul. Apalagi dia juga punya anak kecil yang tak jelas Bpaknya, dia tidak mampu mengelola proyek ini dengan baik, Pak Dion. Dengan mempertimbangkan tanggung jawab kepada investor mka saya di utus menggantikan Ibu Aruna untuk bertanggung jawab atas tidak lanjut proyek ini," lanjutnya.Dion menatap Iding dengan tatapan tajam. Mendapat tatapan seperti itu apakah respon Iding bukannya takut atau sungkan. Dia justru makin menjadi jadi."Lalu? Apa maksudmu?" tanya Dion."Yah, karena ini adalah keputusan yang telah di sepakati oleh perusahaan. Maka saya hanya bisa patuh. Tapi, Pak Dion tenang saja, saya pasti akan lebih totalitas untuk melayani Bapak dala tander ini," jawab Iding."Bukankah Bapak berpikir lebih enak untuk berdiskusi dengan sesama pria?" tanya Iding."Benar juga! Aku berpikir akan lebih mudah untuk berkomunikasi dengan pria! Kebetulan aku akan pergi keKEJUJURAN HUBUNGAN!'ceklek' Dion masuk dalam rumah. Dia baru saja pulang. Entah apa yang di kerjakan nya hari ini sampai harus lembur. Melihat Bima dan Aruna sedang bercanda otomatis membuat Dion langsung bahagia juga. Energi positif dari keduanya membuat nya senang."Bima! Cepatlah kabur, aku tidak bisa menyelamatkanmu dari Ibumu! Dia terlalu galak," kata Dion."Kau bahagia sekali! Sepertinya suasana hatimu juga baik hari ini?" tanya Dion."Apakah kau puas dengan penyelesaian masalah itu?" tanya Dion."Sangat puas! Bagaimankah Pak Dion bisa tahu?" tanya Aruna."Coba ceritakan padaku," pinta Dion sambil membuka jasnya dan duduk di kursi makan mengamati Aruna dan Bima."Dia minta maaf secara terbuka kepadaku melalui surat permintaan maaf di group chat WA perusahaan. Dia juga mengklarifikasi gosip tentangku, suasana hatiku sekarang bahagia sekali," ucap Aruna."Rasanya seperti mendapatkan air di tengah gurun pasir! Dingin sekali," ucap Aruna."Kita
SEMUA DEMI ANAK!"Sebentar! Sebentar, jika Pak Dion mengatakan hal itu? Bukankah itu artinya Iding mengetahui hubungan kita?" tanya Aruna. Tanpa rasa bersalah, Dion menganggukkan kepalanya."Pak Dionnn! Bukan kah kita sudah melakukan ksepakatan bersama bahwa tidak ada yang boleh tahu hubungan kita sekarang ini? Kenapa kok kau malah langsung mengatakannya pada Iding? Kau tak tahu? Dia itu biang gosip di kantor!" omel Aruna."Sekarang, apa rencanamu?" tanya Aruna."Ihhh! Pak Dion, kau ini benar- benar ya," geram Aruna."Hey! Kenapa kau yang marah. Kalau kau tidak bisa mengucapkan terima kasih pada orang lain jangan memarahinya dong!" protes Dion."Tapi...""Aku sudah tegaskan lagi padamu, aku an niat awalnya hanya ingin membantumu saja, tak lebih!" ujar Dion memakan buburnya sambil memasang wajah tak berdosanya."Sebentar Pak Dion! Awalnya ini hanya gosip yang tersebar dan akan segera berlalu beberapa hari lagi, tapi justru dengan bantuanmu ini sekarang kau malah membuatnya menjadi sebu
SEPENGGAL DONGENG KANCIL MENCURI TIMUN!"Bima, bagaimana kalau Ibu membacakan dongeng untukku?" tanya Aruna."Aku mau Ayah Baik yang membacakan buku untukku," ujar Bima."Jangan membebani Ayah Baik, Bima. Itu tidak baik, Ayah Baik itu tidak punya waktu. Dia sedang sibuk," cegah Aruna."Siapa bilang aku sibuk? Aku menganggur kok! Ayo Ayah Baik sekarang akan membacakan dongeng untukmu malam ini," kata Dion."Ayo!" ajak Dion hendak berjalan. Bima yang masih di gendongan Dion pun mengambek."Tidak mau! Bima mau kalian berdua mendongeng untukku," pinta Bima lagi."Bima!" tegur Aruna.'Cup' dengan cepat Bima pun mencium pipi Aruna yang bediri di sampingnya. Aruna tersenyum mendapatkan perlakuan manis dari anaknya itu. Kemudian Bima mencium pipi Dion. Hal simpel itu juga mampu membuat Dion bahagia. Mereka bertatapan penuh senyum."Ayo!" kata Bima bersemangat.Mereka pun berjalan menuju kamar Aruna. Karena memang selama ini Aruna tidur dengan Bima. Sedangkan kamar Bima di gunakan untuk Dion.
TIDUR BERSAMA LAGI?"Aruna," panggil Dion."Apa?" jawab Aruna sambil menepuk bantal nya."Apakah kau pernah merasa penyesalan dalam hidup mu?" tanya Dion."Apa maksud Pak Dion?" sahut Aruna."Dengan adanya Bima dalam hidupmu, kau membesarkannya sendirian, melewati masa- masa sulit itu sendiri. Bahkan dia punya penyakit jantung bawaan, apa kau tidak menyesal? Harusnya kan hidupmu lebih bebas, kau bisa merintis kariermu lagi, kau juga bisa memiliki kehidupan yang lebih baik lagi. Apa Bima tak menghalangimu? Bukan kah terlalu banyak yang harus kau korbankan sebagai Ibu hanya demi Bima?" tanya Dion.Aruna tertegun mendengar pertanyaan Dion. Ini pertama kalinya semenjak mereka bertemu kembali Dion mengatakan hal seserius ini. Aruna menghela nafasnya pajang. Dia melihat ke arah lain, menatap atap di langit."Jujur saja, dalam hidup ini aku tidak pernah menyesali segala keputusan yang telah aku perbuat! Termasuk tentang kehadiran Bima di dunia ini. Karena b
SEBUAH KEJUJURAN."Mas! Aku mohon dengarkan dulu semua penjelasanku! Aku akan segera menyelesaikan masalah ini secepat mungkin," sambung Aruna.Rendi terlihat menghea nafasnya panjang. Dia memandang ke arah Aruna. Entah perasaan apa yang menyelimutinya ini. Apakah Aruna mengerti dirinya cemburu atau hanya menjaga hatinya saja.""Haruskan aku mengatakan semua nya pada Aruna sekarang?" batin Rendi dalam hati sambil menatap wajah Aruna dengan lekat."Jujur saja sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir aku juga tak bisa menebak dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi dengan masa lalumu. Aku tak pernah bertanya apa yang sebenarnya kau alami saat bekerja di Jakarta dulu sampai kau bisa kembali ke kampung dengan kehamilanmu ini. Aku hanya mengetahui satu hal bahwa kau sudah mengalami hal yang tidak baik dengan Ayah kandung Bima," jawab Rendi."Aku tak pernah menanyakan itu semua padamu, Aruna! Karena aku tak mau kau teringat kembali dengan semua masa lalumu yang ku ras
MAS RENDI!Akhirnya Aruuna pun tak memiliki pilihan lain. Mau tak mau Aruna pun membuka matanya pelan -pelan sambil berpura- pura menguap. Dia bangun sambil mengeliatkan badannya."Hoahem! Kenapa sudah pagi?" tanya Aruna sambil salah tingkah. Begitupun dengan Dion. "Ibu dan Ayah kalian sudah tidur bersama!" kata Bima."Apakah kalian tidak akan berpisah selamanya?" tanya Bima sambil memandang ke arah mereka.Dion dan Aruna pun saling berpandangan. Mereka tak tahu dan bingung akan menjelaskan apa pada putranya itu. Dion menggaruk kepanya yang tak gatal, sedangkan Aruna mengedarkan pandangannya ke ruangan. Dengan setia Bima masih menatap kedua orang tuanya itu."Ehm! Anu Bima," ujar Aruna."Biar Ayah Baik yang menjelaskan," sambungnya."Hah? Tidak! Kau saja yang menjelaskan. Kau kan Ibunya," elak Dion sambil mendelik ke arah Aruna.'Ting tong' suara bel rumah Aruna berbunyi saat Dion dengannya berdebat. Sontak hal itu membuat angin segar bagi Dion a
RENDI YANG GAMANG!"Cepatlah, Bima! Kau bisa ke sana sekarang lalu mengajak nya pulang. Bagaimana?" tanya Dion yang melihat Bima tidak bergerak dari duduknya."Tidak mau!" sahut Bima dengan cepat."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" batin Dion sambil mendengus kesal.Dion terdiam dan hanya bengong. Dia sekarang menyadari jika Bima memang anak kecil yang menyebalkan sama seperti anak- anak lainnya. Dion menatap Bima, ingin rasanya marah namun tak bisa meluapkannya."Memang watak keras kepalanya ini amt sangat mirip dengan Ibunya," gumam Dion dengan kesal memandang Bima yang masih asik dengan makanannya."Sudah tak usah tergesa- gesa. Pelan- pelan saja, kau masih punya banyak waktu! Kunyah dengan baik, sampai halus dan jangan sampai tersedak," kata Dion sambil menuangkan segelas susu lagi pada cangkir minum Bima.Dengan sabar Dion merawat Bima. Setelah makan dia mengajak Bima mandi, dan menyiapkan bajunya. Saat Bima asik memilih baju, Dion menunggu
KITA?"Aku keluar dulu ya! Ingat tak usah terbebani dengan semua pasien! Kau tak perlu memaksakan diri untuk melakukan semua itu, kau yang mengatur dirimu sendiri dan harus tersenyum saat bekerja agar pasien semangat," kata Anya."Baiklah ayo cepat pergi! Jangan ada yang bekerja lagi, ini sudah masuk jam makan siang! kita adalah dokter yang tidak boleh sakit! Kasihan pasien kita jika sakit," ujar dokter Anya yang masih melihat beberapa dokter sibuk di depan laptop masing- masing untuk membuat laporan pemeriksaan."Kalian juga butuh makan! Pergilah makan duluan," ucap Rendi.Semua teman satu ruangan Rendi keluar. Hanya menyisakan Rendi. Rendi terdiam sambil terus memijat keningnya yang sakit secara tiba- tiba mengingat semua hal yang terjadi pagi hati. Ternyata Rendi baru menyadari bahwa suasana hatinya saat ini sedang buruk karenna rasa cemburunya pada Aruna. Rasa cinta yang tak pernah di ungkapkan tapi membuatnya sakit sendiri.Tak lama seorang wanita datang men