Padang Anushka sepi ketika kami tiba. Satu-satunya yang menyambut kami hanya Mister. Kalau kupikirkan Mister akan terkejut, ternyata dia biasa saja. Dia hanya keluar pondok, lalu menundukkan kepala seolah-olah kami orang terhormat. Aku selalu sulit terbiasa ketika Mister melakukan itu padaku, jadi biasanya aku ikut menundukkan kepala—bahkan jauh lebih menunduk darinya. Itu membuat Lavi tertawa. Dengan cara paling kurang ajar, Lavi langsung mengajak Mister bercanda. Tampaknya dia bukan tipe yang mengedepankan formalitas.
“Kami langsung ke klinik, jadi mereka tidak perlu dipanggil,” kata Lavi.
“Baiklah,” kata Mister. “Selamat istirahat.”
Setelah kami agak jauh, aku baru berani bertanya pada Lavi. “Tidakkah kau kurang sopan kalau tidak ikut menundukkan kepala?”
“Aku menundukkan kepala, kok. Cuma tidak sampai lutut sepertimu. Kau terlalu sibuk menunduk sampai tidak lihat aku menunduk. Begini-begini a
Jesse segera mengurung tim peneliti di Balai Dewan setelah mengerti semua penjelasan. Sebelum pergi, dia hanya bilang, “Kukabari lagi saat ada hasilnya.”Kalau Jesse sudah bilang begitu, dia tidak akan terlihat lagi, kecuali laptop benar-benar terbuka sepenuhnya. Dia sudah dikuasai determinasi kuat.Dokter Gelda dan Lavi memintaku beristirahat di gerha. Kami harus segera bersiap lagi untuk titik berikutnya. Dinding putih yang kami temukan pada akhirnya bukan informasi paling berharga. Informasi soal ayah Fal jauh lebih membantu—yang ironisnya, informasi itu didapat dari mimpiku, bukan karena proses misi. Kara bilang, “Kita menunggu hasil dari regu Jenderal. Mungkin saja Jenderal membuka tabir kayu yang menutup lapisan kedua dinding itu.”“Memangnya Jenderal akan melakukan hal berisiko seperti itu?”“Risikonya memang tinggi, tapi tidak menutup kemungkinan Jenderal akan melakukannya. Sayangnya, kita tidak bisa
Malamnya, agaknya bukan waktu yang tepat bagiku untuk tidur.Ketika aku sibuk mengganggu Reila yang ingin tidur, pintu gerha kami tiba-tiba diketuk. Sebenarnya gerha kami sudah cukup ramai. Tara berkunjung, dan dia berhasil membantu mengalihkan perhatian Fal dari Reila. Namun, aku masih di sini dan Reila tidak akan tidur semudah itu. Ketika pintu diketuk, aku yakin Reila sudah berharap Lavi bisa membawaku pergi. Namun, harapannya pupus dalam sekejap. Begitu dia sadar, Kara sudah menyapanya.Kara sudah bilang, “Tidurlah, Nak. Aku hanya ingin mengobrol lebih lanjut dengan Forlan,” yang kurang lebih membuat Reila menggerutu. Dia bilang kalau seperti disingkirkan dan itu membuatnya kesal. Jadi, dia bangun.Sebenarnya aku sengaja memanggil Kara. Tidak ada tempat yang jauh lebih privasi dibanding gerhaku sendiri. Sebenarnya ada Joglo, tetapi membicarakan hal sensitif di Joglo agaknya bukan ciri khasku dan Kara. Dan di antara semua penghuni yang bisa kami a
Pada awalnya aku hanya ingin bercerita tentang Lavi pada Bibi.Namun, setelah kupikirkan matang-matang, rasanya jauh lebih baik jika hal ini dimengerti oleh eksistensi hidup—yang melalui seleksi ketat, kupikirkan bahwa Kara dan Tara adalah dua orang yang cocok. Kara memiliki posisi yang lebih vital dibanding dewan lain untuk memutuskan sesuatu ketika tidak ada Jenderal. Tara memiliki ketenangan emosi, yang di satu sisi juga diakui oleh Lavi. Barangkali aku jarang melihat Tara dan Lavi mengobrol personal, tetapi aku yakin Lavi juga punya pemahaman yang sama pada Tara selayaknya aku.Pada akhirnya, posisi Lavi adalah kapten tim paling vital. Ketika menyadari keinginan bertempur dari kapten paling vital sudah memudar, tak ada pilihan lebih bagus dibanding mengatakannya pada jajaran yang lebih tinggi darinya.Ketika aku mulai mengatakan kebenaran pada mereka, awalnya Reila sudah kelihatan sangat mengantuk. Namun, ketika aku sampai di ucapan, “Andai saja
Keesokan paginya, ketika jam sarapan, regu Jenderal akhirnya kembali dari misi. Di luar dugaan penghuni, Jenderal kembali bersama satu orang tambahan.Atau lebih tepatnya, satu mayat.Tentu saja itu menggemparkan penghuni. Semua orang langsung bergegas ke padang rumput. Saat itu aku masih di dapur, menghabiskan waktu dengan canda tawa bersama geng idiot, sampai tiba-tiba Bazz menggebrak meja kami dengan satu teriakan panjang: “JENDERAL DITEMPELI MAYAT!”Pengumuman penuh kesalahpahaman itu sudah cukup membuat satu meja meninggalkan piring—bahkan seorang Haswin yang terkenal tidak akan sanggup menyisakan satu cuil nasi di piring. Kami segera berlari, mengikuti para penghuni yang juga berbondong-bondong ke padang rumput, dan benar. Di padang rumput, kerumunan sudah terbentuk. Kami harus membelah kerumunan untuk melihat satu pemandangan di depan gelanggang: Kara dan Dokter Gelda yang tercengang karena mayat, bersama Jenderal yang berdiri tanpa rasa
Tidak banyak yang menunggu di klinik. Dalton penasaran dengan laporan regu Jenderal. Yasha juga. Mereka beda denganku dan Haswin yang lebih memilih menyantap sisa makanan di dapur. Mika masih di dapur—berbeda dengan penghuni yang berlarian keluar, dia masih bersenandung santai menyuci semua piring yang menumpuk. Ada seseorang di sebelahnya. Kupikirkan awalnya agak asing—hingga kusadari dia salah satu kandidat yang baru lulus: Elisha.Mika juga tidak terkejut mendapati kami kembali.“Kubiarkan makanan kalian. Aku tahu kalian kembali,” katanya.Kalau kupikirkan makanan kami tetap seperti sebelumnya, itu salah. Alih-alih berkurang, piring-piring di meja kami bertambah. Awalnya hanya dua piring—milikku dan Haswin—tetapi sekarang, empat, lima—hampir tujuh piring.“Aku tidak ingat minta tambah,” kata Haswin.“Harus habis sekarang,” sahut Mika. “Daripada dibuang.”Mika su
Sorenya, ketika aku dan Reila sedang main adu ketepatan panah di halaman belakang gerha, Haswin datang dengan Yasha, tiba-tiba berdiri di luar pagar. Untuk beberapa lama, mereka memerhatikan kami yang terus menarget tepat sasaran. Dan agaknya Reila tidak tahan diperhatikan, jadi dia bertanya, “Kenapa kalian di sini?”“Mau ajak Forlan,” kata Yasha.“Tapi kalian sedang keren,” kata Haswin.“Ke mana?” tanyaku.“Jenguk,” jawab Yasha. “Dan menyeret Dalton dari sana.”Kuputuskan mengikuti mereka. Aku mengajak Reila, tetapi dia lebih ingin latihan. Dia juga tidak punya alasan menjenguk mereka.“Aduh, kau ini,” erangku. “Tidak perlu alasan buat menjenguk.”“Jemput saja Fal.”Setidaknya, Reila benar. Fal ada di ladang bunga.Jadi, gerha baru itu ada di tempat yang kami rencanakan—di ujung jalur ke danau—dan alih
Aku tidak mau meneruskan penjelasan Isha ke Lavi, tetapi aku bisa menjadi penghubung agar Lavi datang—karena menurut Isha, Lavi sedang di fase tidak mau diganggu. Itu membuatku bertanya, “Kenapa begitu?”“Asal kau tahu, Lavi bisa membedah, tapi dia menolak. Dokter Gelda juga tidak berniat memaksanya, padahal Emy cukup dipaksa. Harusnya aku yang tanya padamu ada apa dengan Lavi.”“Sejujurnya dia kelihatan baik-baik saja,” kataku. “Dan aku baru tahu dia bisa bedah. Sebenarnya seberapa banyak keterampilannya? Sial. Aku jatuh cinta.”“Kau pacarnya,” komentar Yasha.“Aku lebih jatuh cinta lagi.”“Sudahlah.” Isha menghela napas. “Panggil saja dia ke sini.”“Sebentar lagi dia sampai.”Yasha langsung menatapku skeptis. Sebenarnya Hanna dan Isha juga, tetapi di antara mereka yang rautnya paling tidak percaya itu Yasha.Seben
Aku ingin menghabiskan waktu hingga jam malam bersama Lavi, tetapi dia harus membantu bedah. Tampaknya dia memang bisa melakukannya.“Aku tidak apa-apa,” erang Lavi, saat aku bertanya apa yang terjadi. “Dasar Isha. Berlebihan. Aku cuma merawat bunga-bungaku.”“Itu bukan cuma,” protes Isha. “Ada yang lebih penting. Aku tidak percaya kau menolak permintaan Dokter Gelda hanya untuk itu.”“Itu bukan hanya. Bunga-bungaku itu gerbang untuk roh alam.”Isha semakin mengerutkan kening. Dia bisa saja menuntut apa yang tidak dia mengerti, tetapi tampaknya dia sudah cukup lelah, jadi dia mengiyakan. Bunga-bunga di gerha Lavi mungkin memang berhubungan dekat dengan roh alam, tetapi kuharap Isha tidak salah sangka. Mau bagaimana pun juga, kalau Isha benar-benar mengenal Lavi, alasan itu hanya sekadar alasan. Tidak lebih. Lavi juga tahu itu alasan yang buruk, tetapi tetap mengatakannya.“Kau sunggu
Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La
Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei
Tim pencari bambu kembali dengan beragam laporan. Dalton yang menjadi pembicaranya. “Kami sudah buat jebakan seperti tadi.”“Tadi?” tanya Reila.“Jebakan yang bakal bunyi keras seperti besi dipukul di kejauhan kalau ada yang kena. Jadi, itu bisa membuat kita dan sesuatu yang terjebak itu terkejut. Kami membuat ini di tempat istirahat tadi.”“Inovatif sekali,” komentar Leo. “Siapa yang jaga?”“Tidak ada. Kami semua tidur.”“Lumayan berbahaya,” koreksi Leo. “Besar sekali risikonya.”“Yah, kami tidak berniat tidur lama. Maksimal hanya dua jam,” jelas Yasha, ikut duduk melingkari tungku batu. “Dan kami punya roh alam yang berjaga. Kalau ada Penyihir di timmu, masalah keamanan bakal terjamin.”“Setidaknya, takkan ada monster.” Dalton sepakat.Kami duduk mengelilingi tungku batu, ada pepaya yang dipotong
Haswin dan Dalton bangun cukup mudah. Kupikir Haswin bakal sulit, tetapi dia sudah setengah bangun, jadi Yasha hanya perlu menyiram kepalanya. Matanya langsung terbuka. Dia tersentak, tetapi tidak menuntut. Dia justru memandang kami dan berkata, “Aku ketiduran. Maafkan aku.”Jadi, perjalanan dilanjutkan. Tidak ada yang mengantuk.Medannya masih area hutan dengan jarak pohon lumayan dekat dan semak tinggi, plus permukaan tanah yang tidak beraturan. Haswin berjalan di depan lagi—semata-mata karena kalau dia di belakang, dia bisa saja tertinggal tanpa pernah ada yang sadar. Jadi, yang berjalan di belakang: lagi-lagi Dalton dan aku. Yasha perlu memastikan Haswin benar-benar berjalan meskipun Haswin sudah berjanji, “Aku takkan tidur, sumpah. Aku sudah segar.”Dalton menguap, tetapi masih bisa memerhatikan kompas.Senter masih dipegang Haswin dan Yasha. Kompas Dalton mampu menyala meski cahayanya redup. Aku dikelilingi dua kunang-k
Ternyata aku terbangun sebelum Fin membangunkan.Tempat tidurku lebih lengang dari semestinya. Aku berkedip, mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaran, dan kusadari Yasha tidak ada di sampingku. Dalton masih ada. Haswin juga. Jadi, aku bangkit, merasakan keberadaan Yasha—benakku sudah dikuasai nuansa aneh—tetapi tidak. Dia dekat.Aku membuka pintu sulur. Yasha duduk di samping pintu, terkejut melihat pintu mendadak terbuka. Dia langsung melompat ke samping, mengarahkan belati ke arahku. Aku juga kaget, melompat, dan kami sadar di waktu yang sama.“Oh, sial, kukira siapa,” kata Yasha. Di sela-sela jarinya ada rokok.“Kau membuatku kaget karena tidak ada di tempat,” kataku. “Dan kau dua kali membuatku kaget karena ujung belatimu tipis kena mataku.”“Jam tiga masih setengah jam lagi,” katanya.“Itu juga kata-kataku.”“Aku tidur, sejujurnya. Bangun sepuluh
Suara Lavi menggema saat arloji hampir menunjukkan setengah satu.[“Kenapa kalian cukup dekat? Kalian tidak istirahat?”]Kujelaskan situasi tim kami kalau waktu istirahat kami sekitar setengah jam lagi. Aku sudah merasakan Lavi berhenti sejak setengah jam lalu—atau barangkali lebih. Aku lebih memusatkan perhatianku pada sekitar dibanding posisi Lavi. Saat aku penasaran dengan posisinya, dia seperti berhenti. Kami semakin dekat.[“Kami sudah buat tempat persembunyian. Cukup aman, tapi untukku yang sudah terbiasa dengan tempat persembunyianmu, aku tidak terlalu suka.”]Aku agak lama terdiam.Semua ucapan Lavi saat kami di Rumah Pohon terlintas di kepalaku. Entah bagaimana obrolan itu membuat caraku memikirkan Lavi sedikit berbeda. Biasanya aku tidak terlalu cemas—maksudku, dia pasti bisa menanganinya. Aku percaya dia bisa melewati banyak hal. Namun, sekarang, rasanya aku tidak benar-benar tenang k
Medan awal kami tidak terlalu mengerikan. Bahkan sesuai dugaanku. Tanah cukup rata. Pohon-pohon juga renggang, tidak seperti hutan alam liar biasanya. Aku bisa merasakan kami ada di area luar gunung. Kami di dataran tinggi normal. Tidak ada area berbahaya yang kurasakan. Hanya seperti alam liar normal.Meskipun begitu, bukan berarti areanya benar-benar datar. Masih ada celah-celah kecil seperti jurang bekas longsor. Biasanya itu bisa dihindari dengan mudah. Sayangnya, gelap. Malam telah menguasai alam liar. Haswin dan Yasha memakai senter sorot di kepalanya. Mereka mengikat senter itu di kepala, lalu mengarahkan itu ke sekitar yang membuat semua kelihatan jelas.“Cahayanya terlalu terang,” kata Dalton.“Kurasa begitu,” ujar Haswin.“Memberi cahaya terlalu terang seperti memberi sinyal musuh.”“Aku tahu itu.” Haswin akhirnya mengecilkan tingkat kecerahan senter.“Kelihatannya kita tidak di
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-