Suara Mika terdengar.
“Kalau kau Dhiena yang pura-pura mengetuk, aku takkan mau bicara lagi. Sudah kubilang aku baik-baik saja. Berapa kali aku harus bilang?”
Aku mulai agak ragu setelah mendengar nada bicaranya, tetapi kuputuskan bicara dengan suara sebaik yang bisa kulakukan. “Em, ini aku.”
Hening sejenak.
“...Forlan?”
“Em, ya, aku.”
“Dhiena bersamamu?”
“Aku bahkan tidak tahu dia di mana. Sumpah. Percayalah.”
“Masuklah,” sahutnya, tanpa ragu. “Tidak dikunci.”
Aku menarik napas panjang, mengembuskannya, lalu menatap pintu tepat di depanku. Kudorong gagang pintunya, merasakan udara beraroma Mika berembus keluar dan—kain berserakan di lantai. Mika duduk di meja jahit, terdengar suara mesin—dia memakai kacamata, penampilannya lumayan normal untuk orang yang jarang kelihatan dan—aku terdiam menatap sebelahnya.
Mika awalnya sempat menolak ikut, Reila meyakinkannya lagi ketika aku membereskan kain-kain yang berserakan. Sungguh, sejak tadi aku tidak tahan lihat tempat ini berantakan, jadi saat Reila meyakinkan Mika, aku sampai menyelesaikan melipat dan menggulung banyak kain ke tempat asal. Reila sampai menuntut, “Gila. Orang ini malah bersih-bersih. Bantu aku membujuk dia!”“Di sana pasti banyak dewan,” gumam Mika.“Justru kau itu orang kedua yang harus menemuinya setelah Dokter Gelda,” kataku. “Aku ingat di misi pertamaku Lavi tidak muncul saat banyak dewan ada di klinik. Aku kecewa. Aku tidak kenal Leo, tapi mari anggap seperti itu.”“Dia pasti kaget melihatmu sudah secantik ini,” kata Reila. “Ayo.”Akhirnya, Mika mau dan terkejut melihat meja dan lantai di sekitarnya. “Ya ampun, sejak kapan tempat ini jadi rapi? Tunggu, Reila, biarkan aku menata diri.”Aku menunggu di lu
Ada citra dalam ingatan roh alam yang selalu kuingat.Saat itu malam. Ruangannya gelap, lampu tidak menyala. Aku terlapiskan selimut, di bawah kepalaku ada bantal empuk, kasurnya juga empuk—semestinya aku bisa tidur cepat. Namun, benakku tidak tenang, jadi aku hanya terus berguling ke sana kemari, berusaha mencari posisi yang bisa membuatku mengantuk.Namun, tak ada yang berhasil. Reila sudah tidur di kasur sebelah. Biasanya Reila marah kalau aku tertidur lebih dulu, tetapi kalau dia sudah tidur, dan aku tidak bisa tidur, dia menangis kalau dibangunkan. Kesal dengan diriku sendiri, aku ingin meneguk air. Aku berjalan keluar kamar, lampu ruangan sebagian sudah mati, tetapi aku berhasil sampai di lemari pendingin, mengambil segelas minum, lalu kembali. Sebenarnya meneguk air tidak terlalu berpengaruh, tetapi masih kucoba.Aku mulai menenggelamkan diriku dalam selimut, mencoba tertidur dengan menutup seluruh tubuh. Panas. Ini ide buruk—dan tiba-tiba pin
Ada jeda beberapa detik kekosongan setelah Leo mengucap kabar soal Ibu.Kepalaku berhenti berproses. Mataku menatap dia begitu kaku. Rangkaian suara berpacu bercampur di benakku. Segalanya berputar-putar. Aku tidak mampu menggapai apa yang sebenarnya terjadi.Apa? Bibi Meri itu Ibu, kan?Ibu... masih hidup?Benakku bergetar. Mustahil.Sulit bagiku menatap Leo. Tiba-tiba apa yang di depanku bukanlah ruangan itu lagi. Tiba-tiba segalanya memudar oleh pendar putih. Aku teringat lagi dengan mimpi terakhir tentang Ibu yang kudapatkan. Ibu... ada di detik-detik terakhirnya. Ibu terkulai lemas di punggung Esgar, tidak bisa lagi bergerak, kesadarannya sudah tipis, dan dia menatapku—yang bahkan tidak benar-benar di sana—dengan sorot yang sudah hampir menutup. Ibu di sana, menggumamkan namaku di detik terakhir. Ibu di sana—menantiku untuk menjemputnya. Ibu sedang menanti.Benarkah mimpi itu bukan sekadar mimpi?Benarkah Ibu me
Sebenarnya tak lama setelah Reila berhasil tidur, pintu gerha kami diketuk. Aku tidak mau menggunakan kemampuanku hanya untuk memeriksa siapa di luar. Toh, aku tidak berniat membuka pintu. Dia mengetuk lagi—kuhargai caranya untuk bertamu karena dia tak memencet bel. Itu artinya, dia tahu kondisi kami. Aku tetap diam, dan tiba-tiba pintu kaca belakang yang sekarang diketuk.“Aku sudah dengar beritanya,” kata Dalton. “Aku bersama Yasha. Aku tahu sulit menerima semuanya. Mau seberapa kacaunya dirimu, kau tidak pernah sampai menutup dirimu seperti ini. Jadi, kalau kau butuh seseorang untuk bicara, kami ada di sini. Kami di sini sampai jam makan malam.”Aku diam, tidak menjawab. Aku duduk di sofa tengah, Reila tidur lelap di pangkuanku, jadi aku tidak ingin bergerak. Di luar masih cerah, sehingga aku bisa lihat siluet mereka dari balik tirai. Mereka tidak berusaha mengintip ke dalam, cuma berdiri, terdiam beberapa saat, lalu duduk di selasar. F
Keesokan paginya, setelah berhasil terbangun cukup normal, kami dipaksa menyantap piring-piring penuh masakan Lavi. Reila tidak bermimpi apa pun, tetapi entah bagaimana caranya dia merasa ditenangkan. Kubilang aku tidak melakukan apa-apa dan dia tidak mau percaya.“Lavi memberitahuku kalau Ibu masih hidup,” gumam Reila. “Kak, aku—aku sulit percaya. Kalau tahu begini, harusnya aku patroli sejak lama.”“Kalau kau saja berpikir begitu, bagaimana dengan Bibi Merla atau Jenderal yang terus berkeliaran di alam liar? Mereka selalu patroli, tapi tidak menemukan Ibu. Kurasa takkan ada yang berubah meski kau patroli sejak lama.”Saat itu Lavi masih mandi. Lagi-lagi di gerha kami. Fal masih belum pulang. Kurang lebih hanya kami yang menyantap setumpuk makanan Lavi.Reila menatapku. “Kakak tidak menyesal?”“Karena?”“Tidak tahu Ibu selama ini masih hidup.”“Aku me
Leo berbeda dengan Irene dan Niko yang benar-benar harus menjalani masa pemulihan dan menjauh dari segala bentuk garis depan. Di mataku, meski fisiknya cukup kurus dan jelas bakal membuat tim tungku prihatin, dia punya bola mata yang masih dipenuhi bara api pertempuran. Barangkali itu juga disadari Dokter Gelda—atau Isha, atau siapa pun yang merawatnya. Cara Leo menatap sesuatu, bola mata itu mengingatkanku akan hewan buas yang siap menerkam mangsanya kapan pun. Barangkali itu efek berada di alam liar selama tujuh tahun.Jadi, Leo sudah tahu semuanya. Dokter Gelda dan Isha menceritakan semua yang terjadi di Padang Anushka sejak dia hilang. Dia tahu apa yang terjadi setelah kedatanganku, mulai kedatangan Falesha, pengkhianat, sampai Irene dan Niko. Aku tidak tahu dia sudah tahu sejauh blasteran atau tidak, tetapi dia menyebutnya sekali. “Aku juga sedikit tahu tentang manusia setengah monster.”Dia mulai menjelaskan apa yang terjadi padanya setelah meny
Setelah mendengar kabar tentang Ibu, fakta penghuni yang hilang di danau Pulau Pendiri itu sebenarnya kurang memiliki daya kejut, tetapi aku tetap terkejut.Aku teringat semua larangan Dokter Gelda tentang danau Pulau Pendiri dan tiba-tiba aku mulai mencocokkan semuanya. Dia yang paling memperingatiku dan Lavi soal terombang-ambing di danau. Dia yang paling menentang saat kami sering berduaan di danau kano. Dan sejauh yang kuingat, Dokter Gelda juga jarang sekali kutemui di danau—bahkan sekadar di pinggirnya meski klinik tepat di depannya.Kurasakan sekarang semua punya arti.Dokter Gelda kehilangan putrinya di danau itu.“Dia masih tujuh tahun sewaktu hilang,” kenang Leo. “Dia marah pada Ratu Arwah kenapa baru memperbaiki pelindungnya saat itu. Kalau dia bisa lebih cepat memperbaiki pelindungnya, mungkin kami tidak perlu kehilangan ayah dan kakak kami. Dia lepas dari pengawasan. Dia berlayar sendirian di danau itu.”S
Begitu kami keluar ruangan, di ruang tengah hanya tersisa tiga orang.Dokter Gelda, Mika, dan Lavi. Kurang lebih, Lavi langsung berdiri melihat kami keluar. Kurasa kami keluar dengan cara cukup normal. Aku mengangkat alis, mengulas senyum kecil—yang bisa membuat Lavi berhasil berekspresi lega. Kami menghampirinya. Dan Lavi ternyata belum benar-benar menghapus kecemasannya. Dia berdiri di depanku, memegang pipiku. “Oh tidak, aku tahu kau sangat kacau.” Dan dia memelukku. Aku tak mau bohong, aku menggapainya.Setelahku, Lavi memeluk Reila.“Kau sudah tahu semuanya sekarang, Forlan?” tanya Dokter Gelda.Harusnya aku memikirkan kondisi Ibu, tetapi melihat Dokter Gelda—tanpa sadar membuatku teringat soal putrinya. Dia kehilangan putra-putrinya—suaranya yang itu masih menggema jelas di kepalaku. “Lumayan,” jawabku.“Keadaan ini sulit dipercaya,” dia menggeleng.“Kalian kelihat
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan