Tiga tahun kemudian, Aza menyusul kepergian Nenek.
Sekitar tiga sampai empat bulan setelah kematian Nenek, tiba-tiba kondisi Aza menurun. Dia tidak terlihat punya penyakit, dan—dia dokter paling hebat yang pernah kutahu. Namun, dia tidak berdaya menghadapi serangan penyakit itu. Sejauh yang kuingat, tidak pernah ada yang sakit di antara kami sebelum hari ketika Nenek kehilangan gerak motorik. Aza yang punya pengetahuan ramuan dan obat-obatan—yang aku tahu Nenek juga mahir karena dia yang mengajarinya—entah bagaimana tidak berdaya menghadapi masa-masa itu.
Dan kurasa itu yang terjadi pada Aza empat bulan setelah kepergian Nenek.
Sepeninggal Nenek, kami sering berburu hewan liar—maksudku, ya, kami memang punya banyak hewan ternak, tetapi Aza bilang, “Kita harus melihat semua yang bisa kau lakukan di alam liar,” seolah-olah dalam suatu masa setelah tidak ada Nenek, dia tahu waktunya juga akan tiba. Jadi, dia berusaha membuatku siap.
Barangkali itu yang membuat kami lengah. Maksudku, kami hanya berburu di alam liar—yang secara teknis, berada di kedalaman hutan, dan mau seberapa halusnya alam liar, alam liar tetaplah alam liar. Jadi, barangkali Aza terkontaminasi virus yang tersebar di lingkungan, dan—ya, tidak ada obat untuknya.
Aku tidak menyadari itu sampai tiba-tiba Aza terjatuh setelah memanah satu kelinci di semak-semak. Aza punya tingkat akurasi tinggi masalah menembak dan memanah. Sejauh ini, aku tidak pernah melihatnya meleset. Jadi, ketika dia meleset, aku tahu ada yang tidak beres. Aku membopongnya, ketika mendengarnya berkata, “Sepertinya aku tidak fit.”
“Aku sudah bilang kita tidak perlu berburu,” kataku.
“Aku,” entah bagaimana napasnya berat, “hanya perlu istirahat.”
“Baiklah. Kuharap itu sungguhan.”
Namun, sejak itu Aza semakin lemah. Dia semakin mirip Nenek, seolah-olah energi dalam dirinya mulai terserap habis oleh sesuatu. Dalam suatu masa yang tidak ingin kumengerti, dia pernah terlihat begitu samar—layaknya sebagian tubuh yang jelas-jelas punya kulit itu memudar, tembus pandang, atau... kau tahu, saat itu aku seperti bisa melihat menembus apa yang ada di balik tubuhnya. Saat dia hanya terbaring, aku seperti melihat dia melayang. Tentu aku tak mau berpikir yang aneh-aneh, jadi kupikir saat itu aku hanya terlalu lelah—maksudku, ya, aku menjadi satu-satunya yang bisa bergerak, yang, secara teknis, harus melakukan pekerjaan rumah tangga yang biasanya dilakukan dua orang, plus, merawat Aza dan terus melakukan latihan rutin—naik turun gunung setiap kemunculan dan hilangnya matahari. Jelas, aku berpikir hanya sedang kelelahan.
Hanya saja, sepertinya Aza punya sesuatu yang disembunyikan dariku. Aku bisa sedikit mengerti itu ketika latihan terakhir kami beberapa minggu sebelum dia tidak bisa lagi mengawasi latihanku secara rutin.
Jadi, saat itu kami di tanah lapang depan pondok, Aza menghunuskan ujung pedang perunggu runcingnya ke perutku, dan aku melompat—tetapi Aza lebih dulu memikirkan gerakanku karena tiba-tiba dia mengayunkan pedang ke atas.
“Berapa kali kubilang jangan seenaknya melompat?” tuntutnya.
Sayangnya, itu rencanaku, dan sayangnya lagi, rencana Aza lebih hebat.
Ketika aku di udara, Aza mengayunkan pedang ke samping tubuhku, dan tepat ketika itulah aku melakukan rencana: menangkisnya, dan di waktu yang sama memakainya sebagai tumpuan untuk berputar menyerang. Satu tanganku bebas, dan tepat ketika itulah aku mengayunkan belati yang kusembunyikan di ikat pinggang. Selama sepersekian detik, aku yakin belatiku akan menebas kepalanya, tetapi gagal. Aza mengangkat pedang—yang secara teknis adalah tumpuanku, lalu sekonyong-konyong membantingku begitu saja.
Aku mengerang. “AKH!”
Dan Aza menghunus pedang di atasku.
Jadi, aku menyerang tangan kanannya, dan berhasil. Perhatiannya langsung teralih untuk menangkis. Aku bangkit, sementara Aza memutar pergelangan tangan semudah memutar baut, segera menyerang atas kepalaku.
Aku berputar ke sebelah kiri, tetapi tiba-tiba Aza menendang kakiku sampai aku terbanting lagi. “AKH!” erangku. “LAGI?”
“Bangun!”
Pedang kami tertangkis. Bunga api beterbangan.
Aku bangun, tetapi itu hanya untuk melihat mata pedang Aza sudah di depan mataku lagi. Maka itu terjadi: waktu melambat. Gerakan tangan Aza seperti bersiap melakukan empat tusukan ke kepala. Jadi, aku bergerak ke samping, dan saat waktu kembali normal, serangan Aza menembus tanah kosong. Dia terkejut. Dalam jeda singkat itu, aku berniat menjegalnya, meniru gerakannya, tetapi gagal.
Dia melompat, menekuk lututnya di udara, langsung mencondongkan bobot ke depan. Aku masih berusaha memproses, ketika tendangannya terlihat mengincar kepalaku. Jadi, aku mengangkat lengan kiri, dan kedua tulang kami bertumbukan sangat keras. Suara benturan terdengar begitu menyakitkan. Itu membuatku hampir jatuh, tetapi Aza belum berhenti. Dia bersiap menyerang, jadi aku berputar sambil menjaga titik keseimbangan, langsung melompat ke arahnya.
Aza memutar pedangnya. “Ceroboh!”
Pedangnya terayun ke garis perutku. Tanganku masih sibuk menangkisnya, sementara satu tanganku bebas. Jadi, aku melebarkan telapak tangan, lalu memutar pergelangan tangan ketika Aza tidak menyadarinya.
Di sisi lain, aku membuat pedangnya sebagai tumpuan tubuhku berputar ke atasnya—lagi. Aza berseru, “Sudah kubilang jangan sembarangan!”
Aza sepertinya berniat melompat dan menebasku, tetapi kakinya tertahan. Begitu dia menyadarinya, kakinya sudah terlilit rumput yang memanjang.
“Rumput?” ucapnya, tidak percaya.
Aku memutar pergelangan tanganku lagi, rumput itu semakin mengikat kuat kakinya. Aku mendarat sukses di belakangnya, punggungnya terbuka lebar.
Dalam sedetik, aku langsung meluncur bersiap menusuk punggungnya. Aku mengerahkan tenaga, tetapi lima senti sebelum menyentuh punggung terbuka itu, seberkas angin muncul di depan mataku, menyerang, menghempaskanku kelewat keras—melemparku sampai hampir menabrak batang pohon.
Aku terbanting, terguling berkali-kali sebelum gaya gesek menghentikanku.
Mataku terkejap, berusaha melihat Aza jauh di depan sana.
“Sepertinya cukup?” ucap suaranya. Dia terlihat menyarungkan pedangnya, menghampiriku. “Jangan pakai kemampuan khusus, dong.”
“Sakit,” erangku.
“Ayolah, Jagoan.” Dia menarikku bangkit, menepuk punggungku.
Barangkali kami saling mengenal sejak lama, tetapi ketika Aza punya codet di bawah pipinya, entah bagaimana membuatnya terlihat jauh lebih tidak tergapai. Rambut hitamnya juga kelihatan semakin berantakan. Dia semakin terlihat garang. Ketika senjata di tangannya, dia selalu mengikat rambutnya membentuk simpul ke belakang. Di punggungnya selalu ada anak panah dan busur, plus di pinggangnya berurutan dari kanan: pedang dan belati. Dia mampu menebas sekaligus menembak sangat akurat. Dan... dia kelewat manis, yang dalam artian aku tidak pernah melihat cewek lain, itu valid. Aza pernah bilang kalau aku harus punya pacar yang lebih manis darinya, tetapi aku bahkan tidak punya gagasan untuk pergi.
Jadi, aku menghela napas. “Hukuman?”
“Tidak perlu,” katanya, tersenyum seperti biasanya. “Aku justru kagum kau bisa melakukan itu saat sibuk menangkis. Omong-omong, kau makin tinggi, ya.”
Dibilang seperti itu, aku memang sedikit lebih tinggi. “Hm... hebat.”
“Kau makin keren saja.”
“Kuharap begitu.”
Aza mengamatiku. Barangkali karena aku tidak merespons dengan lelucon, dia mulai curiga. Aku berani sumpah kalau dia mampu melihat menembus apa yang seharusnya tidak bisa dia lihat. “Ada yang mengganggumu?” tanyanya.
“Ng,” kataku. “Iya, ada.”
“Mimpi?”
“Iya.”
“Soal ingatan pertemuan pertama kita?”
“Iya.”
Jadi, sekarang Aza yang menghela napas panjang, duduk di selasar pondok, menepuk lantai sebelahnya. “Duduk denganku.”
Aku duduk, dan dia bilang, “Aku tidak bisa bilang itu baik, tapi sebenarnya itu bukti kalau kau masih punya ingatan masa lalu.”
“Astaga, langsung bicara serius. Apa maksudmu?”
“Maksudku, bayangkan saja, otakmu tidak bisa ingat apa-apa, tapi tiba-tiba dalam tidurmu kau melihat adegan asing, tapi kau juga merasa dekat,” kurasa itu lumayan kena tepat sasaran. “Jadi, Forlan, itu keistimewaan kita—bukan pemilik kemampuan—tapi kita. Kemampuan kita didukung alam. Alam ini punya semacam roh yang selalu membantumu. Dan seiring berkembangnya kemampuan yang kau miliki, roh alam juga menyambutmu dalam dunianya.”
“Jadi, aku dibantu sama hantu?”
“Itu juga yang kupikirkan waktu pertama kali diberitahu kalau aku dibantu roh alam,” dia tertawa. “Tapi aku bersyukur kau bisa menggunakan kemampuanmu. Kemampuan kita persis sama, tapi sejujurnya aku jail, dan—”
“Aku tahu betul itu,” potongku.
“Oke, iya, kau tahu betul soal itu. Tapi kemampuan ini butuh orang-orang yang berhati bersih. Meski aku jail, aku tidak menggunakan kemampuan ini ke arah buruk. Aku yakin hatimu bersih, meski selalu berharap melihat perempuan cantik. Jadi, aku yakin kau bisa lebih kuat dariku.”
Sejujurnya aku ingin berkomentar bagian melihat perempuan cantik, tetapi aku bertanya, “Jadi, di luar sana memang ada manusia lain?”
“Aku tahu kau bosan denganku sampai begitu inginnya melihat cewek lain.”
“Bukan itu maksudku,” desisku.
“Iya, iya. Tapi mimpimu, kan, sudah menjawabnya.”
“Di kota yang berbau busuk itu?”
“Yang tidak pernah melihat matahari,” sambungnya, menyepakati.
“Dan hanya ada lampu,” lanjutku.
“Seolah tertutup oleh sesuatu dan terpendam,” sambungnya lagi. “Aku tidak terlalu yakin tentang itu, tapi kau pasti bisa kembali suatu hari nanti.”
“Berarti kau tahu di mana manusia berada?”
“Tentu. Kalau tidak, aku tidak bisa membawamu kemari.”
Aku heran bagaimana dia bisa lebih banyak bicara dari biasanya. Kalau ini hari-hari normal, biasanya dia membuat lelucon, tetapi aku merasa ini berbeda, jadi aku bertanya, “Boleh aku tahu kenapa kau menyelamatkanku?”
Dia tersenyum, sekilas terlihat begitu tulus, tetapi auranya memancar begitu pilu, seolah dia tengah mengingat momen paling indah—tetapi juga menyedihkan. “Kau mau tahu sesuatu yang jahat? Aku bukan menyelamatkanmu.”
Aku tersinggung, tetapi berusaha menerima itu. “Lalu?”
“Aku menyelamatkan harapan.” Kali ini dia tersenyum, yang benar-benar ditujukan padaku. “Kau tahu, Forlan? Aku kesepian. Aku seperti dilahirkan menjadi petarung garis depan, yang hanya diprogram untuk menyelamatkan apa yang harus kuselamatkan, bertarung untuk semua yang harus kubela, dan melindungi sebanyak yang harus kulindungi. Aku tidak sempat memikirkan semua yang dirasakan orang-orang. Sesuatu seperti memiliki orang yang kusayangi, menggantung harapan pada orang-orang yang ingin memilikiku—aku tidak pernah merasakan itu.”
Aku ingin membalas, tetapi entah bagaimana benakku melarang. Barangkali aku berusaha mengenyahkan keheranan seolah dia seperti nenek-nenek yang sudah hidup puluhan tahun—memiliki penyesalan teramat dalam sampai dikutuk menjadi anak kecil yang bisa mengulang kehidupannya.
“Aku bukan harapan,” kataku.
“Bukan kau yang berhak memutuskan, tapi aku.”
“Itu tidak masuk akal.”
“Saat aku melihatmu,” kenangnya, “aku merasa sudah melakukan kesalahan besar. Aku tidak yakin siapa yang harus kubela. Aku tidak yakin kenapa aku sudah mengorbankan banyak hal. Dan kupikir aku muak melihat orang-orang idiot seperti menguasai tempat yang harusnya penuh cahaya. Jadi, aku menyelamatkanmu, yang aku tahu kau juga akan memberiku sebanyak yang kumau.”
“Apa?” sahutku. “Apa yang bisa kuberikan padamu?”
Aza menatapku layaknya menemukan apa yang dia inginkan. Dia terlihat begitu dekat, tetapi juga begitu jauh. “Kedamaian.”
Aku menggeleng. “Aku tidak mengerti.”
“Kau pasti mengerti.” Sorot mata penuh binar pilu itu kembali melihat hutan pinus. “Menyelamatkanmu. Kurasa itu hal terbaik yang pernah kulakukan. Forlan, aku sungguh bahagia bertemu denganmu.”
Angin berembus.
Tirai keheningan menutup pembicaraan kami.
Atau lebih tepatnya, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sejauh kami tinggal bersama, Aza belum pernah seterbuka ini. Dia jarang menjawab pertanyaan yang menyinggung tentang dirinya. Dia tidak pernah banyak bercerita semua yang pernah dia alami—meski aku yakin usia kami benar-benar hanya terpaut dua atau tiga tahun. Dan aku tahu tiga tahun bukan waktu yang bisa membuat dia terkesan begitu dewasa—tetapi dia pernah menyinggung perang, dan kurasa bukan hal yang mustahil kalau dia punya kenangan buruk. Kurasa aku mengerti mengapa dia bisa seperti ini: dia sudah melihat banyak hal buruk dalam masa kecilnya.
Yang barangkali juga akan kurasakan kalau aku mengingat apa yang terjadi selama masa kecilku. Aku membayangkan apa yang kulihat di mimpi itu, dan aku merasa Aza menjadi orang pertama yang mau berdiri di sisi bocah kecil yang lusuh hanya untuk melindunginya. Karena itu, tidak peduli apa yang diucapkan Aza saat ini, semua yang dia lakukan padaku tidak akan pernah tergantikan. Mau dia bilang tidak menyelamatkanku, itu tak akan mengubah kenyataan bahwa selama bertahun-tahun damai ini dia melindungiku. Dia selalu menegaskan itu tanpa kata-kata.
Maka aku mengepalkan tangan, menggumamkan tekad.
“Aza.”
“Ya?”
“Sejujurnya aku tidak mau ingat masa laluku.”
“Kenapa tidak? Kau tidak mau ingat keluarga aslimu?”
“Mungkin hanya sakit yang kurasakan. Keluargaku ada di pondok ini.”
Aza terdiam. Mungkin dia juga ingat apa yang terjadi saat menemukanku.
Seburuk-buruknya pengetahuanku tentang gang kecil tempat aku ditemukan itu, aku tahu kalau barangkali bocah kecil delapan tahun itu sudah menetap di dalam dinginnya kegelapan selama berbulan-bulan lamanya. Dengan kondisi yang begitu memprihatinkan—penuh luka lebam, kurus kering, baju compang-camping, wajah kehilangan harapan hidup—mana mungkin aku punya masa lalu yang bisa diingat dengan canda tawa lebar. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada orang tuaku, tetapi kalau dibolehkan memilih, aku akan membiarkan ingatan itu hilang, hanya untuk membuat semua memori yang kuukir bersama Aza dan Nenek terus membekas jauh di dalam benakku. Jadi, ketika tiba hari di mana aku bisa membicarakan masa lalu, aku hanya akan menceritakan betapa menyenangkannya membakar ikan di tengah satu hutan pinus yang hening, dingin, tetapi juga menghangatkan.
Aku sadar apa yang kutakuti: aku tidak mau memori ini berakhir.
Ketika Nenek pergi, aku tahu semua tidak akan terasa seperti dulu. Pondok yang selalu menyambutku ini, entah bagaimana kehilangan seberkas cahaya. Ketika sekujur tubuhku bersimbah keringat setelah berlari menyusuri gunung, aku masih bisa membayangkan adanya dua orang yang menanti di beranda pondok, menatap matahari terbit yang menembus dahan-dahan pinus sembari mengangkat dua gelas jus dingin—dengan Nenek yang mengupas buah dari pohon, dan Aza yang tertawa, “Mau pingsan?” katanya. Ya. Tentu saja aku masih ingat memori-memori itu ketika duduk di beranda yang sama dalam pondok yang diterpa mentari terbit. Semua itu masih dalam tempat yang sama—aku masih dalam ruang-waktu yang sama.
Namun, kini, ketika aku duduk bersama Aza, menatap ke arah yang persis sama seperti ingatan itu, aku merasa penuh pilu. Kami kehilangan, dan mau berapa lama itu berlalu, keberadaan Nenek yang hilang selalu dipaksa tetap hadir di tengah kebersamaan seolah tidak satu pun dari kami ingin pergi dari memori indah.
“Aku pasti bisa jadi lebih kuat darimu,” kataku. “Karena itu, tunggu.”
“Iya,” gumamnya. “Kutunggu, kok. Mau berapa lama?”
“Secepatnya.”
“Kau yang paling tahu aku benci pembohong.”
“Iya. Tapi kalau kau tahu manusia, berarti kau tahu masa laluku, kan?”
Aku benci pertanyaan mendadak, tetapi aku perlu mengatakannya. Hanya saja, Aza yang kukenal bisa menyembunyikan itu sebaik mungkin. Dia hanya mulai memunculkan senyum kecil, membiarkanku menatap ke bola matanya yang penuh rahasia. “Tidak tahu. Tapi aku selalu memerhatikanmu jauh lebih hebat dari yang kau kira. Kau ingat saat kembali dari lari pagi dan sikumu penuh darah yang kau bilang diserang monyet dan kau mengalahkannya?”
“...ingat.”
“Dan kau ingat siapa yang menangis saat itu?”
Aku terdiam sejenak. “Kau.”
“Jadi, aku yakin kalau kita bisa bertemu lebih cepat, aku juga akan segera membawamu pergi, agar kita bisa merasakan kehidupan ini jauh lebih lama. Kita bisa lebih lama bercanda tawa dengan Nenek, dan bahagia.”
Aku kehilangan kata-kata begitu saja.
Namun, dalam hening, aku selalu mempelajari pola bicara Aza. Kalau dia terpojok, dia selalu membungkamku dengan kata-kata yang tidak akan bisa kubalas karena kalau aku terus membalas, satu-satunya yang terluka adalah Aza. Barangkali dia akan mulai menangis, dan aku tidak akan sanggup menghadapi situasi itu. Jadi, ketika dia mengatakan itu, aku tahu Aza menyembunyikan banyak hal, yang kurasa dalam suatu masa juga membuatku sadar kalau dia memang tidak mengizinkanku untuk tahu. Itu kebohongan yang aku yakin dia buat untuk melindungiku. Terlepas dari apa yang terjadi, aku punya utang budi yang tidak bisa dibalas padanya.
Kalau begitu, siapa sebenarnya Aza?
Dan mengesampingkan semua perilakunya yang penuh rahasia, dia berhasil membuatku mengingat semua yang perlu kuingat. Barangkali seperti yang Nenek bilang, Aza tahu apa yang lebih baik untukku lebih dari siapa pun. Jadi, tentu aku tidak mau kehilangan orang yang benar-benar bisa peduli padaku melebihi apa yang kubayangkan. Aku tidak mau kehilangan dia.
Jadi, ketika mengetahui Aza akan pergi, aku tidak bisa menerima itu.
Aku tidak siap, dan tidak akan pernah siap.
Dan aku menyesal bahwa ketika hari perpisahan kami benar-benar tiba, aku tidak mempersiapkan diri hanya untuk mengucap selamat tinggal dengan baik.
Sapi terakhir yang kami miliki adalah sapi potong. Satu-satunya sapi terakhir yang ada setelah Aza pergi. Tidak ada lagi hewan ternak, hanya aku, pondok hening, dan sapi yang tidak lagi bernafsu mengeluarkan suara. Dia selalu yang paling keras berontak saat akan disembelih, jadi dia menjadi satu-satunya yang bertahan. Dan dia hanya duduk—atau tidur—di tengah terpaan mentari. Sepertinya sejak waktu yang tidak kusadari, semangatnya telah hilang. “Aku bisa menyembelihmu, tapi aku tidak mau ditendang,” kataku. Saat itu pagi yang cerah, dan aku berdiri di depan kandangnya, mengamati sapi yang tidak bergerak, hanya melihatku dengan lirikan yang sungguhan mirip dengan apa yang kulihat saat bercermin. Jadi, aku menghela napas. “Aku mau turun gunung. Kalau tidak disembelih, kau bisa mati kesepian.” Dia membalasku dengan dengusan. “Oke. Nanti sore kau kusembelih.” Betul. Aza yang mengajariku menyembelih. Dia selalu bilang, “Kalau tidak disembeli
Tiba-tiba saja aku berada di kerumunan yang bersorak.Kerumunan yang sangat padat. Manusia berkumpul di sekelilingku. Depan, belakang, samping—semua orang bersorak menghadap ke arah yang sama. Suasana terasa meriah. Lampu-lampu bersinar berwarna-warni dari arah depan. Merah, biru, hijau, dan berbagai warna lain yang sering kulihat di pelangi. Semua orang tertawa, bernyanyi dengan penuh semangat. Dan mereka—orang-orang berpenampilan aneh layaknya kekurangan bahan bernyanyi sangat merdu di panggung.Aku tidak pernah melihat kerumunan orang sebanyak ini.Seseorang di sampingku melompat kegirangan dengan tawa bahagia. Suara terdengar begitu berisik, tetapi melantunkan irama yang membuat hatiku bergetar. Aku tidak bisa melihat jelas. Tinggiku tidak sampai, tetapi suara keras yang jelas terdengar membuatku bisa mengerti seberapa hebatnya penyanyi.Cahaya warna-warni itu terus berkedip, mengelilingi kejauhan.Semua orang bersorak, tetapi tidak
Mataku terbuka beriringan dengan derak kilat yang memancar.Dan berturut-turut semua mulai kurasakan: telingaku mendengar gemuruh di kejauhan, mataku menemukan lilin di sudut. Dan aku kembali. Di dalam pondok. Di luar hujan, bahkan seperti badai. Punggungku berkeringat—wajah atau mungkin sekujur tubuh. Aku berusaha mengembalikan semua. Kesadaran, pernapasan, dan fokus mataku. Setelah semua kembali terasa, aku terlonjak begitu saja.Mimpi.Dan pondok diguncang badai.Suara kilat saling sahut menyahut. Atap seperti berguncang akan terbang. Angin membuat jendela berderak. Semestinya aku ngeri. Namun, mataku menatap kosong. Semua seperti tidak lagi nyata. Tidak ada yang bisa kurasakan.Aku turun dari ranjang, melihat buku catatan bersampul hitam.Itu buku harian tua yang kutemukan di kamar Aza. Kupikir itu buku harian Aza atau catatan yang dia tulis selama tinggal denganku, tetapi ketika aku membuka sampul yang sudah kelewat tua seolah ter
Ini pertama kali aku berlari ke barat menuruni gunung.Aku berlari di depan tekadku untuk berduka. Kurasa inilah yang dimaksud Aza dengan latihan. Itu membuatku berhasil menang melawan beruang. Dan satu rangkaian pelatihan gila dari puncak bukit sampai pondok dua kali sehari juga agak berhasil membuat napasku panjang. Fisikku kuat. Aku bisa berlari jauh.Penampilan hutan ini mirip hutan hujan tropis yang kulihat di buku. Rawa di mana pun setiap kaki melangkah. Kabut tipis menutupi pandangan, yang terlihat bertambah parah karena ribuan rintik hujan mendistorsi pandangan. Air hujan mulai merembes masuk ke pakaianku—efek dari pertarungan dan jas hujan yang memang tidak terlalu membantu. Hawa dingin mulai terasa, entah itu karena hujan atau bulu kudukku yang terus aktif. Kurasa hanya saat inilah aku bisa membanggakan semua yang kusebut sebagai kemampuan khusus. Aku bisa memahami struktur tanah mana yang tepat untuk diinjak, batu-batuan yang tidak akan hancur saat kul
Aku hampir kewalahan ketika Dalton bertanya bagaimana aku hidup.Maksudku, aku tidak bisa bilang kalau sudah tinggal di pondok hebat, yang punya segala perabotan indah—yang secara teknis pasti merupakan hal paling aneh. Dia bercerita seolah sudah diserang monster berhari-hari sejak dia keluar. Jadi, saat aku bilang, “Kurasa aku jarang bertemu monster seperti itu.”Dia terkejut setengah mati. “Jarang? Mustahil. Pemilik kemampuan pasti diserang monster mitologi. Mereka benci kita.”“Benci?”“Kita pengganggu alam liar. Itu yang kutahu.”Aku selalu gagal mengerti tentang alam liar seolah pemandangan hutan ini punya nyawa tersendiri. Dia bisa menolak kehadiran seseorang, membenci, bahkan yang paling ekstrem, alam liar punya kemampuan membunuhku. Rasanya seperti tinggal dalam perut monster yang siap mencernamu.Jadi, untuk mengamankan posisi, kubilang, “Aku pernah bertemu makhluk sejenis.
Gagasan tidur di tempat yang tidak bersahabat sepertinya mustahil bagiku.Berjaga sepanjang malam juga tampaknya tidak cocok denganku, jadi yang kulakukan ketika Dalton menikmati mimpinya, adalah membuka buku harian lama yang kutulis di usia delapan tahun. Tulisan di buku ini sudah hampir hancur ketika pertama kutemukan, dan setelah melewati pertarungan di tengah badai, semestinya tidak aneh beberapa halaman hancur karena air merembes masuk. Beberapa tulisan juga semakin tak terbaca karena—jelek, dan tintanya pudar—sempurna.Setidaknya aku bisa mengumpat pada diriku yang kulupakan karena dengan polosnya tidak menuliskan siapa nama adikku, ibuku, atau ayahku. Tidak ada satu pun petunjuk tentang keluargaku. Kalau bisa memutar balik waktu, kurasa aku akan menonjok bocah ini. Anak polos apa yang memilih mengumpat penculik dibanding menulis nama adiknya? Aku tidak habis pikir, tetapi dia ini aku.Jadi, aku terjaga sampai pagi tiba.Dan sepertinya D
Sepanjang siang, Dalton menyelesaikan alatnya, sementara aku berburu.Jadi, setelah kami menyelesaikan makan malam—dan serius, aku tidak mau makan kalau hewan buruannya tidak disembelih yang menurut Dalton itu aneh dan tidak praktis—Dalton bilang ingin menyelesaikan alatnya—yang secara teknis akan membuatnya lembur. “Kau tidur saja. Kita berangkat besok,” katanya.“Kau yakin?”“Di tempatku kembali, aku meninggalkan semacam alat pada saudaraku.”Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut seperti apa saudaranya atau sejenisnya, jadi ketika dia memberikan kantung tidurnya, aku segera mengambil posisi di ujung dan memejamkan mata sesegera mungkin.Beruntungnya, aku bermimpi.Aku menyusuri sungai. Airnya hanya semata kaki, tetapi bebatuan sungai yang ukurannya lumayan membuat kakiku berulang kali kehilangan pijakan. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku, tetapi napasku memburu. Suasananya gelap. Seperti
Tidak ada waktu untuk istirahat, jadi sepanjang malam sampai langit terlihat terang, kami menyusuri jalan yang ditunjuk alat buatan Dalton. “Kompas,” katanya. “Tapi hanya mengarah ke satu titik.” “Padang Anushka?” “Iya. Sayangnya, jauh. Kita mungkin butuh seharian jalan.” “Aku mau tidur tenang.” Itu pertama kalinya aku melihat penampakan selain hutan. Aku sungguhan melihat apa yang tertulis di buku: gedung-gedung yang sangat tinggi, rumah-rumah yang bukan pondok, jalanan yang disebut trotoar, dan aspal meskipun pecah-pecah. Sekarang semua jelas. Tak bisa kubayangkan semua ini sama seperti 500 tahun lalu. Ketika aku menatap kemustahilan itu, Dalton bilang, “Alam menjaganya.” “Apa?” “Peradaban selama 500 tahun. Kau pasti tahu itu.” Baru kuingat aku tidak pernah menyinggung tentang 500 tahun lalu. Selama beberapa saat, aku berpikir mau berbohong, tetapi tampaknya Dalton juga tahu itu. “Kau juga tahu itu?” ucapku. “Oh, maks
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak