Rapat Dewan berakhir saat jam malam tiba.
Di titik itu semua orang sudah cukup lelah. Akhirnya, Kara membubarkan dewan, dan Lavi menyeretku ke gerhanya.
Aku tidak punya alasan menolak, jadi ketika kami masuk dan Lavi langsung mengobrak-abrik isi kulkasnya, aku duduk di karpet bulu ruangan tengahnya, lalu berbaring mengistirahatkan kepala yang dipaksa memikirkan banyak hal. Rasanya semakin banyak kabar buruk yang kami dapatkan. Urusan Layla saja belum selesai. Harus berapa lama lagi kami menunggunya bangun?
“Hm,” gumam Lavi, menatap isi kulkasnya. “Ternyata tidak ada ikan.”
“Kau serius mau pesta bakar?” tanyaku.
“Kau pikir aku bercanda?”
“Aku heran kau masih punya semangat sebesar itu.”
“Justru ini bisa mengisi energiku kembali.” Lavi melempar sesuatu dari isi kulkasnya. Suaranya keras. Pasti sesuatu yang beku. “Tidak ada ikan, jadi kita ganti sosis. Aku puny
Keesokan harinya, aku sibuk mengasah belati di gedung penempaan. Bazz sudah pasti di tempat. Dia menempa zirah besi baru. Dia kelihatan senang mendapat pekerjaan itu—pada akhirnya, dia lebih suka berurusan dengan bau besi dibanding aroma buah dan sayur di kebun.Theo juga ada di tempat. Dia berulang kali bertanya padaku tentang pedang, yang berulang kali juga kubilang kalau posisi kami terbalik. Semestinya aku yang banyak bertanya, tetapi entah bagaimana aku juga bisa menjawab—aku mengingat semua yang pernah diajarkan Aza soal pedang, dan itu membuat obrolan kami bisa menyambung. Ketika aku mengasah belati, Theo terus mengajakku bicara.Di tengah itu, tiba-tiba suara Fin menggema—cukup mengagetkan.[“Nadya memanggilmu. Datanglah ke Perbatasan.”]Itu sudah cukup membuatku memandang lokasi Fin—yang membuat Theo bertanya-tanya. Aku berhasil mengalihkan obrolan, tetapi masih terkejut.“Kapan?” ta
“Bibi juga punya bolu kukus, makanlah.” Bibi mengeluarkan begitu banyak camilan dari keranjang piknik. Aku curiga keranjang piknik itu bisa memuat lebih banyak dari yang semestinya terlihat. Tikar kami sampai penuh makanan.Bibi menghentikan obrolan serius sampai aku menyantap mi yang dia buat. Rasanya enak. Ada sesuatu yang bangkit dalam diriku ketika menelannya. Sesuatu seperti kenangan yang membuncah. Itu mendorong euforia dalam diriku hingga aku hampir tertawa. Aku rindu rasa ini. Bibi dulu sering membuatnya.Bibi tampaknya juga sadar. Dia menatapku penuh senyum. “Enak?”“Spesial,” kataku, antusias.Bibi tertawa. “Dasar tukang rayu.”Dalam kilasan cepat, sorot Bibi kelihatan begitu gembira, tetapi juga sedih. Aku bisa membayangkan bahwa inilah yang selalu ingin Bibi lakukan—karena aku juga ingin mengalami ini di tempat yang lebih nyata. Itu membuatku tidak karuan—bahwa kami diizinkan m
Ketika aku kembali ke permukaan, Padang Anushka kelihatan sepi.Aku langsung merasakan posisi Lavi. Dia masih di gelanggang. Jadi, aku berjalan melewati jalur penghubung, melihat pinggir gelanggang dipenuhi banyak penghuni. Aku langsung terkejut. Lavi masih latihan?Aku bergegas berlari ke kerumunan. Lily ada di belakang kerumunan, kaget melihatku terburu-buru. “Loh? Kau baru datang?”“Eh?” Aku juga kaget. “Aku—ketiduran.”“Lavi menghabisi semua tim bertahan. Haswin baru saja kalah.”Aku tidak tahu harus terkejut untuk yang mana. Lavi yang mengalahkan tim bertahan atau Haswin yang entah tersambar apa sampai mau melawan Lavi. Yang jelas, aku langsung membelah kerumunan, menyaksikan kondisi terkini latihan.Wujud gelanggang cukup mengerikan. Lantai kayunya cekung luar biasa di segala arah seolah seseorang sudah mengentakkan kakinya sampai bergetar. Yasha terkapar di sisi ujung gelanggang, d
Hari keberangkatan misi tiba, aku dan Lavi memutuskan menjadi regu yang pertama kali berangkat. Padang Anushka masih di awal pagi. Matahari baru terbit, kabut tipis masih menguasai sekitar, nuansanya dingin, tetapi juga kelihatan cerah. Hari yang bagus untuk berangkat misi.Reila sudah bangun ketika aku berangkat. Fal juga berusaha terbangun. Fal masih cukup mengantuk, tetapi berulang kali marah. “Fal sudah bangun!” Lalu lima menit kemudian, dia hampir tertidur lagi di sofa panjang. Pita duduk di sebelahnya, menatapku dengan intensitas cukup mengerikan seolah andai dia pergi sedetik saja dari samping Fal, aku akan mengganggu Fal sampai dia menangis. Kucing berbulu tebal ini rasanya semakin membenciku, tetapi juga selalu minta makanan.Aku tidak peduli dicakar atau apa pun, jadi aku mendekati Fal yang setengah tidur, membuatnya duduk—Pita sudah mengeong penuh peringatan.Aku menyugar rambut Fal. “Fal, aku berangkat, ya?”&ldqu
Lavi punya ide gila soal kelanjutan misi.“Kita sepakat kali ini kembali dengan cepat, kan?” tanya Lavi. “Aku punya ide cukup gila yang melibatkanmu di setiap proses. Aku bisa jamin kau tidak akan menanggung beban sendirian, tapi tetap kau yang memutuskan.”“Katakan saja,” kataku.Kurang lebih, karena dia tidak nyaman saat memintaku melakukan banyak hal dan dirinya lebih banyak diam, Lavi tiba-tiba tidak seperti dirinya. Dia membuat penjelasannya berbelit-belit, yang lama-lama membuatku frustrasi. “Katakan saja langsung ke intinya. Keputusan di tanganku, kan?”Akhirnya, dia kembali dengan penjelasan padat.Intinya, “Kita takkan turun ke bawah. Gendong aku agar kita bisa ke tujuan dengan melompati angin, dan—oke, aku tahu itu bahaya, jadi agar keberadaan kita di udara tidak menarik perhatian musuh, pakai juga kemampuan kabut. Kalau kita melakukan ini, kita bisa tiba di tujuan dengan cepat,
Aku hampir kelepasan mengajak Lavi terus mengobrol ketika di udara. Dia menghentikanku dengan berkata, “Kalau kau bicara sambil melompat, staminamu bisa cepat habis. Tahan suaramu. Kalau mau mengobrol denganku, tahan itu sampai kita istirahat. Nah, lihat? Napasmu mulai agak berat, kan?”Lavi juga ingin fokus dengan deteksi, jadi kami tidak bicara lagi.Dia hanya sesekali berkata, “Forlan, di kiri ada kawanan burung. Rendahkan sedikit lompatanmu. Kita tidak boleh menabrak.” Atau dia melapor seperti, “Hm... ternyata deteksi di udara tidak bisa seluas saat di darat, ya. Mungkin karena udara ini juga ruang luas terbuka. Kalau menapak di tanah, aku bisa mendapat informasi dari hal-hal yang tidak bisa kulihat, seperti topografi atau apalah. Tapi kalau udara begini, aku bisa merasakan arah angin, tapi sebenarnya juga bisa kulihat sendiri.”“Kalau aku,” kataku, “bisa merasakan suhu sampai kelembapan.”&l
Kami lanjut melompat lagi. Menurut Lavi, “Hanya perlu setengah jam lagi.”Kabut aktif kembali, kali ini aku juga mencoba melompat dengan jarak lebih jauh lagi. Lavi menyadarinya, tetapi membiarkan.Di perjalanan, aku juga sedikit bertanya tentang kemampuan para penghuni. Ada beberapa yang kemampuannya tidak terlalu kumengerti.“Isha itu tipe pemilik kemampuan yang kalau kau tidak menyadarinya, kau pasti menganggapnya jenius seribu tahun sekali,” kata Lavi. “Awalnya juga tidak ada yang percaya Isha pemilik kemampuan, tapi Rhea bukan pembohong. Semua orang berusaha percaya dan ternyata memang sungguhan.”“Memangnya apa yang bisa membuktikan dia pemilik kemampuan?”“Darahnya.” Kemudian Lavi mengerang. “Forlan, itu bukan bidangku. Aku tidak mau mengerti. Kalau kau penasaran soal perbedaan pemilik kemampuan dan darah campuran biasa, tanya saja Dokter Gelda.”“Oke, oke.&
Kalau dirangkum, agaknya perjalanan misi kali ini memang sinting.Kami berangkat di awal pagi. Matahari baru akan terbit. Aku tidak lihat jam, tetapi perkiraan waktu berangkat kami pasti sekitar jam lima atau setengah enam. Anggap paling buruknya kami berangkat jam enam, lalu perjalanan ke titik patroli sekitar—menurut Lavi, “Kalau istirahat dihitung, harusnya dua jam kurang.” Jadi, anggap perjalanan selama dua jam. Berarti kami sampai di titik patroli jam delapan, dan tak ada petunjuk berarti. Di waktu sama, Padang Anushka baru memasuki jam sarapan. Terlepas kami sudah mengisi perut, kami masih bisa mengejar jam sarapan dan mengejutkan Reila yang belum berangkat—dia pasti tengah makan. Aku bisa membayangkan Reila akan mengumpat melihat kami, sejenis, “Kalian sinting. Misi hanya tiga jam? Di sini bahkan masih ada penghuni yang belum bangun!”Sayangnya, Lavi mencetuskan titik kedua. Dari estimasi yang dia ramalkan di peta, dia bilang,
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t