Share

2. AZA #2

last update Last Updated: 2021-08-04 16:38:27

“Aku tidak tahu siapa kau,” kataku. “Aku tidak tahu namaku. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Siapa aku?” Tiba-tiba aku menangis. “Aku takut.”

Ketika ingatanku hilang, sebenarnya Aza punya kesempatan memanfaatkan bocah kecil dengan kebohongan manis, tetapi dia punya hati mulia yang jauh lebih bersih dari bebatuan sungai. Jadi, saat aku melupakan semua, bahkan namaku, dia memberitahuku secara cuma-cuma seolah tahu segala tentangku. Aku yakin kami pernah bertemu, tetapi Aza terus membantah, “Aku malaikat yang diciptakan untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”

Aku tidak mau menanggapi leluconnya, dan karena Aza tidak terlihat ingin menjelaskan itu, kuputuskan untuk bungkam.

Jadi, kami tinggal di pondok kaki gunung—pondok yang tidak bisa disebut pondok karena pondok itu kelewat mewah untuk disebut pondok. Itu tempat yang punya tembok berwarna putih bersih, dengan perabotan bagian dalam yang penuh nuansa modern—berbanding terbalik dengan semua yang berada di sekitar gunung. Punya tiga kamar, cukup untukku, Aza, dan Nenek. Dan, ya, pondok hebat ini milik Nenek berhati lembut yang tidak pernah marah bahkan ketika bocah kecil nakal menghancurkan satu set piring kesayangannya karena menendang bola terlalu keras di dalam pondok—sebenarnya itu salah Aza karena tidak menangkap, tetapi secara teknis, aku yang menendang, jadi itu salahku. Intinya, kami hidup bertiga, dengan segala kebutuhan yang selalu ada.

Ya, kebutuhan yang selalu ada, tersedia kapan pun yang kami butuhkan.

Maksudku, bagian belakang pondok itu pekarangan yang kelewat luas, dan ada puluhan sapi perah sekaligus kambing siap sembelih yang bisa menjadi bahan makan kami sehari-hari. Nenek bilang, “Dulu Nenek itu peternak.” Jadi, aku belajar banyak hal dari Nenek yang tampaknya menjadi pengetahuan umum di kehidupan. Aza sampai bilang, “Sekarang adikku lebih jenius dari siapa pun. Kecuali aku.”

“Tapi aku hilang ingatan,” kataku.

“Tapi kau jenius. Kenapa, sih, kau selalu bilang ingatanmu hilang?”

Pondok juga punya berbagai macam buku yang terlalu lengkap. Setidaknya, ada banyak jenis buku dari hal remeh seperti ragam binatang, sampai hal kelewat rumit, seperti hukum fisika atau topik yang mengupas habis teori relativitas. Buku-buku itu—lagi-lagi—milik Nenek, dan, secara teknis, juga Aza. Kupikir jarak usia antara aku dengan Aza sekitar satu atau dua tahun, tetapi ketika aku merasakannya lagi, ada jurang yang sangat jauh di antara kami, seolah dengan usia yang seperti ini, dia jauh dan jauh lebih dewasa dari yang kupikirkan.

Aza juga mengajariku berpedang, berenang, memanah,—banyak hal.

Atas saran Nenek juga, ketika kondisiku lumayan stabil untuk melakukan hal berat—setidaknya, tubuhku sudah cukup bugar sampai bisa berlatih fisik—Aza memintaku berlari naik turun gunung setiap matahari terbit dan terbenam.

Aku sempat protes, “Aku takut! Ada singa!”

Aza mendesis. “Mana ada singa di sini. Aku mengawasimu, ayo pergi!”

Sebaik-baiknya Aza, dia mengerikan kalau marah. Jadi, karena dia bilang itu demi kebaikanku dan Nenek bilang itu juga akan berguna, aku menurutinya.

Namun, tiga hari pergi, aku sudah mengeluh ke Nenek.

Nenek bilang, “Forlan, sejujurnya Aza jauh lebih mengerti tentang Forlan lebih dari Nenek. Dia tahu apa yang dibutuhkan ke depan. Dengan melakukan ini, dia pasti tahu itu yang terbaik. Jadi, tidak apa mengeluh, tapi pastikan semua tetap berjalan, oke? Nenek pasti mendukung Forlan.”

Nenek punya aura kasih sayang yang memancar kuat—jauh lebih kuat dari Aza—tetapi begitulah. Aza juga menyayangiku. Aku tahu itu.

Maka setelah setahun bersama, ketika aku melupakan segala hal termasuk tanggal lahirku sendiri, Aza memutuskan hari pertemuanku dengannya menjadi hari ulang tahunku. Dan di perayaan ulang tahunku kesepuluh, Aza memberiku hadiah setumpuk ikan bakar bersama fakta: “Kita sebenarnya bukan manusia biasa.”

Saat itu kami ada di depan api unggun, di depan pondok, tepat di kegelapan malam, dikelilingi pohon pinus, dan aku berhenti mengunyah. “Apa?”

“Kita bukan manusia biasa,” ulangnya. “Kita diberkahi kemampuan khusus. Aku, dan kau. Ini contohnya.” Dia mengangkat telunjuk, dan sulur tumbuhan tiba-tiba meluncur dari bawah, membentuk satu helai rumput yang memanjang. “Kita di sini berlindung. Di luar ada perang. Makanya kau tidak boleh turun gunung.”

Aku kehilangan kata-kata.

“Bukan maksudku mengejutkanmu,” katanya, “tapi kau sering tidur sambil menerbangkan sesuatu, ya, kan, Nek?”

Nenek tertawa ketika mengangkat tiga tusuk dari api unggun. “Kemampuan kalian persis sama. Nenek tahu Forlan sekuat Aza.”

“Tapi,” protesku, “bukannya semua orang bisa?”

“Tidak, Forlan,” kata Nenek. “Manusia biasa tidak diberkati seperti pemilik kemampuan khusus. Nenek tidak seperti Forlan. Nenek tidak bisa membuat angin dengan menjentikkan jari.” Nenek menjentikkan jari. “Lihat? Ini bukti Nenek hanya manusia biasa. Forlan dan Aza orang-orang terpilih.”

Sejujurnya aku memerhatikan Nenek dengan serius, tetapi aku tidak mampu mengerti. “Jadi, kita harusnya bertarung?”

“Lari juga bentuk perlawanan,” kata Aza. “Kita bersembunyi.”

“Bersembunyi?”

“Pokoknya, pondok ini batas terakhir kau boleh turun gunung. Kalau mau turun, kau harus bilang padaku. Atau kau mati dalam dua detik.”

Aku tidak mengerti, tetapi rasanya aku sudah melupakan hal yang kelewat penting. “Oke. Terserah, deh, aku mau makan ikan.”

Setidaknya, kami menjalani kehidupan damai, menikmati waktu, dan Aza tetap melatihku habis-habisan. Dia punya kemampuan bertahan di alam liar lebih hebat dari siapa pun—iya, aku memang cuma membandingkannya dengan Nenek, tetapi Aza memang seperti yang paling kuat di muka bumi. Dia jauh lebih kejam dari siapa pun ketika latihan, tetapi juga jauh lebih menyebalkan dari apa pun ketika jail. Nenek bahkan tak lepas jadi korbannya. Jadi, kami sering menghabiskan waktu dengan memancing, beternak sapi, kambing, atau ayam sampai kerbau, dan kami sering menghabiskan malam dengan membakar ikan di depan api unggun, mengisi waktu sambil bercanda, sampai melakukan hal paling idiot: membersihkan wilayah gunung sekitar pondok—menurut mereka itu wajib dilakukan sebulan sekali.

Semua menyenangkan sampai usiaku menginjak lima belas tahun.

Saat itu kondisi Nenek sudah buruk, sering muntah, bahkan tiba-tiba Nenek sudah tidak bisa bangkit—hanya bisa berbaring di ranjang.

Jadi, ketika aku mau mengantarkan makanan ke ruangan Nenek, secara tak sengaja aku mendengar suara Aza.

“...aku mau menahannya selama mungkin.”

Aku berhenti di ambang pintu, membeku begitu saja. Pintu terbuka sedikit, tetapi suasana di dalam terasa sampai luar. Rasanya begitu membeku seolah sudah berada dalam alam berbeda.

“Kau tahu itu tidak baik untuknya,” kata suara serak Nenek. “Aza. Ini sudah di luar rencana. Kau tidak bisa terus terlena.”

“Aku tidak terlena! Dia... dia begitu berharga untukku.”

“Tidak ada waktu lagi. Keputusan ini menunggu kesiapanmu.”

Mereka terdiam. Jeda ini cukup lama. Hanya dalam sekejap, suasana terasa berat—bahkan seperti tidak ada pembicaraan lagi.

“Tidak apa, Nek. Aku bisa menjaganya sendiri.”

“Sampai kapan?”

“Biar kuusahakan secepat mungkin.”

“Kau selalu mengatakan itu sejak dua tahun lalu. Aku tidak pernah mencoba memaksamu, tapi kau yang paling tahu betapa aku mencemaskan ini, kan?”

“Dia....” Suara Aza semakin pelan. “Aku tidak mau kehilangan adikku.”

“Dan dia cucuku. Begitu juga denganmu. Kita sudah membicarakan semua ini bertahun-tahun lalu. Aza—” Nenek terbatuk. “Batas waktunya sudah habis.”

“Aku masih punya cukup waktu,” Aza masih protes.

“Untuk meninggalkan lebih banyak memori untuknya? Dengar, Nak. Hanya memori itu yang membuatnya bisa berkembang—betul, tapi memori indah itu juga yang akan membuatnya tertahan. Wilayah ini mungkin tidak tersentuh, tapi sudah bertahun-tahun lamanya kita menentang hukum alam. Kalau dibiarkan terlalu lama, dia yang tidak bisa keluar. Ini demi kebaikannya juga.”

“Dia butuh perlindungan.”

“Perlindungan yang terlalu lama hanya mengekangnya.”

“Nek,” potong Aza tajam, “jangan meninggalkanku.”

Dan suara Nenek terhenti. Aku juga semakin mengeras, layaknya tubuhku ditanam ke titik tempatku berdiri. Itu pertama kali aku mendengarnya. Ketika kami bersama, itu pertama kalinya aku mendengar suara Aza begitu lemah.

“Semua pasti berlalu sangat berat untukmu, Nak. Kau mungkin tidak sadar, tapi aku selalu memerhatikanmu. Kurasa kau jauh lebih mengerti kalau tidak baik memperlihatkan sisi ini. Tidak apa. Tidak ada yang bisa melakukan hal semulia ini selain dirimu. Jadi, Aza, saat ini kau hanya harus percaya pada Forlan. Dia... Forlan sudah lebih kuat dari sebelumnya. Dia juga melindungimu.”

Suara yang berhasil menggerakkanku kembali, adalah suara isak yang kian sesak. Kupikir, akan sangat brengsek kalau aku tetap di tempat, jadi dalam momen itu, aku berhasil melangkah menjauh dari ruangan Nenek.

Dua hari setelahnya, Nenek mengembuskan napas terakhirnya.

Dan ketika aku bersama Aza, kurasakan dia tidak begitu berbeda. Hanya menatap gundukan tanah, tanpa isak tangis—hanya menunduk seperti memberikan pemberkatan terakhir. Aku tidak mengerti konsep hidup setelah kematian, tetapi ketika aku memikirkan Aza, kurasakan dia hanya tidak ingin Nenek pergi. Aku bisa saja memikirkan semua yang kucuri dengar, tetapi dalam benak kecilku, aku sadar bahwa mungkin Nenek tahu posisiku di balik pintu. Barangkali Nenek hanya ingin memberitahu bahwa apa yang ditunjukkan Aza di depanku, semata-mata untukku, sampai Aza tidak bisa memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan. Tentu saja itu muncul di benakku. Satu konsep yang tertulis dalam buku, tentang kebahagiaan yang hangat: keluarga. Barangkali setelah bertahun-tahun kami bersama, aku juga bisa merasakannya, betapa Nenek telah menjadi keluarga dalam hidupku.

Dan Aza, hanya tidak ingin kehilangan keluarganya.

Jadi, ketika menatap gundukan tanah yang telah mengubur Nenek di bawah sana, kugumamkan tekad tentang menjadi kuat—bahwa ketika Aza bersamaku, dia bisa benar-benar tersenyum dari lubuk hatinya.

“Aza,” kataku. “Aku takkan pergi, kok.”

“Oh,” katanya. “Memangnya mau pergi ke mana?”

“Aku adikmu.”

Ada jeda sebelum Aza berbalik dengan senyum tipis di bibirnya. “Jadi, kau mengakuiku sebagai kakakmu?”

Aza menjadi satu-satunya keluargaku sampai kami menghabiskan waktu di sekitar pondok, dan tidak pernah sekali pun aku curiga pada semua yang kudengar dari pembicaraan Nenek dan Aza. Persetan dengan ingatan masa laluku, keluargaku yang sudah kulupakan—atau apa pun. Aku hidup untuk Aza.

Sejak kematian Nenek itu, mimpi pertemuan pertamaku dengan Aza mulai membuncah menguasai setiap malam yang kulalui dengan ketenangan.

Hingga tiga tahun kemudian, aku bermimpi tentang gadis manis—adikku.

Dan pembicaraan mereka mulai menggema dalam benakku.

Related chapters

  • Selubung Memori   3. BATAS WAKTU #1

    Tiga tahun kemudian, Aza menyusul kepergian Nenek.Sekitar tiga sampai empat bulan setelah kematian Nenek, tiba-tiba kondisi Aza menurun. Dia tidak terlihat punya penyakit, dan—dia dokter paling hebat yang pernah kutahu. Namun, dia tidak berdaya menghadapi serangan penyakit itu. Sejauh yang kuingat, tidak pernah ada yang sakit di antara kami sebelum hari ketika Nenek kehilangan gerak motorik. Aza yang punya pengetahuan ramuan dan obat-obatan—yang aku tahu Nenek juga mahir karena dia yang mengajarinya—entah bagaimana tidak berdaya menghadapi masa-masa itu.Dan kurasa itu yang terjadi pada Aza empat bulan setelah kepergian Nenek.Sepeninggal Nenek, kami sering berburu hewan liar—maksudku, ya, kami memang punya banyak hewan ternak, tetapi Aza bilang, “Kita harus melihat semua yang bisa kau lakukan di alam liar,” seolah-olah dalam suatu masa setelah tidak ada Nenek, dia tahu waktunya juga akan tiba. Jadi, dia berusaha membuatku

    Last Updated : 2021-08-04
  • Selubung Memori   4. BATAS WAKTU #2

    Sapi terakhir yang kami miliki adalah sapi potong. Satu-satunya sapi terakhir yang ada setelah Aza pergi. Tidak ada lagi hewan ternak, hanya aku, pondok hening, dan sapi yang tidak lagi bernafsu mengeluarkan suara. Dia selalu yang paling keras berontak saat akan disembelih, jadi dia menjadi satu-satunya yang bertahan. Dan dia hanya duduk—atau tidur—di tengah terpaan mentari. Sepertinya sejak waktu yang tidak kusadari, semangatnya telah hilang. “Aku bisa menyembelihmu, tapi aku tidak mau ditendang,” kataku. Saat itu pagi yang cerah, dan aku berdiri di depan kandangnya, mengamati sapi yang tidak bergerak, hanya melihatku dengan lirikan yang sungguhan mirip dengan apa yang kulihat saat bercermin. Jadi, aku menghela napas. “Aku mau turun gunung. Kalau tidak disembelih, kau bisa mati kesepian.” Dia membalasku dengan dengusan. “Oke. Nanti sore kau kusembelih.” Betul. Aza yang mengajariku menyembelih. Dia selalu bilang, “Kalau tidak disembeli

    Last Updated : 2021-08-04
  • Selubung Memori   5. PEMILIK KEGANJILAN #1

    Tiba-tiba saja aku berada di kerumunan yang bersorak.Kerumunan yang sangat padat. Manusia berkumpul di sekelilingku. Depan, belakang, samping—semua orang bersorak menghadap ke arah yang sama. Suasana terasa meriah. Lampu-lampu bersinar berwarna-warni dari arah depan. Merah, biru, hijau, dan berbagai warna lain yang sering kulihat di pelangi. Semua orang tertawa, bernyanyi dengan penuh semangat. Dan mereka—orang-orang berpenampilan aneh layaknya kekurangan bahan bernyanyi sangat merdu di panggung.Aku tidak pernah melihat kerumunan orang sebanyak ini.Seseorang di sampingku melompat kegirangan dengan tawa bahagia. Suara terdengar begitu berisik, tetapi melantunkan irama yang membuat hatiku bergetar. Aku tidak bisa melihat jelas. Tinggiku tidak sampai, tetapi suara keras yang jelas terdengar membuatku bisa mengerti seberapa hebatnya penyanyi.Cahaya warna-warni itu terus berkedip, mengelilingi kejauhan.Semua orang bersorak, tetapi tidak

    Last Updated : 2021-08-13
  • Selubung Memori   6. PEMILIK KEGANJILAN #2

    Mataku terbuka beriringan dengan derak kilat yang memancar.Dan berturut-turut semua mulai kurasakan: telingaku mendengar gemuruh di kejauhan, mataku menemukan lilin di sudut. Dan aku kembali. Di dalam pondok. Di luar hujan, bahkan seperti badai. Punggungku berkeringat—wajah atau mungkin sekujur tubuh. Aku berusaha mengembalikan semua. Kesadaran, pernapasan, dan fokus mataku. Setelah semua kembali terasa, aku terlonjak begitu saja.Mimpi.Dan pondok diguncang badai.Suara kilat saling sahut menyahut. Atap seperti berguncang akan terbang. Angin membuat jendela berderak. Semestinya aku ngeri. Namun, mataku menatap kosong. Semua seperti tidak lagi nyata. Tidak ada yang bisa kurasakan.Aku turun dari ranjang, melihat buku catatan bersampul hitam.Itu buku harian tua yang kutemukan di kamar Aza. Kupikir itu buku harian Aza atau catatan yang dia tulis selama tinggal denganku, tetapi ketika aku membuka sampul yang sudah kelewat tua seolah ter

    Last Updated : 2021-08-14
  • Selubung Memori   7. PEMILIK KEGANJILAN #3

    Ini pertama kali aku berlari ke barat menuruni gunung.Aku berlari di depan tekadku untuk berduka. Kurasa inilah yang dimaksud Aza dengan latihan. Itu membuatku berhasil menang melawan beruang. Dan satu rangkaian pelatihan gila dari puncak bukit sampai pondok dua kali sehari juga agak berhasil membuat napasku panjang. Fisikku kuat. Aku bisa berlari jauh.Penampilan hutan ini mirip hutan hujan tropis yang kulihat di buku. Rawa di mana pun setiap kaki melangkah. Kabut tipis menutupi pandangan, yang terlihat bertambah parah karena ribuan rintik hujan mendistorsi pandangan. Air hujan mulai merembes masuk ke pakaianku—efek dari pertarungan dan jas hujan yang memang tidak terlalu membantu. Hawa dingin mulai terasa, entah itu karena hujan atau bulu kudukku yang terus aktif. Kurasa hanya saat inilah aku bisa membanggakan semua yang kusebut sebagai kemampuan khusus. Aku bisa memahami struktur tanah mana yang tepat untuk diinjak, batu-batuan yang tidak akan hancur saat kul

    Last Updated : 2021-08-15
  • Selubung Memori   8. PEMILIK KEGANJILAN #4

    Aku hampir kewalahan ketika Dalton bertanya bagaimana aku hidup.Maksudku, aku tidak bisa bilang kalau sudah tinggal di pondok hebat, yang punya segala perabotan indah—yang secara teknis pasti merupakan hal paling aneh. Dia bercerita seolah sudah diserang monster berhari-hari sejak dia keluar. Jadi, saat aku bilang, “Kurasa aku jarang bertemu monster seperti itu.”Dia terkejut setengah mati. “Jarang? Mustahil. Pemilik kemampuan pasti diserang monster mitologi. Mereka benci kita.”“Benci?”“Kita pengganggu alam liar. Itu yang kutahu.”Aku selalu gagal mengerti tentang alam liar seolah pemandangan hutan ini punya nyawa tersendiri. Dia bisa menolak kehadiran seseorang, membenci, bahkan yang paling ekstrem, alam liar punya kemampuan membunuhku. Rasanya seperti tinggal dalam perut monster yang siap mencernamu.Jadi, untuk mengamankan posisi, kubilang, “Aku pernah bertemu makhluk sejenis.

    Last Updated : 2021-08-16
  • Selubung Memori   9. MEDAN TEMPUR #1

    Gagasan tidur di tempat yang tidak bersahabat sepertinya mustahil bagiku.Berjaga sepanjang malam juga tampaknya tidak cocok denganku, jadi yang kulakukan ketika Dalton menikmati mimpinya, adalah membuka buku harian lama yang kutulis di usia delapan tahun. Tulisan di buku ini sudah hampir hancur ketika pertama kutemukan, dan setelah melewati pertarungan di tengah badai, semestinya tidak aneh beberapa halaman hancur karena air merembes masuk. Beberapa tulisan juga semakin tak terbaca karena—jelek, dan tintanya pudar—sempurna.Setidaknya aku bisa mengumpat pada diriku yang kulupakan karena dengan polosnya tidak menuliskan siapa nama adikku, ibuku, atau ayahku. Tidak ada satu pun petunjuk tentang keluargaku. Kalau bisa memutar balik waktu, kurasa aku akan menonjok bocah ini. Anak polos apa yang memilih mengumpat penculik dibanding menulis nama adiknya? Aku tidak habis pikir, tetapi dia ini aku.Jadi, aku terjaga sampai pagi tiba.Dan sepertinya D

    Last Updated : 2021-08-18
  • Selubung Memori   10. MEDAN TEMPUR #2

    Sepanjang siang, Dalton menyelesaikan alatnya, sementara aku berburu.Jadi, setelah kami menyelesaikan makan malam—dan serius, aku tidak mau makan kalau hewan buruannya tidak disembelih yang menurut Dalton itu aneh dan tidak praktis—Dalton bilang ingin menyelesaikan alatnya—yang secara teknis akan membuatnya lembur. “Kau tidur saja. Kita berangkat besok,” katanya.“Kau yakin?”“Di tempatku kembali, aku meninggalkan semacam alat pada saudaraku.”Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut seperti apa saudaranya atau sejenisnya, jadi ketika dia memberikan kantung tidurnya, aku segera mengambil posisi di ujung dan memejamkan mata sesegera mungkin.Beruntungnya, aku bermimpi.Aku menyusuri sungai. Airnya hanya semata kaki, tetapi bebatuan sungai yang ukurannya lumayan membuat kakiku berulang kali kehilangan pijakan. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku, tetapi napasku memburu. Suasananya gelap. Seperti

    Last Updated : 2021-08-20

Latest chapter

  • Selubung Memori   593. BENANG BUNGA #7

    Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&

  • Selubung Memori   592. BENANG BUNGA #6

    Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla

  • Selubung Memori   591. BENANG BUNGA #5

    Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw

  • Selubung Memori   590. BENANG BUNGA #4

    Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar

  • Selubung Memori   589. BENANG BUNGA #3

    Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud

  • Selubung Memori   588. BENANG BUNGA #2

    Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c

  • Selubung Memori   587. BENANG BUNGA #1

    Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da

  • Selubung Memori   586. RODA MIMPI #9

    Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t

  • Selubung Memori   585. RODA MIMPI #8

    Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan

DMCA.com Protection Status