KEKHAWATIRAN TENTANG RUMAH SAKIT JANTUNG LISENSI!"Tidak perlu begitu panik, Ayah Baik," sahut Bima memainkan puzzle barunya."Aku tidak panik, Bima. Tapi aku mengkhawatirkan ibumu. Kenapa dia belum pulang," gumam Dion. 'Ceklek' suara pintu di buka. Aruna baru pulang dan melepas sepatunya. Dia langsung melihat Dion berpura-pura memegang jantungnya dan tidur di Sofa. Hal yang membuat Aruna menggelengkan kepalanya."Bima!" panggil Aruna yang baru datang."Ibu sudah pulang! Yeayyyy!" teriak Bima langsung menghambur ke arah pelukan Aruna."Akhirnya Ibu pulang juga," kata Bima sambil memeluk Aruna."Ibu merindukanmu," jawab Aruna sambilmencium pucuk kepala Bima. "Bima! Apakah kamu menjadi anak pintar hari ini? Apakah kau merepotkan Ayah Baikmu? Apakah kamu mendesaknya minum obat? Kau tak lupa memberinya obat yang sudah Ibu siapkan kan? Kau menyuruhnya makan dengan baik?" cerca Aruna."Tentu, Bu. Aku merawat Ayah Baik dengan sangat Baik. Aku mengingatkannya minum obat, makan teratur dan
MENIKAHLAH DENGANKU ARUNA! KITA LEWATI BERSAMA!"Apa itu?" tanya Dion."Rumah sakit jantung lisensi ini," tegas Aruna."Aku takut rumah sakit jantung lisensi gagal, Pak Dion. Itu yang menjadi kekhawatiranku paling besar. Ini semua bukan tentang perusahaanku," sambungnya."Mengapa demikian? Kau ini aneh sekali, Rumah sakit jantung itu kan milikku tidak ada kaitanya denganmu. Bahkan jika memang ini menjadi akhir perusahaan milikmu, maka tak akan berefek apapun kan? Semua sudah di jual oleh Bapakmu. Kau bisa membuat perusahaan baru, kan?" tanya Dion. Aruna menggelengkan kepalanya."Pak Dion, mungkin kau tak akan pernah mengerti bagaimana perasaan seorang Ibu yang memiliki anak dengan pertumbuhan khusus dan memerlukan penanganan spesial seperti Bima, aku sudah merasakannya sendiri betapa susahnya mulai awal kelahiran sampai detik ini," ujar Aruna."Apa maksudmu, Aruna?" tanya DionAruna terdiam, dia masih ingat betul bagaimana perlakuan semua orang kepadanya dulu. Bagaimana dia harus kes
TERPERGOK JURAGAN WALUYO!"Kenapa kok begitu pesimis, Aruna? Kita belum mencobanya. Mari kita lalui bersama, Aruna. Percayalah saat aku sakit, aku menyadari banyak hal penting," terang Dion. Aruna menoleh."Apa itu?" tanya Aruna."Aku takut kehilangan dirimu dan Bima. Aku sadar selama ini uang yang aku kumpulkan tak pernah ada artinya. Aku membutuhkan kalian, keluargaku. Hanya kalian yang aku punya," jawab Dion."Pak Dion, kita tak setara. Baik secara moral dan etika kita berbeda, kesamaan dalam nilai-nilai moral dan etika dianggap penting untuk menjaga keharmonisan dalam pernikahan. Jadi, pasangan sebaiknya memiliki pandangan yang sejalan tentang etika, tata krama, dan prinsip-prinsip moral. Pasangan seharusnya memiliki latar belakang sosial dan budaya yang serupa atau dapat saling memahami dan menghormati perbedaan dalam hal ini. Bahkan menurutku secara kemampuan finansial dan ekonomi pasangan juga merupakan pertimbangan penting," sanggah Aruna."Kau jangan kolot Aruna," protes Dion
KERASNYA HATI JURAGAN WALUYO!"Ajak cucumu ini untuk tidur ke dalam. Aku tak ingin dia mendengarkan hal-hal seperti ini," perintah juragan Waluyo. Nyi Waluyo tak mampu menolak perintah sang suami."Sekarang jelaskan padaku tentang semua ini," perintah Juragan Waluyo.Aruna terdiam sesaat mencoba mencerna semua yang terjadi malam ini karena semua terjadi begitu cepat. Meyakinkan orang tua ketika saat seperti ini, memang susah-susah-gampang. Karena, belum tentu Bapak nya bisa memberikan restunya, tak jarang, orang tua memiliki persyaratan tersendiri untuk pasangan, seperti bibit, bebet, dan bobot. Lebih susah lagi kalau di sini posisinya seperti ini, di mana Dion adalah lelaki yang paling di benci Bapaknya. Dia harus bisa meyakinkan orang tua calon untuk bisa bertemu dengan Bima lagi, apalai meminangnya. Tapi, namanya juga hubungan, pasti ada tantangannya."Pak Dion, segera lah pergi!" perintah Aruna."Tidak, Aruna. Aku tidak Mau. Kita hadapi bersama. Sudah cukup sekali aku meninggalka
PENGAKUAN ARUNA"Sehingga aku tidak bisa segera pulih. Itulah yang menyebabkan aku tak segera mencari Aruna, Pak. Memang semua salahku, ini salahku, Bapak. Harusnya aku sebagai lelaki sadar diri dan peka kepada semua ini tapi ternyata aku masih sangat egois, Pak," lanjutnya."Aku masih berbaik hati padamu ya, Dion! Sekarang pergilah! Keluar dari rumahku," usir Juragan Waluyo.Aruna pun tak bisa menahan emosinya lagi. Dia menjatuhkan dirinya juga di samping Dion. Juragan Waluyo kaget dengan sikap yang ditunjukkan oleh Aruna. Dia pun langsung mundur beberapa langkah dan terduduk di sofa."Arrghhhh!" teriak juragan Waluya sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Maafkan Aruna, Pak. Kali ini Aruna mungkin akan lancang menentang Bapak dan melawan Bapak, bukan karena alasan yang khusus tapi ini adalah alasan yang klise. Bukan tentang perasaan Aruna juga, namun lebih kepada Bima dan mentalnya. Bukan tentang Pak Dion tetapi ini lebih dari itu, Pak," kata Aruna dengan ada suara bergetar menaha
NYI WALUYO TURUN TANGAN!"Eyang, Apakah Eyang Kakung tahu jika Bima dan Ayah baik memiliki persamaan? Kami memiliki penyakit yang istimewa dan hanya diderita oleh orang-orang tertentu saja. Bukankah selama ini Eyang dan Ibu selalu panik pada perasaan yang dirasakan Bima dan kesakitan ini? Tetapi sekarang rasanya Ibu dan Eyang tidak perlu khawatir lagi, karena ada Ayah Baik yang akan menemani Bima. Kami seringkali meminum obat bersama, karena memang kami harus minum vitamin untuk menjaga dunia. Benar kan Ayah Baik?" tanya Bima sambil mengusap air mata Dion yang juga turut jatuh.Juragan Waluyo langsung terdiam mendengar pernyataan cucunya itu. Ya dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika yang mengatakan hal seperti itu adalah Bima. Karena memang selama ini dia sangat mencintai Bima dan tidak ingin terjadi hal-hal mengerikan pada Bima."Eyang, kenapa Eyang harus marah-marah kepada Ayah Baik? Percayalah sungguh Ayah Baik ini adalah orang yang sangat baik sekali kepada Bima, juga pada Ibu
Aruna Sakit!"Ibu, Ibu dan Ayah baik tak apa-apa kan? Kalian akan bersama kan?" tanya Bima."Tidur yuk!" ajak Aruna pada Bima.Dion menoleh, dia melihat Aruna memperjuangkannya seperti ini, tiba-tiba perasaan bersalah dan menyesal bergelanyut di benaknya. Dulu dia meninggalkan Aruna dan salah paham kepadanya sampai bertahun-tahun akhirnya Aruna harus menyimpan semua kesakitan ini sendiri. Kerasnya hidup mengasuh Bima, hambatan yang dilakukan dan dirasakan hanya bisa dirasakan dengan juragan Waluyo. Orang yang seharusnya tak ikut bertanggung jawab dalam masalah ini. Itulah yang membuat dia menutupi kebodohannya sendiri yang sangat egois. "Apakah Eyang tak suka dengan Ayah Baik? Apakah Eyang akan melarang Ayah Baik ke sini?" tanya Bima."Tidak kok. Eyang tak marah," kata Aruna."Lalu kenapa tadi Eyang langsung pulang dan marah?" tanya Bima."Mungkin Eyang lelah. Maaf ya jika kau harus terbangun. Sekarang tidur ya, Nak," perintah Aruna sambil menggendongnya."Ayah Baik, ayok! Temani Bi
MENDATANGI JURAGAN WALUYO!Pagi harinya Aruna terbangun saat sinar matahari datang, masuk ke kamarnya melalui kelambu. Aruna langsung mengerjapkan matanya. Dia melihat ke arah bawah, ternyata Dion sedang memegangi tangannya tidur di kursi sofa yang di dekatkan pada tubuhnya. Sedangkan Bima berada di pelukannya. Aruna pun mulai beranjak untuk membuat sarapan untuk mereka, untung saja semalam Dion dengan gesit merawatnya. Kepalanya sudah tak pusing lagi."Aruna kau sudah bangun? Masih pusing? Bagaimana keadaanmu?" tanya Aruna."Aku sudah lumayan Baik, Pak Dion. Kau tak papa tidur dibawah begitu? Apa kau tak masuk angin nanti? Kau tidur di ruangan AC tanpa selimut. Kau baik-baik saja? Aku buatkan susu jahe ya," kata Aruna mulai khawatir. "Tenanglah, Aruna. Ini semua tidak sebanding dengan apa yang kau dan Bima sudah rasakan dulu. Aku tak masalah, jadi kau jangan khawatir," jawab Dion."Terima kasih ya, Pak Dion. Terima kasih kau sudah merawatku, berkat dirimu aku merasa jauh lebih ba