Kami punya perjanjian akan kembali begitu matahari terbit.
Namun, saat aku terbangun, pagi masih belum tiba, dan terlepas apa pun itu perjanjian kami tentang apa yang harus dilakukan orang yang bangun pertama, aku sudah melupakannya. Aku tergoda membangunkan Lavi, dan aku baru sadar sudah terlalu keras membangunkannya sampai dia mengira ada serangan. Kesadarannya masih setengah saat aku berkata, “Lavi, aku mimpi buruk.”
Dia bukan tipe yang akan marah bila dibangunkan mendadak, dan di tengah situasi misi, kami tahu dibangunkan secara tiba-tiba bukan lagi sesuatu yang aneh. Jadi, Lavi bangun—Lavi bukan tipe yang bisa dengan cepat mengembalikan semua kesadaran, tetapi dia berhasil—lalu mendengar semua penjelasan mimpiku. Akhir-akhir ini ada banyak mimpi yang cepat kulupakan, jadi mumpung ingatan itu masih sangat segar, aku bisa menjelaskan semua detail penting pada Lavi.
Aku bahkan agak ragu bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada mimpiku, j
Padang Anushka sepi ketika kami tiba. Satu-satunya yang menyambut kami hanya Mister. Kalau kupikirkan Mister akan terkejut, ternyata dia biasa saja. Dia hanya keluar pondok, lalu menundukkan kepala seolah-olah kami orang terhormat. Aku selalu sulit terbiasa ketika Mister melakukan itu padaku, jadi biasanya aku ikut menundukkan kepala—bahkan jauh lebih menunduk darinya. Itu membuat Lavi tertawa. Dengan cara paling kurang ajar, Lavi langsung mengajak Mister bercanda. Tampaknya dia bukan tipe yang mengedepankan formalitas.“Kami langsung ke klinik, jadi mereka tidak perlu dipanggil,” kata Lavi.“Baiklah,” kata Mister. “Selamat istirahat.”Setelah kami agak jauh, aku baru berani bertanya pada Lavi. “Tidakkah kau kurang sopan kalau tidak ikut menundukkan kepala?”“Aku menundukkan kepala, kok. Cuma tidak sampai lutut sepertimu. Kau terlalu sibuk menunduk sampai tidak lihat aku menunduk. Begini-begini a
Jesse segera mengurung tim peneliti di Balai Dewan setelah mengerti semua penjelasan. Sebelum pergi, dia hanya bilang, “Kukabari lagi saat ada hasilnya.”Kalau Jesse sudah bilang begitu, dia tidak akan terlihat lagi, kecuali laptop benar-benar terbuka sepenuhnya. Dia sudah dikuasai determinasi kuat.Dokter Gelda dan Lavi memintaku beristirahat di gerha. Kami harus segera bersiap lagi untuk titik berikutnya. Dinding putih yang kami temukan pada akhirnya bukan informasi paling berharga. Informasi soal ayah Fal jauh lebih membantu—yang ironisnya, informasi itu didapat dari mimpiku, bukan karena proses misi. Kara bilang, “Kita menunggu hasil dari regu Jenderal. Mungkin saja Jenderal membuka tabir kayu yang menutup lapisan kedua dinding itu.”“Memangnya Jenderal akan melakukan hal berisiko seperti itu?”“Risikonya memang tinggi, tapi tidak menutup kemungkinan Jenderal akan melakukannya. Sayangnya, kita tidak bisa
Malamnya, agaknya bukan waktu yang tepat bagiku untuk tidur.Ketika aku sibuk mengganggu Reila yang ingin tidur, pintu gerha kami tiba-tiba diketuk. Sebenarnya gerha kami sudah cukup ramai. Tara berkunjung, dan dia berhasil membantu mengalihkan perhatian Fal dari Reila. Namun, aku masih di sini dan Reila tidak akan tidur semudah itu. Ketika pintu diketuk, aku yakin Reila sudah berharap Lavi bisa membawaku pergi. Namun, harapannya pupus dalam sekejap. Begitu dia sadar, Kara sudah menyapanya.Kara sudah bilang, “Tidurlah, Nak. Aku hanya ingin mengobrol lebih lanjut dengan Forlan,” yang kurang lebih membuat Reila menggerutu. Dia bilang kalau seperti disingkirkan dan itu membuatnya kesal. Jadi, dia bangun.Sebenarnya aku sengaja memanggil Kara. Tidak ada tempat yang jauh lebih privasi dibanding gerhaku sendiri. Sebenarnya ada Joglo, tetapi membicarakan hal sensitif di Joglo agaknya bukan ciri khasku dan Kara. Dan di antara semua penghuni yang bisa kami a
Pada awalnya aku hanya ingin bercerita tentang Lavi pada Bibi.Namun, setelah kupikirkan matang-matang, rasanya jauh lebih baik jika hal ini dimengerti oleh eksistensi hidup—yang melalui seleksi ketat, kupikirkan bahwa Kara dan Tara adalah dua orang yang cocok. Kara memiliki posisi yang lebih vital dibanding dewan lain untuk memutuskan sesuatu ketika tidak ada Jenderal. Tara memiliki ketenangan emosi, yang di satu sisi juga diakui oleh Lavi. Barangkali aku jarang melihat Tara dan Lavi mengobrol personal, tetapi aku yakin Lavi juga punya pemahaman yang sama pada Tara selayaknya aku.Pada akhirnya, posisi Lavi adalah kapten tim paling vital. Ketika menyadari keinginan bertempur dari kapten paling vital sudah memudar, tak ada pilihan lebih bagus dibanding mengatakannya pada jajaran yang lebih tinggi darinya.Ketika aku mulai mengatakan kebenaran pada mereka, awalnya Reila sudah kelihatan sangat mengantuk. Namun, ketika aku sampai di ucapan, “Andai saja
Keesokan paginya, ketika jam sarapan, regu Jenderal akhirnya kembali dari misi. Di luar dugaan penghuni, Jenderal kembali bersama satu orang tambahan.Atau lebih tepatnya, satu mayat.Tentu saja itu menggemparkan penghuni. Semua orang langsung bergegas ke padang rumput. Saat itu aku masih di dapur, menghabiskan waktu dengan canda tawa bersama geng idiot, sampai tiba-tiba Bazz menggebrak meja kami dengan satu teriakan panjang: “JENDERAL DITEMPELI MAYAT!”Pengumuman penuh kesalahpahaman itu sudah cukup membuat satu meja meninggalkan piring—bahkan seorang Haswin yang terkenal tidak akan sanggup menyisakan satu cuil nasi di piring. Kami segera berlari, mengikuti para penghuni yang juga berbondong-bondong ke padang rumput, dan benar. Di padang rumput, kerumunan sudah terbentuk. Kami harus membelah kerumunan untuk melihat satu pemandangan di depan gelanggang: Kara dan Dokter Gelda yang tercengang karena mayat, bersama Jenderal yang berdiri tanpa rasa
Tidak banyak yang menunggu di klinik. Dalton penasaran dengan laporan regu Jenderal. Yasha juga. Mereka beda denganku dan Haswin yang lebih memilih menyantap sisa makanan di dapur. Mika masih di dapur—berbeda dengan penghuni yang berlarian keluar, dia masih bersenandung santai menyuci semua piring yang menumpuk. Ada seseorang di sebelahnya. Kupikirkan awalnya agak asing—hingga kusadari dia salah satu kandidat yang baru lulus: Elisha.Mika juga tidak terkejut mendapati kami kembali.“Kubiarkan makanan kalian. Aku tahu kalian kembali,” katanya.Kalau kupikirkan makanan kami tetap seperti sebelumnya, itu salah. Alih-alih berkurang, piring-piring di meja kami bertambah. Awalnya hanya dua piring—milikku dan Haswin—tetapi sekarang, empat, lima—hampir tujuh piring.“Aku tidak ingat minta tambah,” kata Haswin.“Harus habis sekarang,” sahut Mika. “Daripada dibuang.”Mika su
Sorenya, ketika aku dan Reila sedang main adu ketepatan panah di halaman belakang gerha, Haswin datang dengan Yasha, tiba-tiba berdiri di luar pagar. Untuk beberapa lama, mereka memerhatikan kami yang terus menarget tepat sasaran. Dan agaknya Reila tidak tahan diperhatikan, jadi dia bertanya, “Kenapa kalian di sini?”“Mau ajak Forlan,” kata Yasha.“Tapi kalian sedang keren,” kata Haswin.“Ke mana?” tanyaku.“Jenguk,” jawab Yasha. “Dan menyeret Dalton dari sana.”Kuputuskan mengikuti mereka. Aku mengajak Reila, tetapi dia lebih ingin latihan. Dia juga tidak punya alasan menjenguk mereka.“Aduh, kau ini,” erangku. “Tidak perlu alasan buat menjenguk.”“Jemput saja Fal.”Setidaknya, Reila benar. Fal ada di ladang bunga.Jadi, gerha baru itu ada di tempat yang kami rencanakan—di ujung jalur ke danau—dan alih
Aku tidak mau meneruskan penjelasan Isha ke Lavi, tetapi aku bisa menjadi penghubung agar Lavi datang—karena menurut Isha, Lavi sedang di fase tidak mau diganggu. Itu membuatku bertanya, “Kenapa begitu?”“Asal kau tahu, Lavi bisa membedah, tapi dia menolak. Dokter Gelda juga tidak berniat memaksanya, padahal Emy cukup dipaksa. Harusnya aku yang tanya padamu ada apa dengan Lavi.”“Sejujurnya dia kelihatan baik-baik saja,” kataku. “Dan aku baru tahu dia bisa bedah. Sebenarnya seberapa banyak keterampilannya? Sial. Aku jatuh cinta.”“Kau pacarnya,” komentar Yasha.“Aku lebih jatuh cinta lagi.”“Sudahlah.” Isha menghela napas. “Panggil saja dia ke sini.”“Sebentar lagi dia sampai.”Yasha langsung menatapku skeptis. Sebenarnya Hanna dan Isha juga, tetapi di antara mereka yang rautnya paling tidak percaya itu Yasha.Seben
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t