Keesokan harinya, setelah jam sarapan, Haswin menyeretku ke danau kano. “Mumpung libur, kau harus bantu cari bahan buat pesta api unggun.”
Aku bisa saja kabur ke tempat Lavi—yang rasanya ada di pondok utama—tetapi dengan bodoh kubilang, “Aku mau ke Kara,” dan tiba-tiba orangnya bicara di belakangku. “Kau mencariku, Nak?”
Aku menyesal mengucap nama Kara, bukannya Lavi—meski aku memang punya topik yang harus kubicarakan dengan Kara. Jarang sekali Kara terlibat acara memancing geng idiot dari awal. Dan saat kupikirkan Dalton tidak ikut, dia ternyata membawa satu set peralatan memancing milik Haswin. Dia tiba-tiba muncul dari pekarangan belakang markas tim penyerang bersama Yasha, langsung mengarah ke tempat kano dan mendorong dua kano paling besar.
“Kara dengan Dalton dan Forlan,” usul Haswin. “Aku dengan Yasha.”
Kami akhirnya menyusun formasi di kano. Aku dan Dalton tidak mau ambi
Dua ember Dalton terisi paling terakhir, lalu Haswin mencetuskan kembali merapat. Awalnya tidak ada masalah. Kanoku, Dalton dan Kara lebih dulu, dengan Dalton posisi paling depan. Itu membuat dia yang paling pertama melihat.“Ada Kapten di dermaga.”Tampaknya di kano kami hanya Dalton yang bisa melihat jelas Lavi. Bagi darah murni—aku dan Kara—kabut tipis cukup mengaburkan pandangan. Aku tahu di sana ada siluet seseorang—dan aku bisa merasakan Lavi memang di sana, tetapi wujudnya tidak terlalu jelas. Lavi baru tampak cerah ketika kami lumayan dekat dan kabut mulai semakin tipis.Kano kami mengarah ke dermaga. Kano Haswin dan Yasha juga mengikuti. Dan itu memang Lavi. Dia berdiri di ujung dermaga, tersenyum seperti menyambut. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Kami berhenti di ujung dermaga.“Menjemput seseorang?” tanya Dalton, pertama naik ke dermaga.Lavi hanya tersenyum. “Untuk apa lagi aku di sini?
Pesta api unggun dimulai dan aku selalu kagum bagaimana pesta api unggun tidak pernah terasa salah meskipun diadakan di kondisi yang sangat janggal. Alih-alih terasa canggung, pesta api unggun selalu lebih asyik dari pesta apa pun.Musik di segala penjuru. Api membara di tungku raksasa. Sebagian Mars berkumpul, bernyanyi, berjoget bersama seperti tak punya lagi rasa malu. Sebagian lagi membakar bahan-bahan mentah di tungku pembakaran—tempat paling disukai Fal selama pesta api unggun. Dia selalu di sana dengan suara paling tinggi—paling melengking yang membuat orang lain tergoda ikut menjerit, kecuali Laher.Irene dan Niko juga ikut—tentu saja. Mereka bintang besar pesta kali ini. Haswin membuka pesta api unggun dengan pidato singkat yang tidak didengar oleh siapa pun—semua orang sudah ingin membakar bahan mentah ketika Yasha sudah tergoda mengganti musik latar ke musik dansa. Pada akhirnya, meskipun kondisi Niko belum cukup baik, dia sudah bisa kembali berbaur ke keramaian—Irene dan F
Jadi, ini yang dirasakan Lavi. Kau bangun di suatu pagi, melakukan semua kegiatan yang sudah semestinya kau lakukan—sarapan dengan daging giling seolah Dhiena lupa semalam semua penghuni baru pesta bakar kalori terbesar sepanjang masa, tetapi kami tetap senang menyantapnya. Hanya Dalton yang protes, “Perutku mual melihat daging lagi, tapi rasanya enak, jadi tak masalah.” Lalu setelah melalui ritual pagi demi menjaga kebugaran tubuh—lari keliling ladang belakang ditambah sedikit peregangan dengan pedang dan panah—tiba-tiba segalanya terasa kosong. Aku tahu apa yang harus kulakukan setelah ini, barangkali menghampiri Jesse atau Profesor Merla untuk membahas sedikit titik yang harus didatangi, tetapi benakku seperti tak ingin pergi. Rasanya benar-benar kosong.Kalau memang ini yang dimaksud Lavi, aku mengalaminya berkali-kali.Siang itu, aku tetap di dalam Joglo, melihat medali-medali misi yang sudah kudapatkan. Sebanyak apa pun medali ini te
Cukup banyak penghuni yang berkeliaran di padang rumput, terutama saat kami melintas di jam ramai. Kupikirkan kami tak akan terlalu menarik perhatian—sampai kusadari kalau banyak kandidat baru yang mengagumi Mika. Cukup jelas dari cara mereka memandang Mika. Aku cukup kenal dengan cara memandang itu, terutama karena banyak yang memandang Lavi dengan cara sama bahkan saat aku berada di sampingnya. Kuingat lagi, jarang sekali ada penghuni cowok yang dapat perlakuan seperti itu. Kebanyakan para cewek penghuni lama.“Sejak kapan kau dikenali kandidat baru?” tanyaku.“Sejak mereka berkenalan di tim tungku.” Kami sudah mulai naik tangga ke pondok utama. “Cara mereka menatapku lucu sekali.”“Aku jadi tidak nyaman.”“Harusnya itu kata-kataku.”Kami berhasil naik setengah jalan ke pondok utama dengan obrolan ringan yang tenang, sebelum akhirnya seseorang muncul dari arah Pendopo—seolah-
Aku sedang berjalan beberapa langkah di tanah alam liar yang penuh batang besar melintang ketika menyadari suara pertempuran terdengar di balik pepohonan.Suaranya begitu sengit, tiba-tiba saja kakiku bergerak otomatis ke sumber suara. Dahan-dahan pendek menghalangi jalan, tetapi aku semakin mempercepat langkah, menghalau semua yang menghalangi, dan kakiku semakin bergerak cepat melewati batang melintang super besar yang bertebaran di tiap pijakan. Benakku mendadak berdebar-debar, rasanya ada beban langit dipindahkan ke benakku—dan kepalaku kacau, apa yang kulihat semestinya alam liar, tetapi yang kurasakan hanya kegelapan. Ada kehampaan besar di depan sana.Aku menyambar semak besar, melewati barisan pepohonan sempit, dan di sanalah aku melihat sumber kekacauan.Pertempuran.Kabut—atau debu, tetapi aku tidak yakin di hutan bisa ada debu mengepul sebanyak itu, jadi tampaknya itu butiran tanah yang terangkat karena momentum—bertebaran di
Aku terbangun sembari merasakan jemari-jemari kecil meremas jemariku—dan tanpa sadar tampaknya aku juga balas meremasnya sangat kuat.Mataku terbuka, merasakan sensasi perih yang begitu menyengat di mataku ketika menemukan lampu menyala di langit-langit. Aku tidak ingat pernah tertidur tanpa mematikan lampu—sampai kusadari kalau bentuk langit-langit ruangan yang ini agak berbeda dengan langit-langit kamarku. Kemudian aku merasakan jemari kecil, membawa pandanganku yang perih dan berat ke pemilik tangan itu—lengan yang kecil dan pendek, pundak yang sangat kecil, bentuk wajah yang gemas.Fal.Fal menatapku dengan sorot campur aduk—kurasakan simpati, sedih, takut, cemas, dan semua hal yang membuatnya sedikit cemberut seperti ekspresinya saat menahan tangis. Dengan impulsif, aku mengambil napas—kurasakan benakku agak mengganjal seperti sesuatu mengganggu jalur pernapasanku. Dan tiba-tiba aku juga menarik ingus seperti habis menangis. Hi
Sisa malam habis tanpa ada masalah. Aku tertidur lagi bersama Fal sampai matahari terbit. Fal masih tertidur di sampingku dan mengingat semua yang sudah dia lakukan saat aku bermimpi, aku tidak ingin mengganggunya. Sebenarnya aku ingin menghabiskan pagi di batu nisan Ibu, tetapi memikirkan Fal—aku tahu kalau lebih baik menghabiskan waktu dengannya yang terlelap dibanding di batu nisan yang tidak bisa menyadari keberadaanku lagi. Reila benar. Aku terus memikirkan itu sepanjang malam—Ibu sudah tiada. Mau bagaimana pun juga, Ibu sudah tiada. Barangkali ketika aku selalu terdiam di batu nisannya seolah Ibu bisa mengerti apa yang kurasakan, itu juga bukti bahwa aku tidak bisa menerima kepergiannya.Orang yang diizinkan terus hidup tidak boleh mengerti apa yang terjadi pada keberadaan yang telah tiada—gagasan itu hanya berarti satu: pada dasarnya, orang yang ditinggalkan harus tetap melanjutkan perjalanannya. Aku harus melanjutkan perjalananku. Aku boleh bersedih.
Keberangkatan kali ini beda. Ada yang mengantar kami: Lavi.Fal sudah melepas keberangkatan kami di gerha. Dia tidak terlalu melihat keberangkatan kami dengan penuh cemas, dia bahkan secara sadar berkata, “Kalian pasti pulang, jadi sampai bertemu besok.” Lalu meringis tertawa. Jadi, kali ini yang mengantar sampai bukit perbatasan hanya Lavi.“Yah, mungkin tidak ada apa-apa di sana,” katanya, pada kami.“Dua titik,” Reila mengingatkan.“Sebelum ini aku pergi ke dua titik dan tidak ada apa-apa.”“Kami,” koreksiku.“Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu, jangan merajuk begitu.”Sama seperti saat keberangkatanku dengan Lavi, Mister tidak banyak bicara untuk menjelaskan prosedur. Dia hanya mengobrol normal dengan Profesor Merla membicarakan regu Jenderal yang sudah berangkat lebih dulu. Keberangkatan kali ini membawa tiga regu. Regu pertama berisi Nadir dan Jenderal. Reg