Mimpi terakhirku bagaikan kiamat.
Terakhir kali aku memejamkan mata adalah ketika jaring laba-laba di langit-langit pondok membuatku membayangkan apa yang akan kulakukan pada baju-baju kusut. Aku berpikir akan menyetrika. Tubuhku—aku yakin sudah bergerak, tetapi tiba-tiba aku meringkuk di tengah hujan deras, punggungku basah, dadaku sesak, dan pita suaraku menjerit penuh tuntutan paling menyakitkan.
Seseorang berdiri di sebelahku. Kami di padang rumput luas.
Dan di pangkuanku, terbaring gadis berwajah penuh nuansa gelap, dengan sesuatu yang hitam, samar—seperti bayangan hitam—menutupi wajahnya.
Air mataku juga tiba-tiba sudah mengalir deras.
Aku tidak mengerti, tetapi benakku sesak. Air mataku tak mampu berhenti. Hujan—gemuruh terdengar keras, seperti tak mengizinkan isak tangisku terdengar. Aku kacau. Entah bagaimana aku ingin memeluk gadis ini layaknya kami saling mengenal. Namun, aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu siapa gadis ini.
Sayangnya, saat tanganku yang bergetar kuat mengusap wajah gadis manis itu—saat tanganku melewati selubung hitam—darah merah langsung menguasai jemariku. Darah yang segar, dan hangat, seolah baru mengalir dari sayatan di wajahnya. Benakku terguncang. Jantungku seperti pecah. Gadis ini—hampir menghadapi garis akhirnya.
Namun, aku bisa merasakannya. Dalam batas sekarat dan kematian—dalam tubuh gadis yang hampir beku ini—kehangatannya masih memancar layaknya menyambutku yang hanya orang asing. Dia seperti merasakan kehadiranku, karena dari selubung samar itu, senyumnya terlukiskan. Gadis dengan senyum kecil yang manis, seolah bahagia dengan kondisinya yang telah sekarat. Barangkali rangkulan ini berharga untuknya. Lelaki yang kuhinggapi ini barangkali orang yang sangat penting. Dia seperti berakhir pada orang yang tepat.
Jadi, aku berusaha mengerti segalanya, menatap sekitar.
Hujan membentuk genangan air. Ketika mataku berusaha menolak, arah mataku mengenai genangan air. Cahaya angkasa yang samar, membuat wajah lelaki yang kuhinggapi dalam mimpi ini memantul, terlihat dalam benakku.
Wajahku.
Tidak. Itu wajahku. Penuh isak tangis menyesakkan.
Orang ini... adalah aku.
Aku menggeleng, entah aku yang saat ini, atau aku yang tengah kuhinggapi ini. Segalanya tiba-tiba terkesan dingin, hampa, dan membeku. Semua ingatan aneh tiba-tiba mendobrak masuk kepalaku, layaknya ingatan orang ini mulai menyerang kepalaku habis-habisan. Ingatan tentang padang rumput, suasana yang begitu damai dengan latar belakang danau biru dan senyum lebar. Jadi, aku tahu kami—aku dan gadis ini—memang saling mengenal. Kami begitu dekat, sampai aku bisa melihat di tengah kegelapan malam penuh bintang, kami berada di bawah tenda, menikmati makanan hangat yang baru matang dengan senyum manis darinya. Canda tawa di ingatan palsu ini terkesan begitu nyata, asli, dan murni, seolah kami menghabiskan begitu banyak waktu, menikmati setiap alunan malam, hanya untuk mengganti apa yang telah terbuang. Dan tiba-tiba aku melihat perang. Ya. Medan perang. Penuh darah. Ledakan di segala arah. Hutan membara. Tanah berguncang. Dan gadis ini—dengan senyum manis pilu—meski matanya masih tertutup selubung—menatapku yang tengah menjauh, membuat dirinya terlihat seperti mengorbankan diri untukku, dan menjemput cengkeraman kegelapan yang kosong.
Aku memekik lagi—sangat keras, seperti menuntut kematiannya.
Layaknya aku—dan lelaki ini—tengah menolak kenyataan yang ada.
Ketika aku membuka mata lagi, kesadaranku seperti tidak lagi melayang. Kami seperti bergabung—antara lelaki ini denganku. Aku bisa merasakan jemari gadis ini masih bertautan denganku. Namun, aku juga mengerti. Sensasi ini berusaha menipuku. Genggaman erat jemari ini palsu. Dalam bayangan samar, aku tahu dia tidak lagi menggamitku. Hanya aku yang menggamitnya. Dan sesuatu bagaikan pisau berusaha memutus kami. Ambang realitas memudar. Tiba-tiba saja aku melihat nuansa pendar putih yang pilu.
Citra pendar putih, layaknya aku sedang melihat alam bawah sadarku. Seseorang berdiri di sisiku. Dia. Gadis itu. Namun, dia terkesan begitu jauh. Kami berhadapan. Dan dia seperti tidak di sana. Aku merasa sering melihat ini. Gadis ini tampak terbiasa dengan citra pendar putih. Jadi, aku tahu kami sering berada dalam citra yang sama—barangkali dengan senyum, atau kebahagiaan yang memancar.
Namun, kini, ketika genggaman jemarinya mulai lemah, dia terlihat samar, dengan rambut yang berkibar halus bak angin di antara kami sudah bersiap mengantarnya. Benakku tak karuan, dalam alunan sesak dan nostalgia, entah bagaimana aku mulai mengulurkan tangan.
Dan dia menoleh. Pendar hitam itu tetap di wajahnya. Namun, bibirnya bisa terlihat. Pipinya mungil. Lagi-lagi dan lagi—senyumnya terlukiskan.
Aku berusaha bicara, tetapi suaraku tidak terdengar. Gesturnya seperti akan beranjak, tetapi dia terus menatapku. Sepertinya dia cemas. Dan itu untukku. Aku tidak mengenalnya—aku tidak benar-benar mengenalnya—tetapi aku tahu dia tidak mau aku dalam posisi ini, menatapnya pergi, meratap, menolak masa depan yang mungkin akan datang tanpa dirinya. Itu membuatku sengsara.
Dia seperti terbiasa dengan sikapku—seolah benar-benar tahu seperti apa diriku.
Tiba-tiba aura di sekitarnya berubah. Pendar putih di sekelilingnya terasa hangat, dan itu terasa sampai ke benakku. Barangkali dia tidak bicara—tentu saja dia tidak akan bicara—tetapi dia menunjukkannya dengan cara lain. Bahkan tanpa mengucap sepatah kata, layaknya kami telah saling mengenal sampai hanya dengan aura saja, dia bicara dengan nada yang membuatku nyaman.
“Aku bersamamu.”
Tentu saja aku tersenyum. Untuknya. Senyum palsu terhebat dariku.
Jadi, aku mencoba mengerti. Iya. Segalanya akan baik-baik saja, aku ingin bisa mengucapkan itu. Namun, segaris air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Dia tidak akan mengucapkan salam perpisahan. Karena itu, alih-alih mengucap selamat tinggal atau sejenisnya, dia melambaikan tangan. Aku tidak mau dan tidak pernah mau melihat itu. Tangannya bak menggumamkan pemberkatan penuh perpisahan untukku yang asing.
Maka dia berjalan. Awalnya melangkah mundur. Perlahan. Dan begitu dia menemukan momen ketika benakku retak, dia berbalik. Dia memunggungiku, dan punggung kecil yang mulai terbebas itu terlihat istimewa. Kakiku mengeras. Dan begitu kusadari, dinding tidak kasat mata di antara kami mulai mewujud. Aku tahu bukan waktunya berbohong. Aku tidak mau menyesal. Karena itu, suaraku berteriak, seolah dalam kenyataan kami yang tak saling mengenal, aku memintanya kembali. Suaraku menuntut, dan dalam alunan menyakitkan, air mataku terasa kian sesak.
“JANGAN PERGI!”
Aku ingin dia mengerti bahwa di balik teriakan ini, aku ingin dia di sisiku, bukan untuk menjaga tiap kegilaan yang kulakukan, tetapi sebagai orang yang ada untukku. Barangkali aku tidak tahu siapa dia, tetapi kami bisa mencari tahu. Kalau dia di sisiku, kami bisa memulainya dari awal. Dan aku mungkin suka melakukan hal sinting—barangkali itu tidak pernah bisa membuatnya tenang, tetapi semua hal ini tidak lagi bisa kupikirkan. Ketika dia lenyap dalam kegelapan pekat, benakku tiba di ambang kesengsaraan.
Begitu kusadari, dia telah pergi. Sosoknya lenyap ditelan kehampaan.
Kakiku ambruk. Rasa sakitku menjadi-jadi.
Aku mengerjapkan mata. Kilasan itu hilang. Seseorang menepuk bahuku. Seseorang dengan topi putih. Pria dengan kharisma luar biasa.
“Adikmu,” ucapnya. “Sudah waktunya istirahat.”
“…adik?”
“Perang di depan mata, Bocah Alam. Tegakkan kakimu.”
“Perang?”
Langit menggelegar. Kilat berderak. Begitu aku mengangkat wajah, ratusan burung sudah di atasku. Burung hitam. Seperti mengarah dan menukik.
Burung…
…atau anak panah.
Aku tidak mengerti. Medan perang? Adik? Siapa? Aku tidak punya siapa pun selain Aza dan Nenek. Aku tak pernah ada di tanah lapang penuh darah.
Di tengah selang waktu antara anak panah dan kematian itu, aku kehilangan diriku. Rasanya seperti jiwaku ditarik tinggi ke angkasa, meninggalkan raga yang kosong bersama pendar hitam yang dia sebut adikku. Tanah lapang, dalam kejauhan aku bisa melihat danau yang ditutupi hutan pinus, ladang buah-buahan—sepertinya aku pernah memetik buah di sana—lalu mercusuar tinggi dan pondok yang tersebar. Itu seperti kumpulan pondok simetris. Saling mengelilingi titik kecil. Itu area yang paling lama kulihat, seolah sebagian diriku tertinggal di sana.
Namun, kilasan itu tidak ada artinya. Ketika kesadaranku kembali, aku tetap di atas tanah. Terdiam. Seolah menanti kematian pada titik kecil di atas langit. Titik yang siap memotong garis hidupku.
Dan pada saat itulah—ketika anak panah tepat berada di depan mataku, satu suara lembut memenuhi kepalaku. Suara ceria. Yang entah bagaimana membuatku kembali meneteskan air mata.
[“Jangan curang. Diam di situ. Dengarkan aku bicara.”]
Jantungku berdegup kencang. Kilasan itu terdengar begitu nyata. Layaknya dalam dekapan seseorang—dengan mata saling bertautan satu sama lain.
[“Aku mencintaimu. Kau tidak mau balas memelukku?”]
Dan aku tersentak bangun.
Aku ingin bercerita apa yang terjadi padaku. Orang paling fenomenal dalam hidupku perlu diberitahukan: Aza.Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk, yang belakangan juga semakin aneh. Namun, satu mimpi yang terus berulang tanpa henti, adalah pertemuan antara bocah berusia delapan tahun yang penuh bekas luka, dengan gadis berusia sebelas atau dua belas tahun yang punya pedang di pinggangnya. Aku tidak ingat tepatnya pertemuan itu, tetapi momen itu selalu kembali seolah aku tidak diizinkan lupa.Biasanya dimulai di gang kecil, dan aku berada dalam sudut pandang kucing liar—duduk di atas atap rumah rendah, menatap seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sudah menemukan garis perpotongan waktunya. Gang itu berada di kota yang penuh remang-remang lampu, dan tidak pernah terlihat ada matahari. Hanya kota yang hampa, penuh kebisingan memuakkan, layaknya terpendam jauh di kedalaman. Jadi, aku—yang ada dalam tubuh
“Aku tidak tahu siapa kau,” kataku. “Aku tidak tahu namaku. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Siapa aku?” Tiba-tiba aku menangis. “Aku takut.”Ketika ingatanku hilang, sebenarnya Aza punya kesempatan memanfaatkan bocah kecil dengan kebohongan manis, tetapi dia punya hati mulia yang jauh lebih bersih dari bebatuan sungai. Jadi, saat aku melupakan semua, bahkan namaku, dia memberitahuku secara cuma-cuma seolah tahu segala tentangku. Aku yakin kami pernah bertemu, tetapi Aza terus membantah, “Aku malaikat yang diciptakan untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”Aku tidak mau menanggapi leluconnya, dan karena Aza tidak terlihat ingin menjelaskan itu, kuputuskan untuk bungkam.Jadi, kami tinggal di pondok kaki gunung—pondok yang tidak bisa disebut pondok karena pondok itu kelewat mewah untuk disebut pondok. Itu tempat yang punya tembok berwarna putih bersih, dengan perabotan bagian dalam yang penuh nuansa modern&md
Tiga tahun kemudian, Aza menyusul kepergian Nenek.Sekitar tiga sampai empat bulan setelah kematian Nenek, tiba-tiba kondisi Aza menurun. Dia tidak terlihat punya penyakit, dan—dia dokter paling hebat yang pernah kutahu. Namun, dia tidak berdaya menghadapi serangan penyakit itu. Sejauh yang kuingat, tidak pernah ada yang sakit di antara kami sebelum hari ketika Nenek kehilangan gerak motorik. Aza yang punya pengetahuan ramuan dan obat-obatan—yang aku tahu Nenek juga mahir karena dia yang mengajarinya—entah bagaimana tidak berdaya menghadapi masa-masa itu.Dan kurasa itu yang terjadi pada Aza empat bulan setelah kepergian Nenek.Sepeninggal Nenek, kami sering berburu hewan liar—maksudku, ya, kami memang punya banyak hewan ternak, tetapi Aza bilang, “Kita harus melihat semua yang bisa kau lakukan di alam liar,” seolah-olah dalam suatu masa setelah tidak ada Nenek, dia tahu waktunya juga akan tiba. Jadi, dia berusaha membuatku
Sapi terakhir yang kami miliki adalah sapi potong. Satu-satunya sapi terakhir yang ada setelah Aza pergi. Tidak ada lagi hewan ternak, hanya aku, pondok hening, dan sapi yang tidak lagi bernafsu mengeluarkan suara. Dia selalu yang paling keras berontak saat akan disembelih, jadi dia menjadi satu-satunya yang bertahan. Dan dia hanya duduk—atau tidur—di tengah terpaan mentari. Sepertinya sejak waktu yang tidak kusadari, semangatnya telah hilang. “Aku bisa menyembelihmu, tapi aku tidak mau ditendang,” kataku. Saat itu pagi yang cerah, dan aku berdiri di depan kandangnya, mengamati sapi yang tidak bergerak, hanya melihatku dengan lirikan yang sungguhan mirip dengan apa yang kulihat saat bercermin. Jadi, aku menghela napas. “Aku mau turun gunung. Kalau tidak disembelih, kau bisa mati kesepian.” Dia membalasku dengan dengusan. “Oke. Nanti sore kau kusembelih.” Betul. Aza yang mengajariku menyembelih. Dia selalu bilang, “Kalau tidak disembeli
Tiba-tiba saja aku berada di kerumunan yang bersorak.Kerumunan yang sangat padat. Manusia berkumpul di sekelilingku. Depan, belakang, samping—semua orang bersorak menghadap ke arah yang sama. Suasana terasa meriah. Lampu-lampu bersinar berwarna-warni dari arah depan. Merah, biru, hijau, dan berbagai warna lain yang sering kulihat di pelangi. Semua orang tertawa, bernyanyi dengan penuh semangat. Dan mereka—orang-orang berpenampilan aneh layaknya kekurangan bahan bernyanyi sangat merdu di panggung.Aku tidak pernah melihat kerumunan orang sebanyak ini.Seseorang di sampingku melompat kegirangan dengan tawa bahagia. Suara terdengar begitu berisik, tetapi melantunkan irama yang membuat hatiku bergetar. Aku tidak bisa melihat jelas. Tinggiku tidak sampai, tetapi suara keras yang jelas terdengar membuatku bisa mengerti seberapa hebatnya penyanyi.Cahaya warna-warni itu terus berkedip, mengelilingi kejauhan.Semua orang bersorak, tetapi tidak
Mataku terbuka beriringan dengan derak kilat yang memancar.Dan berturut-turut semua mulai kurasakan: telingaku mendengar gemuruh di kejauhan, mataku menemukan lilin di sudut. Dan aku kembali. Di dalam pondok. Di luar hujan, bahkan seperti badai. Punggungku berkeringat—wajah atau mungkin sekujur tubuh. Aku berusaha mengembalikan semua. Kesadaran, pernapasan, dan fokus mataku. Setelah semua kembali terasa, aku terlonjak begitu saja.Mimpi.Dan pondok diguncang badai.Suara kilat saling sahut menyahut. Atap seperti berguncang akan terbang. Angin membuat jendela berderak. Semestinya aku ngeri. Namun, mataku menatap kosong. Semua seperti tidak lagi nyata. Tidak ada yang bisa kurasakan.Aku turun dari ranjang, melihat buku catatan bersampul hitam.Itu buku harian tua yang kutemukan di kamar Aza. Kupikir itu buku harian Aza atau catatan yang dia tulis selama tinggal denganku, tetapi ketika aku membuka sampul yang sudah kelewat tua seolah ter
Ini pertama kali aku berlari ke barat menuruni gunung.Aku berlari di depan tekadku untuk berduka. Kurasa inilah yang dimaksud Aza dengan latihan. Itu membuatku berhasil menang melawan beruang. Dan satu rangkaian pelatihan gila dari puncak bukit sampai pondok dua kali sehari juga agak berhasil membuat napasku panjang. Fisikku kuat. Aku bisa berlari jauh.Penampilan hutan ini mirip hutan hujan tropis yang kulihat di buku. Rawa di mana pun setiap kaki melangkah. Kabut tipis menutupi pandangan, yang terlihat bertambah parah karena ribuan rintik hujan mendistorsi pandangan. Air hujan mulai merembes masuk ke pakaianku—efek dari pertarungan dan jas hujan yang memang tidak terlalu membantu. Hawa dingin mulai terasa, entah itu karena hujan atau bulu kudukku yang terus aktif. Kurasa hanya saat inilah aku bisa membanggakan semua yang kusebut sebagai kemampuan khusus. Aku bisa memahami struktur tanah mana yang tepat untuk diinjak, batu-batuan yang tidak akan hancur saat kul
Aku hampir kewalahan ketika Dalton bertanya bagaimana aku hidup.Maksudku, aku tidak bisa bilang kalau sudah tinggal di pondok hebat, yang punya segala perabotan indah—yang secara teknis pasti merupakan hal paling aneh. Dia bercerita seolah sudah diserang monster berhari-hari sejak dia keluar. Jadi, saat aku bilang, “Kurasa aku jarang bertemu monster seperti itu.”Dia terkejut setengah mati. “Jarang? Mustahil. Pemilik kemampuan pasti diserang monster mitologi. Mereka benci kita.”“Benci?”“Kita pengganggu alam liar. Itu yang kutahu.”Aku selalu gagal mengerti tentang alam liar seolah pemandangan hutan ini punya nyawa tersendiri. Dia bisa menolak kehadiran seseorang, membenci, bahkan yang paling ekstrem, alam liar punya kemampuan membunuhku. Rasanya seperti tinggal dalam perut monster yang siap mencernamu.Jadi, untuk mengamankan posisi, kubilang, “Aku pernah bertemu makhluk sejenis.
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan