Aku hampir kelepasan mengajak Lavi terus mengobrol ketika di udara. Dia menghentikanku dengan berkata, “Kalau kau bicara sambil melompat, staminamu bisa cepat habis. Tahan suaramu. Kalau mau mengobrol denganku, tahan itu sampai kita istirahat. Nah, lihat? Napasmu mulai agak berat, kan?”
Lavi juga ingin fokus dengan deteksi, jadi kami tidak bicara lagi.
Dia hanya sesekali berkata, “Forlan, di kiri ada kawanan burung. Rendahkan sedikit lompatanmu. Kita tidak boleh menabrak.” Atau dia melapor seperti, “Hm... ternyata deteksi di udara tidak bisa seluas saat di darat, ya. Mungkin karena udara ini juga ruang luas terbuka. Kalau menapak di tanah, aku bisa mendapat informasi dari hal-hal yang tidak bisa kulihat, seperti topografi atau apalah. Tapi kalau udara begini, aku bisa merasakan arah angin, tapi sebenarnya juga bisa kulihat sendiri.”
“Kalau aku,” kataku, “bisa merasakan suhu sampai kelembapan.”
&l
Kami lanjut melompat lagi. Menurut Lavi, “Hanya perlu setengah jam lagi.”Kabut aktif kembali, kali ini aku juga mencoba melompat dengan jarak lebih jauh lagi. Lavi menyadarinya, tetapi membiarkan.Di perjalanan, aku juga sedikit bertanya tentang kemampuan para penghuni. Ada beberapa yang kemampuannya tidak terlalu kumengerti.“Isha itu tipe pemilik kemampuan yang kalau kau tidak menyadarinya, kau pasti menganggapnya jenius seribu tahun sekali,” kata Lavi. “Awalnya juga tidak ada yang percaya Isha pemilik kemampuan, tapi Rhea bukan pembohong. Semua orang berusaha percaya dan ternyata memang sungguhan.”“Memangnya apa yang bisa membuktikan dia pemilik kemampuan?”“Darahnya.” Kemudian Lavi mengerang. “Forlan, itu bukan bidangku. Aku tidak mau mengerti. Kalau kau penasaran soal perbedaan pemilik kemampuan dan darah campuran biasa, tanya saja Dokter Gelda.”“Oke, oke.&
Kalau dirangkum, agaknya perjalanan misi kali ini memang sinting.Kami berangkat di awal pagi. Matahari baru akan terbit. Aku tidak lihat jam, tetapi perkiraan waktu berangkat kami pasti sekitar jam lima atau setengah enam. Anggap paling buruknya kami berangkat jam enam, lalu perjalanan ke titik patroli sekitar—menurut Lavi, “Kalau istirahat dihitung, harusnya dua jam kurang.” Jadi, anggap perjalanan selama dua jam. Berarti kami sampai di titik patroli jam delapan, dan tak ada petunjuk berarti. Di waktu sama, Padang Anushka baru memasuki jam sarapan. Terlepas kami sudah mengisi perut, kami masih bisa mengejar jam sarapan dan mengejutkan Reila yang belum berangkat—dia pasti tengah makan. Aku bisa membayangkan Reila akan mengumpat melihat kami, sejenis, “Kalian sinting. Misi hanya tiga jam? Di sini bahkan masih ada penghuni yang belum bangun!”Sayangnya, Lavi mencetuskan titik kedua. Dari estimasi yang dia ramalkan di peta, dia bilang,
Kami tiba di Padang Anushka sore hari. Pondok perbatasan seperti biasa. Hanya ada Mister—yang bermain catur di bangku depan dengan Kara. Awalnya Kara tidak sadar. Dia benar-benar meletakkan fokus ke permainan catur, tetapi saat Mister tiba-tiba berkata, “Selamat datang kembali,” Kara langsung terkejut.“Nak? Kalian sudah kembali?”“Kami sudah kembali,” jawab Lavi, seolah perlu menegaskannya.Kuharap ini hanya perasaanku, tetapi Mister terkesan tidak terlalu terkejut. Aku curiga Mister sudah menduga ini—atau jangan-jangan Mister bisa meramalkan masa depan? Dari semua penghuni, Mister salah satu penghuni yang tidak pernah bisa kumengerti. Lavi pernah bilang kalau Mister bisa melihat lebih luas dari yang kupikirkan. Namun, kemampuan khususnya benar-benar misterius.Mister juga mengerti kalau kami akan ke klinik sendiri. Itu membuat Kara—sekali lagi—terkejut, entah karena kami yang terlalu santai ata
Malam datang dengan cepat. Begitu juga dengan kantuk.Fal masih belum bisa tertidur, jadi dia berjanji ketika kami sudah berbaring. Dia memegang alat mirip gadget. “Fal takkan ke mana-mana. Fal tetap di sini kalau Forlan sudah tidur. Fal yang menjaga tidurnya Forlan.”Sebenarnya aku ingin bertahan sedikit lebih lama—terutama karena ketika aku setengah tertidur, sudut mataku menemukan pendar putih beriak di kegelapan kamar. Hanya ada cahaya remang-remang karena Fal masih bermain, tetapi Fal tak bisa menyadari atau melihat wujud pendar putih itu. Di penglihatan setengah sadar, aku mendapati Bibi mewujud dan mendekat ke sisi ranjang.Pendarnya terasa tersenyum. “Tidurlah, Sayang. Kita bisa bicara nanti. Kau pasti kelelahan. Biarkan Bibi menemani kalian.”Barangkali ini efek semua yang kulakukan di misi—kesadaranku bisa jatuh lebih cepat dari biasanya. Aku bahkan tidak sempat mengatakan apa-apa pada Bibi. Mataku sudah menut
Aku sedang membakar beberapa ikan bersama Fal di halaman belakang saat Reila datang membuka pintu. “Aromanya enak sekali!”Fal langsung berlari ke Reila. Aku masih mengipasi ikan. Tungkunya tidak terlalu besar. Masih ada enam ikan lagi yang harus dibakar. Mungkin semestinya aku menyambut Reila dan memberinya sepatah lelucon jongkok kesukaannya yang bisa membuat ikan ini semakin gosong, tetapi aku juga setuju ucapan Reila. Aroma ikan bakar ini keterlaluan enak sampai aku tidak mau berlari seperti Fal. Aku sudah membalikkan empat tusuk di tungku dan merasakan dua garis keringat mengalir di pipiku saking dekatnya aku dengan pembakaran sebelum Reila menepuk bahuku—meninju sampai aku terkejut—dan menuntut, “Mana sambutanku?”Dalam sekejap dia sudah memakai baju santainya. Jadi, aku memeluknya—dia balas memelukku seolah kami tidak berpelukan selama sepuluh tahun.Dengan cepat kami sudah berinteraksi selayaknya tidak ada yang b
Kepulangan tim Dalton dan Elton agaknya menimbulkan keresahan.Saat itu sudah sore dan titik hampir berpindah lagi. Dalton dan Elton belum kelihatan batang hidungnya. Jesse sampai ambil bagian di bukit perbatasan. Jarang sekali dia ikut menunggu di pondok perbatasan—setidaknya, sejak rangkaian misi ini dimulai, Jesse jarang mengantar dan menyambut punggawa misi lagi. Dan aku baru sadar kalau di dalam pondok perbatasan ada alat mirip pendeteksi gelombang perpindahan Padang Anushka seperti di ruangan tim peneliti. Jesse sudah sejak tadi berdiam di sana, terus menggerutu dan menggebrak meja. “Ke mana mereka?!”“Tenang,” kata Lavi.Pondok perbatasan terlihat luas dari luar, tetapi dalamnya tetap saja sempit. Aku beberapa kali masuk, tetapi tidak sampai ke bagian paling dalam. Pondok itu punya tiga ruangan utama. Ruangan tengah yang paling luas—tempat Dokter Gelda biasanya melakukan pemeriksaan, lalu ruang paling kanan—tempat
Keesokan harinya, setelah jam sarapan, Haswin menyeretku ke danau kano. “Mumpung libur, kau harus bantu cari bahan buat pesta api unggun.”Aku bisa saja kabur ke tempat Lavi—yang rasanya ada di pondok utama—tetapi dengan bodoh kubilang, “Aku mau ke Kara,” dan tiba-tiba orangnya bicara di belakangku. “Kau mencariku, Nak?”Aku menyesal mengucap nama Kara, bukannya Lavi—meski aku memang punya topik yang harus kubicarakan dengan Kara. Jarang sekali Kara terlibat acara memancing geng idiot dari awal. Dan saat kupikirkan Dalton tidak ikut, dia ternyata membawa satu set peralatan memancing milik Haswin. Dia tiba-tiba muncul dari pekarangan belakang markas tim penyerang bersama Yasha, langsung mengarah ke tempat kano dan mendorong dua kano paling besar.“Kara dengan Dalton dan Forlan,” usul Haswin. “Aku dengan Yasha.”Kami akhirnya menyusun formasi di kano. Aku dan Dalton tidak mau ambi
Dua ember Dalton terisi paling terakhir, lalu Haswin mencetuskan kembali merapat. Awalnya tidak ada masalah. Kanoku, Dalton dan Kara lebih dulu, dengan Dalton posisi paling depan. Itu membuat dia yang paling pertama melihat.“Ada Kapten di dermaga.”Tampaknya di kano kami hanya Dalton yang bisa melihat jelas Lavi. Bagi darah murni—aku dan Kara—kabut tipis cukup mengaburkan pandangan. Aku tahu di sana ada siluet seseorang—dan aku bisa merasakan Lavi memang di sana, tetapi wujudnya tidak terlalu jelas. Lavi baru tampak cerah ketika kami lumayan dekat dan kabut mulai semakin tipis.Kano kami mengarah ke dermaga. Kano Haswin dan Yasha juga mengikuti. Dan itu memang Lavi. Dia berdiri di ujung dermaga, tersenyum seperti menyambut. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Kami berhenti di ujung dermaga.“Menjemput seseorang?” tanya Dalton, pertama naik ke dermaga.Lavi hanya tersenyum. “Untuk apa lagi aku di sini?
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t