Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 10. MEDAN TEMPUR #2

Share

10. MEDAN TEMPUR #2

last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-20 14:00:59

Sepanjang siang, Dalton menyelesaikan alatnya, sementara aku berburu.

Jadi, setelah kami menyelesaikan makan malam—dan serius, aku tidak mau makan kalau hewan buruannya tidak disembelih yang menurut Dalton itu aneh dan tidak praktis—Dalton bilang ingin menyelesaikan alatnya—yang secara teknis akan membuatnya lembur. “Kau tidur saja. Kita berangkat besok,” katanya.

“Kau yakin?”

“Di tempatku kembali, aku meninggalkan semacam alat pada saudaraku.”

Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut seperti apa saudaranya atau sejenisnya, jadi ketika dia memberikan kantung tidurnya, aku segera mengambil posisi di ujung dan memejamkan mata sesegera mungkin.

Beruntungnya, aku bermimpi.

Aku menyusuri sungai. Airnya hanya semata kaki, tetapi bebatuan sungai yang ukurannya lumayan membuat kakiku berulang kali kehilangan pijakan. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku, tetapi napasku memburu. Suasananya gelap. Seperti

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Selubung Memori   11. PUING-PUING KOTA #1

    Tidak ada waktu untuk istirahat, jadi sepanjang malam sampai langit terlihat terang, kami menyusuri jalan yang ditunjuk alat buatan Dalton. “Kompas,” katanya. “Tapi hanya mengarah ke satu titik.” “Padang Anushka?” “Iya. Sayangnya, jauh. Kita mungkin butuh seharian jalan.” “Aku mau tidur tenang.” Itu pertama kalinya aku melihat penampakan selain hutan. Aku sungguhan melihat apa yang tertulis di buku: gedung-gedung yang sangat tinggi, rumah-rumah yang bukan pondok, jalanan yang disebut trotoar, dan aspal meskipun pecah-pecah. Sekarang semua jelas. Tak bisa kubayangkan semua ini sama seperti 500 tahun lalu. Ketika aku menatap kemustahilan itu, Dalton bilang, “Alam menjaganya.” “Apa?” “Peradaban selama 500 tahun. Kau pasti tahu itu.” Baru kuingat aku tidak pernah menyinggung tentang 500 tahun lalu. Selama beberapa saat, aku berpikir mau berbohong, tetapi tampaknya Dalton juga tahu itu. “Kau juga tahu itu?” ucapku. “Oh, maks

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Selubung Memori   12. PUING-PUING KOTA #2

    Kuakui aku cukup kreatif dalam upaya kembali ke jembatan.Jadi, aku mengikat gadis itu di punggung dengan sulur tumbuhan agar dia tidak terjatuh saat aku memanjat tali—yang kubuat dari sulur juga. Dalton sempat mencetuskan memakai gaya tarik-menarik saat menemukan ada yang terlelap di punggungku, tetapi kubilang, “Kau yakin tidak jatuh?”“Asal kuat berpegangan kau takkan jatuh,” serunya.Kuputuskan itu berbahaya, jadi kami pakai ideku. Peran dia hanya menanti di jembatan, bersiap kalau sewaktu-waktu sulur tumbuhan putus.Beruntungnya, berhasil.Meskipun susah payah, dan aku gemetar ketakutan kalau tiba-tiba ikatan di pinggang dan punggungku lepas, membuat gadis ini terjatuh ke sungai. Beruntung, itu tidak terjadi dan Dalton membantu mengangkatku setelah tanganku bisa sampai ke tempatnya. Jadi, aku melepas ikatan, mendengar jeritan Dalton. “ITU REILA!”Aku membaringkan gadis itu di bawah pohon, membia

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-24
  • Selubung Memori   13. PUING-PUING KOTA #3

    “Jangan pedulikan Dalton,” kata Reila. “Saat di Padang Anushka, dia punya waktu tidur sangat panjang. Kau tahu? Dia sering melewati latihan pagi karena telat bangun, jadi aku yakin dia takkan dengar apa yang kita bicarakan. Kita punya waktu empat mata cukup lama. Atau kau takut padaku?”Aku masih sibuk membersihkan sisik ikan, menusuknya melintang dengan ranting, sebelum mulai membakarnya di api unggun. Setelah dua ikan berlalu, aku baru berkata, “Mau memastikan aku bukan musuh?”“Aku tahu kau yang menyelamatkanku,” sahutnya. “Aku cukup yakin sudah tak lagi selamat, tapi kau di sana—mungkin aku hanya mimpi, tapi—banyak yang terlintas di kepalaku. Aku tidak mau meragukanmu.”“Lalu?” lanjutku.“Aku punya hipotesis,” dia mengambil ikan yang masih hidup di kotak, lalu membersihkannya meski dia cukup sulit membuatnya menjadi bangkai siap santap. “Tapi aku perl

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-26
  • Selubung Memori   14. RUMAH #1

    Aku bermimpi yang menyakitkan.Aku berada di gang kecil, sempit, dan gelap. Tak ada situasi yang harus bisa kumengerti karena begitu semua itu terjadi, aku sudah dilempari batu, botol, atau apa pun oleh anak-anak kecil. Mereka berteriak girang. “ANAK IBLIS!”Tidak ada yang kulakukan, hanya berdiri tegak.Dan ada anak yang lumayan tua. Cukup tinggi. Dia mencengkeram kausku, kemudian menonjok keras. Aku terbanting, dan anak-anak yang melempariku batu terdiam. Mereka kaget—atau takut. Anak-anak lebih tua itu semakin banyak, mulai mengelilingi gang sempit, dan aku diangkat.“Jadi, ini anak dukun?”Aku tidak bisa merasakan apa yang terjadi, tetapi mataku melihat beragam macam pukulan mendarat ke wajahku, perut, atau punggung. Hidungku perih bak mengeluarkan cairan. Gigiku penuh rasa besi. Namun, tidak ada yang terasa ketika pukulan itu mendarat ke tubuhku. Hanya efek samping yang terasa kemudian.Serangan itu berakhi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-28
  • Selubung Memori   15. RUMAH #2

    Aku mulai bisa merasakan keberadaan tubuhku saat kepalaku terasa segar. Barangkali semua bermula sejak mataku setengah terbuka, yang membuatku bisa mendapati seorang perempuan dengan aroma manis bernuansa ketenangan. Binar matanya langsung cerah begitu mendapati mataku terbuka. “Kau bisa mendengarku?” tanyanya.Entah bagaimana aku mengangguk.Dia memandang sekeliling, seolah memastikan ruangan memang kosong. “Sudah mulai bekerja,” katanya. “Kau bisa minum ini?”Dia menawariku sesuatu. Bibir botol yang dingin, dan sesuatu terasa melalui tenggorokanku. Segar. Atau dingin. Namun, senyum manis perempuan itu berhasil membuatku tenang. “Aku menjagamu sampai bangun.”Kesadaranku menjauh lagi.Dan tiba-tiba mataku terbuka. Sepenuhnya.Kali ini aku bisa merasakan jelas apa yang terjadi pada tubuhku. Tidak ada perasaan aneh yang timbul seperti mimpi buruk, hanya tiba-tiba saja duduk tegak, melihat sekeli

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-30
  • Selubung Memori   16. RUMAH #3

    Layla benar. Aku berada di loteng. Kami menuruni tangga sempit yang hanya bisa memuat satu orang, dan ini hanya tangga kayu seperti yang biasa kugunakan memperbaiki atap bocor pondok. Loteng seperti ruangan isolasi terpisah. Butuh tenaga untuk masuk. Jadi, ketika kami berhasil sampai di lantai—yang tampaknya lantai kedua pondok—di sana ada ruang tengah dengan sofa melingkar, karpet bulu, dan televisi layar lebar yang tidak menyala. Di sana tersebar bingkai yang memajang potret tiap orang. Rasanya aku tahu itu potret penghuni, tetapi—terlalu banyak. Maka saat aku menatap itu dengan heran, Dalton berkata, “Tidak sebanyak itu.” “Apa?” sahutku. “Setiap daerah punya jumlah bingkai beda. Sepuluh tahun ini, bingkainya di lantai satu. Jadi, yang kau lihat di sini bukan penghuni sekarang.” “Berarti ini penghuni sepuluh tahun sebelumnya?” “Untuk mengenang,” ujarnya. “Sebagian besar sudah gugur.” Itu bukan topik yang ingin kubicarakan, ja

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • Selubung Memori   17. RUMAH #4

    Reila bilang ada beberapa yang harus kumengerti sebelum bergaul dengan penghuni lain, tetapi dia tidak punya waktu menjelaskan. “Mungkin Dalton yang cerita—eh,” dia seperti baru teringat, “Dalton bukan tipe yang menganggap itu penting, sih, jadi mungkin Jesse atau Nuel.” “Maksudmu, tentang mereka yang akan menjauhiku?” “Kurang lebih, tapi, lihat, deh, sepertinya kita tidak bisa bicara itu.” Kami hampir keluar pondok, dan tampaknya aku mengerti mengapa Reila seperti diburu sesuatu. Seorang wanita terlihat menunggu di ambang pintu bersama Kara dan Dokter Gelda. “Nah, itu Reila,” sebutnya. “Jangan tiba-tiba hilang, dong.” “Maaf,” kata Reila. “Lebih cepat pergi, lebih cepat juga kita kembali,” katanya. “Dan—” Dia menemukanku. “Wah! Forlan?” Aku bergidik, kaget wanita itu tahu tentangku. Kemudian wanita itu mendekat. Wanita yang punya rambut lurus dan diikat dengan gaya memikat—aku tidak tahu bagaimana cara dia menyusun, men

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Selubung Memori   18. RUMAH #5

    Aku agak sulit mempercayai apa yang kulihat.Pertama yang kulihat, adalah bagian dalam Balai Dewan seperti istana. Dari pintu masuk ada dua tangga yang dipisahkan meja resepsionis. Lalu di sana seorang pemuda duduk seperti memainkan kotak. Dia baru menyadari kami saat Kara sudah mengetuk meja. “Nuel.”Pemuda itu mengangkat muka. “Oh, Kara, dan ....” dia melihatku.Aku hampir memperkenalkan diri, tetapi dia menyipitkan mata, mendadak berseru, “Kandidat baru! Kau sudah bangun?”“Eh,” kataku, tetapi dia langsung menjabat tanganku.“Aku Nuel, bro,” katanya. “Jenderal di dalam. Main Gaple.”“Ga-Gapele?” tanyaku.“Gaple,” ulang Nuel. “Permainan kartu dengan domino. Sebaiknya kau tahu Gaple karena Jenderal mengajakmu main. Kalau menolak,” tiba-tiba dia merinding, “kau pasti menyesal.”“Lanjutkan gadget

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06

Bab terbaru

  • Selubung Memori   593. BENANG BUNGA #7

    Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&

  • Selubung Memori   592. BENANG BUNGA #6

    Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla

  • Selubung Memori   591. BENANG BUNGA #5

    Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw

  • Selubung Memori   590. BENANG BUNGA #4

    Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar

  • Selubung Memori   589. BENANG BUNGA #3

    Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud

  • Selubung Memori   588. BENANG BUNGA #2

    Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c

  • Selubung Memori   587. BENANG BUNGA #1

    Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da

  • Selubung Memori   586. RODA MIMPI #9

    Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t

  • Selubung Memori   585. RODA MIMPI #8

    Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan

DMCA.com Protection Status