Aku ingin menghabiskan waktu hingga jam malam bersama Lavi, tetapi dia harus membantu bedah. Tampaknya dia memang bisa melakukannya.
“Aku tidak apa-apa,” erang Lavi, saat aku bertanya apa yang terjadi. “Dasar Isha. Berlebihan. Aku cuma merawat bunga-bungaku.”
“Itu bukan cuma,” protes Isha. “Ada yang lebih penting. Aku tidak percaya kau menolak permintaan Dokter Gelda hanya untuk itu.”
“Itu bukan hanya. Bunga-bungaku itu gerbang untuk roh alam.”
Isha semakin mengerutkan kening. Dia bisa saja menuntut apa yang tidak dia mengerti, tetapi tampaknya dia sudah cukup lelah, jadi dia mengiyakan. Bunga-bunga di gerha Lavi mungkin memang berhubungan dekat dengan roh alam, tetapi kuharap Isha tidak salah sangka. Mau bagaimana pun juga, kalau Isha benar-benar mengenal Lavi, alasan itu hanya sekadar alasan. Tidak lebih. Lavi juga tahu itu alasan yang buruk, tetapi tetap mengatakannya.
“Kau sunggu
Aku membayangkan apa yang dialami Reila selama sepuluh tahun terakhir.Maksudku, ingatanku tentang Ayah dan Ibu baru kembali empat bulan lalu dan aku sudah berulang kali bermimpi hal yang membangkitkan duka dan nuansa kehilangan dalam benakku. Aku tidak bisa memikirkan seberapa banyak perasaan Reila tersayat karena mimpi terus membangkitkan rasa sayangnya. Belum lagi, di waktu yang sama dia terus mencari keberadaan kakaknya tanpa petunjuk—bahkan meski semua dewan sudah menganggapku tiada, Reila masih memendam harapan. Aku yakin dia begitu terluka karena semua rangkaian yang menumpuk.Itulah mengapa aku tak bisa sembarangan mengaku pada Reila kalau sudah bermimpi tentang Ibu. Selama bertahun-tahun dia tidak bisa mengekspresikan itu—atau mungkin dia bisa karena ada Profesor Merla—tetapi tetap saja, aku tidak bisa tiba-tiba membuatnya terbangun dengan ucapan, “Reila, aku bertemu Ibu.”Aku punya janji pada Fal yang berbunyi: bila aku da
Memasuki jam sarapan, aku membangunkan Lavi.Lavi jarang tidur sampai melebihi jam sarapan. Kecuali aku tidur di sisinya, dia tidak akan bermalas-malasan sampai jam sarapan. Lavi tipe orang yang bangun pagi, memulai aktivitasnya lebih pagi dari siapa pun, lalu tiba-tiba berkeringat saat orang-orang bahkan belum menyentuh gelanggang. Dia jarang tergeletak lelap di kasurnya hingga melewatkan pagi. Semua penghuni tahu andai Lavi tidak kelihatan di awal pagi, berarti penyebabnya satu: aku.Namun, kini bukan aku penyebabnya. Mendapati Lavi tertidur sampai jam sarapan saja sudah cukup membuatku prihatin. Kecerdasan Lavi pasti diperas habis-habisan hingga titik terakhir oleh tim medis.Ketika aku membangunkannya pun, Lavi seperti menolak bangun. Dia agak terganggu sampai akhirnya membuka sedikit matanya.“Ng... Forlan.” Aku tidak bisa memahami nada suaranya yang memanggil atau memastikan ini aku atau bukan, tetapi dia memang masih setengah sadar.
Aku tidak merekomendasikan—dan sebenarnya bersumpah tak akan pernah melihat hasil pembedahan yang dilakukan untuk mencari informasi. Namun, Lavi bilang Dokter Gelda menungguku karena ada hal yang hanya bisa dimengerti dan dirasakan olehku. Aku tidak bisa mengecewakan Dokter Gelda, tetapi hati nuraniku juga tidak mengizinkanku melakukannya. Sayangnya, Lavi meyakinkanku.“Dokter Gelda juga tidak memaksa,” katanya, “tapi kuharap kau mau. Kalau kau butuh imbalan, aku janji memakai gaun itu lagi setelah kau melihatnya.”“Jangan menyogok,” tuntutku.“Tapi kau memang mau melihatku memakainya lagi, kan?”Kubilang aku tidak suka kalau dia menggunakan gaun itu untuk memaksaku mengikuti apa yang dia mau. Aku tidak mau dianggap sebagai orang yang bergerak hanya karena dia mengatakan itu. Dia bilang kalau bercanda, lalu kubilang itu salah satu lelucon yang tidak boleh dia ucapkan lagi. Dia meminta maaf, dan tampakn
Sorenya, Rapat Dewan diadakan.Para dewan sudah berkumpul di Pendopo ketika aku tiba. Bahkan Profesor Merla yang selalu datang terlambat sudah duduk di kursinya, kelihatan mengobrol santai dengan Kara. Jenderal sudah di kursinya. Begitu juga dengan Mister. Dokter Gelda sudah datang, tetapi masih mengobrol dengan Nadir dan Mika di lingkar luar bangku Pendopo. Ketika aku dan Lavi tiba, suasananya lebih mirip diskusi normal. Semua orang sudah tiba. Aku datang bersama Lavi dan pilar tim medis. Sisanya sudah duduk di tempat menanti kelengkapan dewan.Rapat Dewan kali ini mengundang semua kapten dan wakil kapten—kecuali tim stok, sungguh hingga saat ini Aslan belum memilih wakil kaptennya. Aku ingin menyarankan nama Laher agar setidaknya dia tidak kesepian ketika Rapat Dewan. Aslan jarang bicara, tetapi selalu memerhatikan. Kadang aku agak prihatin.Para penghuni dibiarkan beraktivitas. Belakangan, para penghuni sudah tak lagi terikat aturan harus di markas keti
Kurang lebih Rapat Dewan tiba di pembahasan genting lain: Dokter Moya.Dokter Gelda membongkar semua yang berhasil dicari tentang ayah Fal ini. Dokter Gelda juga menjelaskan obrolan kami—aku, Dokter Gelda, dan Profesor Merla—yang kurang lebih melibatkan hubungan pusat medis dengan musuh. Itu cukup memberi gagasan bahwa Dokter Gelda tak lagi percaya pusat medis sebagai pusat pengobatan penghuni Padang Anushka. Agaknya itu membuat banyak dewan bergidik—terutama karena pusat medis merupakan bagian penting kami.“Intinya, pusat medis tempat terduga untuk pengembangan blasteran, kan?” tanya Haswin. “Kalau begitu, mungkin saja tempat itu sudah dikuasai blasteran.”“Kita memang sudah waktunya menjadi independen,” ujar Kara. “Persoalan pengkhianatan ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah punya kecurigaan ini sejak tiga belas tahun lalu, tapi tidak pernah terselesaikan.”“Kita juga punya banyak
Rapat Dewan berakhir saat jam malam tiba.Di titik itu semua orang sudah cukup lelah. Akhirnya, Kara membubarkan dewan, dan Lavi menyeretku ke gerhanya.Aku tidak punya alasan menolak, jadi ketika kami masuk dan Lavi langsung mengobrak-abrik isi kulkasnya, aku duduk di karpet bulu ruangan tengahnya, lalu berbaring mengistirahatkan kepala yang dipaksa memikirkan banyak hal. Rasanya semakin banyak kabar buruk yang kami dapatkan. Urusan Layla saja belum selesai. Harus berapa lama lagi kami menunggunya bangun?“Hm,” gumam Lavi, menatap isi kulkasnya. “Ternyata tidak ada ikan.”“Kau serius mau pesta bakar?” tanyaku.“Kau pikir aku bercanda?”“Aku heran kau masih punya semangat sebesar itu.”“Justru ini bisa mengisi energiku kembali.” Lavi melempar sesuatu dari isi kulkasnya. Suaranya keras. Pasti sesuatu yang beku. “Tidak ada ikan, jadi kita ganti sosis. Aku puny
Keesokan harinya, aku sibuk mengasah belati di gedung penempaan. Bazz sudah pasti di tempat. Dia menempa zirah besi baru. Dia kelihatan senang mendapat pekerjaan itu—pada akhirnya, dia lebih suka berurusan dengan bau besi dibanding aroma buah dan sayur di kebun.Theo juga ada di tempat. Dia berulang kali bertanya padaku tentang pedang, yang berulang kali juga kubilang kalau posisi kami terbalik. Semestinya aku yang banyak bertanya, tetapi entah bagaimana aku juga bisa menjawab—aku mengingat semua yang pernah diajarkan Aza soal pedang, dan itu membuat obrolan kami bisa menyambung. Ketika aku mengasah belati, Theo terus mengajakku bicara.Di tengah itu, tiba-tiba suara Fin menggema—cukup mengagetkan.[“Nadya memanggilmu. Datanglah ke Perbatasan.”]Itu sudah cukup membuatku memandang lokasi Fin—yang membuat Theo bertanya-tanya. Aku berhasil mengalihkan obrolan, tetapi masih terkejut.“Kapan?” ta
“Bibi juga punya bolu kukus, makanlah.” Bibi mengeluarkan begitu banyak camilan dari keranjang piknik. Aku curiga keranjang piknik itu bisa memuat lebih banyak dari yang semestinya terlihat. Tikar kami sampai penuh makanan.Bibi menghentikan obrolan serius sampai aku menyantap mi yang dia buat. Rasanya enak. Ada sesuatu yang bangkit dalam diriku ketika menelannya. Sesuatu seperti kenangan yang membuncah. Itu mendorong euforia dalam diriku hingga aku hampir tertawa. Aku rindu rasa ini. Bibi dulu sering membuatnya.Bibi tampaknya juga sadar. Dia menatapku penuh senyum. “Enak?”“Spesial,” kataku, antusias.Bibi tertawa. “Dasar tukang rayu.”Dalam kilasan cepat, sorot Bibi kelihatan begitu gembira, tetapi juga sedih. Aku bisa membayangkan bahwa inilah yang selalu ingin Bibi lakukan—karena aku juga ingin mengalami ini di tempat yang lebih nyata. Itu membuatku tidak karuan—bahwa kami diizinkan m
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak