Ada citra dalam ingatan roh alam yang selalu kuingat.
Saat itu malam. Ruangannya gelap, lampu tidak menyala. Aku terlapiskan selimut, di bawah kepalaku ada bantal empuk, kasurnya juga empuk—semestinya aku bisa tidur cepat. Namun, benakku tidak tenang, jadi aku hanya terus berguling ke sana kemari, berusaha mencari posisi yang bisa membuatku mengantuk.
Namun, tak ada yang berhasil. Reila sudah tidur di kasur sebelah. Biasanya Reila marah kalau aku tertidur lebih dulu, tetapi kalau dia sudah tidur, dan aku tidak bisa tidur, dia menangis kalau dibangunkan. Kesal dengan diriku sendiri, aku ingin meneguk air. Aku berjalan keluar kamar, lampu ruangan sebagian sudah mati, tetapi aku berhasil sampai di lemari pendingin, mengambil segelas minum, lalu kembali. Sebenarnya meneguk air tidak terlalu berpengaruh, tetapi masih kucoba.
Aku mulai menenggelamkan diriku dalam selimut, mencoba tertidur dengan menutup seluruh tubuh. Panas. Ini ide buruk—dan tiba-tiba pin
Ada jeda beberapa detik kekosongan setelah Leo mengucap kabar soal Ibu.Kepalaku berhenti berproses. Mataku menatap dia begitu kaku. Rangkaian suara berpacu bercampur di benakku. Segalanya berputar-putar. Aku tidak mampu menggapai apa yang sebenarnya terjadi.Apa? Bibi Meri itu Ibu, kan?Ibu... masih hidup?Benakku bergetar. Mustahil.Sulit bagiku menatap Leo. Tiba-tiba apa yang di depanku bukanlah ruangan itu lagi. Tiba-tiba segalanya memudar oleh pendar putih. Aku teringat lagi dengan mimpi terakhir tentang Ibu yang kudapatkan. Ibu... ada di detik-detik terakhirnya. Ibu terkulai lemas di punggung Esgar, tidak bisa lagi bergerak, kesadarannya sudah tipis, dan dia menatapku—yang bahkan tidak benar-benar di sana—dengan sorot yang sudah hampir menutup. Ibu di sana, menggumamkan namaku di detik terakhir. Ibu di sana—menantiku untuk menjemputnya. Ibu sedang menanti.Benarkah mimpi itu bukan sekadar mimpi?Benarkah Ibu me
Sebenarnya tak lama setelah Reila berhasil tidur, pintu gerha kami diketuk. Aku tidak mau menggunakan kemampuanku hanya untuk memeriksa siapa di luar. Toh, aku tidak berniat membuka pintu. Dia mengetuk lagi—kuhargai caranya untuk bertamu karena dia tak memencet bel. Itu artinya, dia tahu kondisi kami. Aku tetap diam, dan tiba-tiba pintu kaca belakang yang sekarang diketuk.“Aku sudah dengar beritanya,” kata Dalton. “Aku bersama Yasha. Aku tahu sulit menerima semuanya. Mau seberapa kacaunya dirimu, kau tidak pernah sampai menutup dirimu seperti ini. Jadi, kalau kau butuh seseorang untuk bicara, kami ada di sini. Kami di sini sampai jam makan malam.”Aku diam, tidak menjawab. Aku duduk di sofa tengah, Reila tidur lelap di pangkuanku, jadi aku tidak ingin bergerak. Di luar masih cerah, sehingga aku bisa lihat siluet mereka dari balik tirai. Mereka tidak berusaha mengintip ke dalam, cuma berdiri, terdiam beberapa saat, lalu duduk di selasar. F
Keesokan paginya, setelah berhasil terbangun cukup normal, kami dipaksa menyantap piring-piring penuh masakan Lavi. Reila tidak bermimpi apa pun, tetapi entah bagaimana caranya dia merasa ditenangkan. Kubilang aku tidak melakukan apa-apa dan dia tidak mau percaya.“Lavi memberitahuku kalau Ibu masih hidup,” gumam Reila. “Kak, aku—aku sulit percaya. Kalau tahu begini, harusnya aku patroli sejak lama.”“Kalau kau saja berpikir begitu, bagaimana dengan Bibi Merla atau Jenderal yang terus berkeliaran di alam liar? Mereka selalu patroli, tapi tidak menemukan Ibu. Kurasa takkan ada yang berubah meski kau patroli sejak lama.”Saat itu Lavi masih mandi. Lagi-lagi di gerha kami. Fal masih belum pulang. Kurang lebih hanya kami yang menyantap setumpuk makanan Lavi.Reila menatapku. “Kakak tidak menyesal?”“Karena?”“Tidak tahu Ibu selama ini masih hidup.”“Aku me
Leo berbeda dengan Irene dan Niko yang benar-benar harus menjalani masa pemulihan dan menjauh dari segala bentuk garis depan. Di mataku, meski fisiknya cukup kurus dan jelas bakal membuat tim tungku prihatin, dia punya bola mata yang masih dipenuhi bara api pertempuran. Barangkali itu juga disadari Dokter Gelda—atau Isha, atau siapa pun yang merawatnya. Cara Leo menatap sesuatu, bola mata itu mengingatkanku akan hewan buas yang siap menerkam mangsanya kapan pun. Barangkali itu efek berada di alam liar selama tujuh tahun.Jadi, Leo sudah tahu semuanya. Dokter Gelda dan Isha menceritakan semua yang terjadi di Padang Anushka sejak dia hilang. Dia tahu apa yang terjadi setelah kedatanganku, mulai kedatangan Falesha, pengkhianat, sampai Irene dan Niko. Aku tidak tahu dia sudah tahu sejauh blasteran atau tidak, tetapi dia menyebutnya sekali. “Aku juga sedikit tahu tentang manusia setengah monster.”Dia mulai menjelaskan apa yang terjadi padanya setelah meny
Setelah mendengar kabar tentang Ibu, fakta penghuni yang hilang di danau Pulau Pendiri itu sebenarnya kurang memiliki daya kejut, tetapi aku tetap terkejut.Aku teringat semua larangan Dokter Gelda tentang danau Pulau Pendiri dan tiba-tiba aku mulai mencocokkan semuanya. Dia yang paling memperingatiku dan Lavi soal terombang-ambing di danau. Dia yang paling menentang saat kami sering berduaan di danau kano. Dan sejauh yang kuingat, Dokter Gelda juga jarang sekali kutemui di danau—bahkan sekadar di pinggirnya meski klinik tepat di depannya.Kurasakan sekarang semua punya arti.Dokter Gelda kehilangan putrinya di danau itu.“Dia masih tujuh tahun sewaktu hilang,” kenang Leo. “Dia marah pada Ratu Arwah kenapa baru memperbaiki pelindungnya saat itu. Kalau dia bisa lebih cepat memperbaiki pelindungnya, mungkin kami tidak perlu kehilangan ayah dan kakak kami. Dia lepas dari pengawasan. Dia berlayar sendirian di danau itu.”S
Begitu kami keluar ruangan, di ruang tengah hanya tersisa tiga orang.Dokter Gelda, Mika, dan Lavi. Kurang lebih, Lavi langsung berdiri melihat kami keluar. Kurasa kami keluar dengan cara cukup normal. Aku mengangkat alis, mengulas senyum kecil—yang bisa membuat Lavi berhasil berekspresi lega. Kami menghampirinya. Dan Lavi ternyata belum benar-benar menghapus kecemasannya. Dia berdiri di depanku, memegang pipiku. “Oh tidak, aku tahu kau sangat kacau.” Dan dia memelukku. Aku tak mau bohong, aku menggapainya.Setelahku, Lavi memeluk Reila.“Kau sudah tahu semuanya sekarang, Forlan?” tanya Dokter Gelda.Harusnya aku memikirkan kondisi Ibu, tetapi melihat Dokter Gelda—tanpa sadar membuatku teringat soal putrinya. Dia kehilangan putra-putrinya—suaranya yang itu masih menggema jelas di kepalaku. “Lumayan,” jawabku.“Keadaan ini sulit dipercaya,” dia menggeleng.“Kalian kelihat
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak