“Aku tidak tahu siapa kau,” kataku. “Aku tidak tahu namaku. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Siapa aku?” Tiba-tiba aku menangis. “Aku takut.”
Ketika ingatanku hilang, sebenarnya Aza punya kesempatan memanfaatkan bocah kecil dengan kebohongan manis, tetapi dia punya hati mulia yang jauh lebih bersih dari bebatuan sungai. Jadi, saat aku melupakan semua, bahkan namaku, dia memberitahuku secara cuma-cuma seolah tahu segala tentangku. Aku yakin kami pernah bertemu, tetapi Aza terus membantah, “Aku malaikat yang diciptakan untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”
Aku tidak mau menanggapi leluconnya, dan karena Aza tidak terlihat ingin menjelaskan itu, kuputuskan untuk bungkam.
Jadi, kami tinggal di pondok kaki gunung—pondok yang tidak bisa disebut pondok karena pondok itu kelewat mewah untuk disebut pondok. Itu tempat yang punya tembok berwarna putih bersih, dengan perabotan bagian dalam yang penuh nuansa modern—berbanding terbalik dengan semua yang berada di sekitar gunung. Punya tiga kamar, cukup untukku, Aza, dan Nenek. Dan, ya, pondok hebat ini milik Nenek berhati lembut yang tidak pernah marah bahkan ketika bocah kecil nakal menghancurkan satu set piring kesayangannya karena menendang bola terlalu keras di dalam pondok—sebenarnya itu salah Aza karena tidak menangkap, tetapi secara teknis, aku yang menendang, jadi itu salahku. Intinya, kami hidup bertiga, dengan segala kebutuhan yang selalu ada.
Ya, kebutuhan yang selalu ada, tersedia kapan pun yang kami butuhkan.
Maksudku, bagian belakang pondok itu pekarangan yang kelewat luas, dan ada puluhan sapi perah sekaligus kambing siap sembelih yang bisa menjadi bahan makan kami sehari-hari. Nenek bilang, “Dulu Nenek itu peternak.” Jadi, aku belajar banyak hal dari Nenek yang tampaknya menjadi pengetahuan umum di kehidupan. Aza sampai bilang, “Sekarang adikku lebih jenius dari siapa pun. Kecuali aku.”
“Tapi aku hilang ingatan,” kataku.
“Tapi kau jenius. Kenapa, sih, kau selalu bilang ingatanmu hilang?”
Pondok juga punya berbagai macam buku yang terlalu lengkap. Setidaknya, ada banyak jenis buku dari hal remeh seperti ragam binatang, sampai hal kelewat rumit, seperti hukum fisika atau topik yang mengupas habis teori relativitas. Buku-buku itu—lagi-lagi—milik Nenek, dan, secara teknis, juga Aza. Kupikir jarak usia antara aku dengan Aza sekitar satu atau dua tahun, tetapi ketika aku merasakannya lagi, ada jurang yang sangat jauh di antara kami, seolah dengan usia yang seperti ini, dia jauh dan jauh lebih dewasa dari yang kupikirkan.
Aza juga mengajariku berpedang, berenang, memanah,—banyak hal.
Atas saran Nenek juga, ketika kondisiku lumayan stabil untuk melakukan hal berat—setidaknya, tubuhku sudah cukup bugar sampai bisa berlatih fisik—Aza memintaku berlari naik turun gunung setiap matahari terbit dan terbenam.
Aku sempat protes, “Aku takut! Ada singa!”
Aza mendesis. “Mana ada singa di sini. Aku mengawasimu, ayo pergi!”
Sebaik-baiknya Aza, dia mengerikan kalau marah. Jadi, karena dia bilang itu demi kebaikanku dan Nenek bilang itu juga akan berguna, aku menurutinya.
Namun, tiga hari pergi, aku sudah mengeluh ke Nenek.
Nenek bilang, “Forlan, sejujurnya Aza jauh lebih mengerti tentang Forlan lebih dari Nenek. Dia tahu apa yang dibutuhkan ke depan. Dengan melakukan ini, dia pasti tahu itu yang terbaik. Jadi, tidak apa mengeluh, tapi pastikan semua tetap berjalan, oke? Nenek pasti mendukung Forlan.”
Nenek punya aura kasih sayang yang memancar kuat—jauh lebih kuat dari Aza—tetapi begitulah. Aza juga menyayangiku. Aku tahu itu.
Maka setelah setahun bersama, ketika aku melupakan segala hal termasuk tanggal lahirku sendiri, Aza memutuskan hari pertemuanku dengannya menjadi hari ulang tahunku. Dan di perayaan ulang tahunku kesepuluh, Aza memberiku hadiah setumpuk ikan bakar bersama fakta: “Kita sebenarnya bukan manusia biasa.”
Saat itu kami ada di depan api unggun, di depan pondok, tepat di kegelapan malam, dikelilingi pohon pinus, dan aku berhenti mengunyah. “Apa?”
“Kita bukan manusia biasa,” ulangnya. “Kita diberkahi kemampuan khusus. Aku, dan kau. Ini contohnya.” Dia mengangkat telunjuk, dan sulur tumbuhan tiba-tiba meluncur dari bawah, membentuk satu helai rumput yang memanjang. “Kita di sini berlindung. Di luar ada perang. Makanya kau tidak boleh turun gunung.”
Aku kehilangan kata-kata.
“Bukan maksudku mengejutkanmu,” katanya, “tapi kau sering tidur sambil menerbangkan sesuatu, ya, kan, Nek?”
Nenek tertawa ketika mengangkat tiga tusuk dari api unggun. “Kemampuan kalian persis sama. Nenek tahu Forlan sekuat Aza.”
“Tapi,” protesku, “bukannya semua orang bisa?”
“Tidak, Forlan,” kata Nenek. “Manusia biasa tidak diberkati seperti pemilik kemampuan khusus. Nenek tidak seperti Forlan. Nenek tidak bisa membuat angin dengan menjentikkan jari.” Nenek menjentikkan jari. “Lihat? Ini bukti Nenek hanya manusia biasa. Forlan dan Aza orang-orang terpilih.”
Sejujurnya aku memerhatikan Nenek dengan serius, tetapi aku tidak mampu mengerti. “Jadi, kita harusnya bertarung?”
“Lari juga bentuk perlawanan,” kata Aza. “Kita bersembunyi.”
“Bersembunyi?”
“Pokoknya, pondok ini batas terakhir kau boleh turun gunung. Kalau mau turun, kau harus bilang padaku. Atau kau mati dalam dua detik.”
Aku tidak mengerti, tetapi rasanya aku sudah melupakan hal yang kelewat penting. “Oke. Terserah, deh, aku mau makan ikan.”
Setidaknya, kami menjalani kehidupan damai, menikmati waktu, dan Aza tetap melatihku habis-habisan. Dia punya kemampuan bertahan di alam liar lebih hebat dari siapa pun—iya, aku memang cuma membandingkannya dengan Nenek, tetapi Aza memang seperti yang paling kuat di muka bumi. Dia jauh lebih kejam dari siapa pun ketika latihan, tetapi juga jauh lebih menyebalkan dari apa pun ketika jail. Nenek bahkan tak lepas jadi korbannya. Jadi, kami sering menghabiskan waktu dengan memancing, beternak sapi, kambing, atau ayam sampai kerbau, dan kami sering menghabiskan malam dengan membakar ikan di depan api unggun, mengisi waktu sambil bercanda, sampai melakukan hal paling idiot: membersihkan wilayah gunung sekitar pondok—menurut mereka itu wajib dilakukan sebulan sekali.
Semua menyenangkan sampai usiaku menginjak lima belas tahun.
Saat itu kondisi Nenek sudah buruk, sering muntah, bahkan tiba-tiba Nenek sudah tidak bisa bangkit—hanya bisa berbaring di ranjang.
Jadi, ketika aku mau mengantarkan makanan ke ruangan Nenek, secara tak sengaja aku mendengar suara Aza.
“...aku mau menahannya selama mungkin.”
Aku berhenti di ambang pintu, membeku begitu saja. Pintu terbuka sedikit, tetapi suasana di dalam terasa sampai luar. Rasanya begitu membeku seolah sudah berada dalam alam berbeda.
“Kau tahu itu tidak baik untuknya,” kata suara serak Nenek. “Aza. Ini sudah di luar rencana. Kau tidak bisa terus terlena.”
“Aku tidak terlena! Dia... dia begitu berharga untukku.”
“Tidak ada waktu lagi. Keputusan ini menunggu kesiapanmu.”
Mereka terdiam. Jeda ini cukup lama. Hanya dalam sekejap, suasana terasa berat—bahkan seperti tidak ada pembicaraan lagi.
“Tidak apa, Nek. Aku bisa menjaganya sendiri.”
“Sampai kapan?”
“Biar kuusahakan secepat mungkin.”
“Kau selalu mengatakan itu sejak dua tahun lalu. Aku tidak pernah mencoba memaksamu, tapi kau yang paling tahu betapa aku mencemaskan ini, kan?”
“Dia....” Suara Aza semakin pelan. “Aku tidak mau kehilangan adikku.”
“Dan dia cucuku. Begitu juga denganmu. Kita sudah membicarakan semua ini bertahun-tahun lalu. Aza—” Nenek terbatuk. “Batas waktunya sudah habis.”
“Aku masih punya cukup waktu,” Aza masih protes.
“Untuk meninggalkan lebih banyak memori untuknya? Dengar, Nak. Hanya memori itu yang membuatnya bisa berkembang—betul, tapi memori indah itu juga yang akan membuatnya tertahan. Wilayah ini mungkin tidak tersentuh, tapi sudah bertahun-tahun lamanya kita menentang hukum alam. Kalau dibiarkan terlalu lama, dia yang tidak bisa keluar. Ini demi kebaikannya juga.”
“Dia butuh perlindungan.”
“Perlindungan yang terlalu lama hanya mengekangnya.”
“Nek,” potong Aza tajam, “jangan meninggalkanku.”
Dan suara Nenek terhenti. Aku juga semakin mengeras, layaknya tubuhku ditanam ke titik tempatku berdiri. Itu pertama kali aku mendengarnya. Ketika kami bersama, itu pertama kalinya aku mendengar suara Aza begitu lemah.
“Semua pasti berlalu sangat berat untukmu, Nak. Kau mungkin tidak sadar, tapi aku selalu memerhatikanmu. Kurasa kau jauh lebih mengerti kalau tidak baik memperlihatkan sisi ini. Tidak apa. Tidak ada yang bisa melakukan hal semulia ini selain dirimu. Jadi, Aza, saat ini kau hanya harus percaya pada Forlan. Dia... Forlan sudah lebih kuat dari sebelumnya. Dia juga melindungimu.”
Suara yang berhasil menggerakkanku kembali, adalah suara isak yang kian sesak. Kupikir, akan sangat brengsek kalau aku tetap di tempat, jadi dalam momen itu, aku berhasil melangkah menjauh dari ruangan Nenek.
Dua hari setelahnya, Nenek mengembuskan napas terakhirnya.
Dan ketika aku bersama Aza, kurasakan dia tidak begitu berbeda. Hanya menatap gundukan tanah, tanpa isak tangis—hanya menunduk seperti memberikan pemberkatan terakhir. Aku tidak mengerti konsep hidup setelah kematian, tetapi ketika aku memikirkan Aza, kurasakan dia hanya tidak ingin Nenek pergi. Aku bisa saja memikirkan semua yang kucuri dengar, tetapi dalam benak kecilku, aku sadar bahwa mungkin Nenek tahu posisiku di balik pintu. Barangkali Nenek hanya ingin memberitahu bahwa apa yang ditunjukkan Aza di depanku, semata-mata untukku, sampai Aza tidak bisa memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan. Tentu saja itu muncul di benakku. Satu konsep yang tertulis dalam buku, tentang kebahagiaan yang hangat: keluarga. Barangkali setelah bertahun-tahun kami bersama, aku juga bisa merasakannya, betapa Nenek telah menjadi keluarga dalam hidupku.
Dan Aza, hanya tidak ingin kehilangan keluarganya.
Jadi, ketika menatap gundukan tanah yang telah mengubur Nenek di bawah sana, kugumamkan tekad tentang menjadi kuat—bahwa ketika Aza bersamaku, dia bisa benar-benar tersenyum dari lubuk hatinya.
“Aza,” kataku. “Aku takkan pergi, kok.”
“Oh,” katanya. “Memangnya mau pergi ke mana?”
“Aku adikmu.”
Ada jeda sebelum Aza berbalik dengan senyum tipis di bibirnya. “Jadi, kau mengakuiku sebagai kakakmu?”
Aza menjadi satu-satunya keluargaku sampai kami menghabiskan waktu di sekitar pondok, dan tidak pernah sekali pun aku curiga pada semua yang kudengar dari pembicaraan Nenek dan Aza. Persetan dengan ingatan masa laluku, keluargaku yang sudah kulupakan—atau apa pun. Aku hidup untuk Aza.
Sejak kematian Nenek itu, mimpi pertemuan pertamaku dengan Aza mulai membuncah menguasai setiap malam yang kulalui dengan ketenangan.
Hingga tiga tahun kemudian, aku bermimpi tentang gadis manis—adikku.
Dan pembicaraan mereka mulai menggema dalam benakku.
Tiga tahun kemudian, Aza menyusul kepergian Nenek.Sekitar tiga sampai empat bulan setelah kematian Nenek, tiba-tiba kondisi Aza menurun. Dia tidak terlihat punya penyakit, dan—dia dokter paling hebat yang pernah kutahu. Namun, dia tidak berdaya menghadapi serangan penyakit itu. Sejauh yang kuingat, tidak pernah ada yang sakit di antara kami sebelum hari ketika Nenek kehilangan gerak motorik. Aza yang punya pengetahuan ramuan dan obat-obatan—yang aku tahu Nenek juga mahir karena dia yang mengajarinya—entah bagaimana tidak berdaya menghadapi masa-masa itu.Dan kurasa itu yang terjadi pada Aza empat bulan setelah kepergian Nenek.Sepeninggal Nenek, kami sering berburu hewan liar—maksudku, ya, kami memang punya banyak hewan ternak, tetapi Aza bilang, “Kita harus melihat semua yang bisa kau lakukan di alam liar,” seolah-olah dalam suatu masa setelah tidak ada Nenek, dia tahu waktunya juga akan tiba. Jadi, dia berusaha membuatku
Sapi terakhir yang kami miliki adalah sapi potong. Satu-satunya sapi terakhir yang ada setelah Aza pergi. Tidak ada lagi hewan ternak, hanya aku, pondok hening, dan sapi yang tidak lagi bernafsu mengeluarkan suara. Dia selalu yang paling keras berontak saat akan disembelih, jadi dia menjadi satu-satunya yang bertahan. Dan dia hanya duduk—atau tidur—di tengah terpaan mentari. Sepertinya sejak waktu yang tidak kusadari, semangatnya telah hilang. “Aku bisa menyembelihmu, tapi aku tidak mau ditendang,” kataku. Saat itu pagi yang cerah, dan aku berdiri di depan kandangnya, mengamati sapi yang tidak bergerak, hanya melihatku dengan lirikan yang sungguhan mirip dengan apa yang kulihat saat bercermin. Jadi, aku menghela napas. “Aku mau turun gunung. Kalau tidak disembelih, kau bisa mati kesepian.” Dia membalasku dengan dengusan. “Oke. Nanti sore kau kusembelih.” Betul. Aza yang mengajariku menyembelih. Dia selalu bilang, “Kalau tidak disembeli
Tiba-tiba saja aku berada di kerumunan yang bersorak.Kerumunan yang sangat padat. Manusia berkumpul di sekelilingku. Depan, belakang, samping—semua orang bersorak menghadap ke arah yang sama. Suasana terasa meriah. Lampu-lampu bersinar berwarna-warni dari arah depan. Merah, biru, hijau, dan berbagai warna lain yang sering kulihat di pelangi. Semua orang tertawa, bernyanyi dengan penuh semangat. Dan mereka—orang-orang berpenampilan aneh layaknya kekurangan bahan bernyanyi sangat merdu di panggung.Aku tidak pernah melihat kerumunan orang sebanyak ini.Seseorang di sampingku melompat kegirangan dengan tawa bahagia. Suara terdengar begitu berisik, tetapi melantunkan irama yang membuat hatiku bergetar. Aku tidak bisa melihat jelas. Tinggiku tidak sampai, tetapi suara keras yang jelas terdengar membuatku bisa mengerti seberapa hebatnya penyanyi.Cahaya warna-warni itu terus berkedip, mengelilingi kejauhan.Semua orang bersorak, tetapi tidak
Mataku terbuka beriringan dengan derak kilat yang memancar.Dan berturut-turut semua mulai kurasakan: telingaku mendengar gemuruh di kejauhan, mataku menemukan lilin di sudut. Dan aku kembali. Di dalam pondok. Di luar hujan, bahkan seperti badai. Punggungku berkeringat—wajah atau mungkin sekujur tubuh. Aku berusaha mengembalikan semua. Kesadaran, pernapasan, dan fokus mataku. Setelah semua kembali terasa, aku terlonjak begitu saja.Mimpi.Dan pondok diguncang badai.Suara kilat saling sahut menyahut. Atap seperti berguncang akan terbang. Angin membuat jendela berderak. Semestinya aku ngeri. Namun, mataku menatap kosong. Semua seperti tidak lagi nyata. Tidak ada yang bisa kurasakan.Aku turun dari ranjang, melihat buku catatan bersampul hitam.Itu buku harian tua yang kutemukan di kamar Aza. Kupikir itu buku harian Aza atau catatan yang dia tulis selama tinggal denganku, tetapi ketika aku membuka sampul yang sudah kelewat tua seolah ter
Ini pertama kali aku berlari ke barat menuruni gunung.Aku berlari di depan tekadku untuk berduka. Kurasa inilah yang dimaksud Aza dengan latihan. Itu membuatku berhasil menang melawan beruang. Dan satu rangkaian pelatihan gila dari puncak bukit sampai pondok dua kali sehari juga agak berhasil membuat napasku panjang. Fisikku kuat. Aku bisa berlari jauh.Penampilan hutan ini mirip hutan hujan tropis yang kulihat di buku. Rawa di mana pun setiap kaki melangkah. Kabut tipis menutupi pandangan, yang terlihat bertambah parah karena ribuan rintik hujan mendistorsi pandangan. Air hujan mulai merembes masuk ke pakaianku—efek dari pertarungan dan jas hujan yang memang tidak terlalu membantu. Hawa dingin mulai terasa, entah itu karena hujan atau bulu kudukku yang terus aktif. Kurasa hanya saat inilah aku bisa membanggakan semua yang kusebut sebagai kemampuan khusus. Aku bisa memahami struktur tanah mana yang tepat untuk diinjak, batu-batuan yang tidak akan hancur saat kul
Aku hampir kewalahan ketika Dalton bertanya bagaimana aku hidup.Maksudku, aku tidak bisa bilang kalau sudah tinggal di pondok hebat, yang punya segala perabotan indah—yang secara teknis pasti merupakan hal paling aneh. Dia bercerita seolah sudah diserang monster berhari-hari sejak dia keluar. Jadi, saat aku bilang, “Kurasa aku jarang bertemu monster seperti itu.”Dia terkejut setengah mati. “Jarang? Mustahil. Pemilik kemampuan pasti diserang monster mitologi. Mereka benci kita.”“Benci?”“Kita pengganggu alam liar. Itu yang kutahu.”Aku selalu gagal mengerti tentang alam liar seolah pemandangan hutan ini punya nyawa tersendiri. Dia bisa menolak kehadiran seseorang, membenci, bahkan yang paling ekstrem, alam liar punya kemampuan membunuhku. Rasanya seperti tinggal dalam perut monster yang siap mencernamu.Jadi, untuk mengamankan posisi, kubilang, “Aku pernah bertemu makhluk sejenis.
Gagasan tidur di tempat yang tidak bersahabat sepertinya mustahil bagiku.Berjaga sepanjang malam juga tampaknya tidak cocok denganku, jadi yang kulakukan ketika Dalton menikmati mimpinya, adalah membuka buku harian lama yang kutulis di usia delapan tahun. Tulisan di buku ini sudah hampir hancur ketika pertama kutemukan, dan setelah melewati pertarungan di tengah badai, semestinya tidak aneh beberapa halaman hancur karena air merembes masuk. Beberapa tulisan juga semakin tak terbaca karena—jelek, dan tintanya pudar—sempurna.Setidaknya aku bisa mengumpat pada diriku yang kulupakan karena dengan polosnya tidak menuliskan siapa nama adikku, ibuku, atau ayahku. Tidak ada satu pun petunjuk tentang keluargaku. Kalau bisa memutar balik waktu, kurasa aku akan menonjok bocah ini. Anak polos apa yang memilih mengumpat penculik dibanding menulis nama adiknya? Aku tidak habis pikir, tetapi dia ini aku.Jadi, aku terjaga sampai pagi tiba.Dan sepertinya D
Sepanjang siang, Dalton menyelesaikan alatnya, sementara aku berburu.Jadi, setelah kami menyelesaikan makan malam—dan serius, aku tidak mau makan kalau hewan buruannya tidak disembelih yang menurut Dalton itu aneh dan tidak praktis—Dalton bilang ingin menyelesaikan alatnya—yang secara teknis akan membuatnya lembur. “Kau tidur saja. Kita berangkat besok,” katanya.“Kau yakin?”“Di tempatku kembali, aku meninggalkan semacam alat pada saudaraku.”Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut seperti apa saudaranya atau sejenisnya, jadi ketika dia memberikan kantung tidurnya, aku segera mengambil posisi di ujung dan memejamkan mata sesegera mungkin.Beruntungnya, aku bermimpi.Aku menyusuri sungai. Airnya hanya semata kaki, tetapi bebatuan sungai yang ukurannya lumayan membuat kakiku berulang kali kehilangan pijakan. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku, tetapi napasku memburu. Suasananya gelap. Seperti
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak