Share

495. ALBUM #4

last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-28 14:00:26

Kepulangan tim Dalton dan Elton agaknya menimbulkan keresahan.

Saat itu sudah sore dan titik hampir berpindah lagi. Dalton dan Elton belum kelihatan batang hidungnya. Jesse sampai ambil bagian di bukit perbatasan. Jarang sekali dia ikut menunggu di pondok perbatasan—setidaknya, sejak rangkaian misi ini dimulai, Jesse jarang mengantar dan menyambut punggawa misi lagi. Dan aku baru sadar kalau di dalam pondok perbatasan ada alat mirip pendeteksi gelombang perpindahan Padang Anushka seperti di ruangan tim peneliti. Jesse sudah sejak tadi berdiam di sana, terus menggerutu dan menggebrak meja. “Ke mana mereka?!”

“Tenang,” kata Lavi.

Pondok perbatasan terlihat luas dari luar, tetapi dalamnya tetap saja sempit. Aku beberapa kali masuk, tetapi tidak sampai ke bagian paling dalam. Pondok itu punya tiga ruangan utama. Ruangan tengah yang paling luas—tempat Dokter Gelda biasanya melakukan pemeriksaan, lalu ruang paling kanan—tempat

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   496. ALBUM #5

    Keesokan harinya, setelah jam sarapan, Haswin menyeretku ke danau kano. “Mumpung libur, kau harus bantu cari bahan buat pesta api unggun.”Aku bisa saja kabur ke tempat Lavi—yang rasanya ada di pondok utama—tetapi dengan bodoh kubilang, “Aku mau ke Kara,” dan tiba-tiba orangnya bicara di belakangku. “Kau mencariku, Nak?”Aku menyesal mengucap nama Kara, bukannya Lavi—meski aku memang punya topik yang harus kubicarakan dengan Kara. Jarang sekali Kara terlibat acara memancing geng idiot dari awal. Dan saat kupikirkan Dalton tidak ikut, dia ternyata membawa satu set peralatan memancing milik Haswin. Dia tiba-tiba muncul dari pekarangan belakang markas tim penyerang bersama Yasha, langsung mengarah ke tempat kano dan mendorong dua kano paling besar.“Kara dengan Dalton dan Forlan,” usul Haswin. “Aku dengan Yasha.”Kami akhirnya menyusun formasi di kano. Aku dan Dalton tidak mau ambi

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Selubung Memori   497. ALBUM #6

    Dua ember Dalton terisi paling terakhir, lalu Haswin mencetuskan kembali merapat. Awalnya tidak ada masalah. Kanoku, Dalton dan Kara lebih dulu, dengan Dalton posisi paling depan. Itu membuat dia yang paling pertama melihat.“Ada Kapten di dermaga.”Tampaknya di kano kami hanya Dalton yang bisa melihat jelas Lavi. Bagi darah murni—aku dan Kara—kabut tipis cukup mengaburkan pandangan. Aku tahu di sana ada siluet seseorang—dan aku bisa merasakan Lavi memang di sana, tetapi wujudnya tidak terlalu jelas. Lavi baru tampak cerah ketika kami lumayan dekat dan kabut mulai semakin tipis.Kano kami mengarah ke dermaga. Kano Haswin dan Yasha juga mengikuti. Dan itu memang Lavi. Dia berdiri di ujung dermaga, tersenyum seperti menyambut. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Kami berhenti di ujung dermaga.“Menjemput seseorang?” tanya Dalton, pertama naik ke dermaga.Lavi hanya tersenyum. “Untuk apa lagi aku di sini?

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-01
  • Selubung Memori   498. ALBUM #7

    Pesta api unggun dimulai dan aku selalu kagum bagaimana pesta api unggun tidak pernah terasa salah meskipun diadakan di kondisi yang sangat janggal. Alih-alih terasa canggung, pesta api unggun selalu lebih asyik dari pesta apa pun.Musik di segala penjuru. Api membara di tungku raksasa. Sebagian Mars berkumpul, bernyanyi, berjoget bersama seperti tak punya lagi rasa malu. Sebagian lagi membakar bahan-bahan mentah di tungku pembakaran—tempat paling disukai Fal selama pesta api unggun. Dia selalu di sana dengan suara paling tinggi—paling melengking yang membuat orang lain tergoda ikut menjerit, kecuali Laher.Irene dan Niko juga ikut—tentu saja. Mereka bintang besar pesta kali ini. Haswin membuka pesta api unggun dengan pidato singkat yang tidak didengar oleh siapa pun—semua orang sudah ingin membakar bahan mentah ketika Yasha sudah tergoda mengganti musik latar ke musik dansa. Pada akhirnya, meskipun kondisi Niko belum cukup baik, dia sudah bisa kembali berbaur ke keramaian—Irene dan F

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-06
  • Selubung Memori   499. ALBUM #8

    Jadi, ini yang dirasakan Lavi. Kau bangun di suatu pagi, melakukan semua kegiatan yang sudah semestinya kau lakukan—sarapan dengan daging giling seolah Dhiena lupa semalam semua penghuni baru pesta bakar kalori terbesar sepanjang masa, tetapi kami tetap senang menyantapnya. Hanya Dalton yang protes, “Perutku mual melihat daging lagi, tapi rasanya enak, jadi tak masalah.” Lalu setelah melalui ritual pagi demi menjaga kebugaran tubuh—lari keliling ladang belakang ditambah sedikit peregangan dengan pedang dan panah—tiba-tiba segalanya terasa kosong. Aku tahu apa yang harus kulakukan setelah ini, barangkali menghampiri Jesse atau Profesor Merla untuk membahas sedikit titik yang harus didatangi, tetapi benakku seperti tak ingin pergi. Rasanya benar-benar kosong.Kalau memang ini yang dimaksud Lavi, aku mengalaminya berkali-kali.Siang itu, aku tetap di dalam Joglo, melihat medali-medali misi yang sudah kudapatkan. Sebanyak apa pun medali ini te

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-08
  • Selubung Memori   500. ALBUM #9

    Cukup banyak penghuni yang berkeliaran di padang rumput, terutama saat kami melintas di jam ramai. Kupikirkan kami tak akan terlalu menarik perhatian—sampai kusadari kalau banyak kandidat baru yang mengagumi Mika. Cukup jelas dari cara mereka memandang Mika. Aku cukup kenal dengan cara memandang itu, terutama karena banyak yang memandang Lavi dengan cara sama bahkan saat aku berada di sampingnya. Kuingat lagi, jarang sekali ada penghuni cowok yang dapat perlakuan seperti itu. Kebanyakan para cewek penghuni lama.“Sejak kapan kau dikenali kandidat baru?” tanyaku.“Sejak mereka berkenalan di tim tungku.” Kami sudah mulai naik tangga ke pondok utama. “Cara mereka menatapku lucu sekali.”“Aku jadi tidak nyaman.”“Harusnya itu kata-kataku.”Kami berhasil naik setengah jalan ke pondok utama dengan obrolan ringan yang tenang, sebelum akhirnya seseorang muncul dari arah Pendopo—seolah-

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-09
  • Selubung Memori   501. ALBUM #10

    Aku sedang berjalan beberapa langkah di tanah alam liar yang penuh batang besar melintang ketika menyadari suara pertempuran terdengar di balik pepohonan.Suaranya begitu sengit, tiba-tiba saja kakiku bergerak otomatis ke sumber suara. Dahan-dahan pendek menghalangi jalan, tetapi aku semakin mempercepat langkah, menghalau semua yang menghalangi, dan kakiku semakin bergerak cepat melewati batang melintang super besar yang bertebaran di tiap pijakan. Benakku mendadak berdebar-debar, rasanya ada beban langit dipindahkan ke benakku—dan kepalaku kacau, apa yang kulihat semestinya alam liar, tetapi yang kurasakan hanya kegelapan. Ada kehampaan besar di depan sana.Aku menyambar semak besar, melewati barisan pepohonan sempit, dan di sanalah aku melihat sumber kekacauan.Pertempuran.Kabut—atau debu, tetapi aku tidak yakin di hutan bisa ada debu mengepul sebanyak itu, jadi tampaknya itu butiran tanah yang terangkat karena momentum—bertebaran di

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-11
  • Selubung Memori   502. REMINISENSI #1

    Aku terbangun sembari merasakan jemari-jemari kecil meremas jemariku—dan tanpa sadar tampaknya aku juga balas meremasnya sangat kuat.Mataku terbuka, merasakan sensasi perih yang begitu menyengat di mataku ketika menemukan lampu menyala di langit-langit. Aku tidak ingat pernah tertidur tanpa mematikan lampu—sampai kusadari kalau bentuk langit-langit ruangan yang ini agak berbeda dengan langit-langit kamarku. Kemudian aku merasakan jemari kecil, membawa pandanganku yang perih dan berat ke pemilik tangan itu—lengan yang kecil dan pendek, pundak yang sangat kecil, bentuk wajah yang gemas.Fal.Fal menatapku dengan sorot campur aduk—kurasakan simpati, sedih, takut, cemas, dan semua hal yang membuatnya sedikit cemberut seperti ekspresinya saat menahan tangis. Dengan impulsif, aku mengambil napas—kurasakan benakku agak mengganjal seperti sesuatu mengganggu jalur pernapasanku. Dan tiba-tiba aku juga menarik ingus seperti habis menangis. Hi

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-13
  • Selubung Memori   503. REMINISENSI #2

    Sisa malam habis tanpa ada masalah. Aku tertidur lagi bersama Fal sampai matahari terbit. Fal masih tertidur di sampingku dan mengingat semua yang sudah dia lakukan saat aku bermimpi, aku tidak ingin mengganggunya. Sebenarnya aku ingin menghabiskan pagi di batu nisan Ibu, tetapi memikirkan Fal—aku tahu kalau lebih baik menghabiskan waktu dengannya yang terlelap dibanding di batu nisan yang tidak bisa menyadari keberadaanku lagi. Reila benar. Aku terus memikirkan itu sepanjang malam—Ibu sudah tiada. Mau bagaimana pun juga, Ibu sudah tiada. Barangkali ketika aku selalu terdiam di batu nisannya seolah Ibu bisa mengerti apa yang kurasakan, itu juga bukti bahwa aku tidak bisa menerima kepergiannya.Orang yang diizinkan terus hidup tidak boleh mengerti apa yang terjadi pada keberadaan yang telah tiada—gagasan itu hanya berarti satu: pada dasarnya, orang yang ditinggalkan harus tetap melanjutkan perjalanannya. Aku harus melanjutkan perjalananku. Aku boleh bersedih.

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-15

Bab terbaru

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status