Setidaknya, gagasan Reila benar. Sekarang waktunya kontingen ganda bulu tangkis kami yang bertempur. Dalton dan Elton. Mereka langsung ambil undian.
Hasilnya brutal. Pertandingan pertama. Lawan tim gabungan.
Dengan kata lain, melawan Dokter Gelda dan Nadir.
Aku tidak ingin berharap lebih. Lavi juga mengatakan itu padaku.
Aku tidak pernah tahu kemampuan fisik Dokter Gelda, tetapi sebagai dewan semestinya kemampuan fisiknya di atas rata-rata. Dokter Gelda juga salah satu tim yang berangkat ke pertempuran Lembah Palapa—dan bukan hanya sebagai medis. Menurut keterangan Lavi, Dokter Gelda tipe yang memakai kombinasi panah atau semua senjata menengah sampai jarak jauh. Senjata lontar, bumerang, atau tombak. Dokter Gelda tidak pernah kelihatan memegang pedang, tetapi aku yakin bukan hal mustahil dia menguasai senjata itu.
Nadir, tidak perlu diragukan. Konselor. Instruktur latihan bersama Kara.
Dari tribune aku tidak bisa mendengar apa yang me
Permainan voli kami cukup gila.Masuknya Nadir di jajaran pemain kami semakin mendorong daya gebrak ke tim lawan. Kami tidak punya posisi pasti. Intinya, bola jangan sampai jatuh. Saat bola terlempar ke dekat siapa pun, bola harus tetap naik. Taktiknya sesederhana itu. Namun, secara praktik, penyerang utama kami ada tiga: Nadir, Dalton, dan aku. Itu jajaran penyerang yang lumayan ganas—terutama saat Lavi juga sewaktu-waktu bisa ikut menyerang. Dia pengumpan terbaik kami.Namun, kejadian menakjubkannya adalah ketika kami melawan kandidat baru. Di posisi depan ada aku, Reila, dan Nadir. Lavi kebagian servis. Dia benar-benar memborong sebagian poin dengan servis—yang dalam artian lain, penyerang depan menganggur sepanjang set. Itu benar-benar pertunjukkan tunggal untuk Lavi. Servisnya mengarah sangat keras nan cepat ke titik kosong musuh. Setelah berulang kali kecolongan poin, kandidat baru mulai membawa pasukannya agak mundur ke belakang—karena serangan
Hari kedua berjalan cukup oke bagi tim penyerang.Lavi bersumpah—dan mewajibkan semua tim penyerang bersumpah—agar kami memaksimalkan hari ini untuk emas di semua cabang. Lavi bilang, “Siapa pun yang gagal, dia membersihkan markas baru sampai satu bulan. Tidak boleh protes.”Cabang atletik diadakan di padang rumput, terbuka untuk semua orang.Cabang pertama lompat jauh. Elton. Mungkin lawan tersulitnya Laher atau Lukas. Baru kali ini aku sadar kalau tim stok dipenuhi para pemilik bakat fisik. Aku lupa fakta kalau mereka harus lulus orientasi sebelum dinyatakan masuk tim. Tentu saja mereka punya fisik yang lebih mumpuni dibanding darah campuran biasa.Elton paling jauh. Dan benar. Disusul Laher—tim stok. Dan Lukas.Yang mengecewakan datang dari ajang lompat tinggi—Dalton. Lawannya lagi-lagi Lukas. Tim stok diwakili Ettan. Dan tim tungku—tidak lain tidak bukan si pemilik bakat alami kelincahan dan refleks: Mi
Undian teritorial permainan bendera dilakukan—perwakilan tim penyerang Elton, jadi tidak ada yang benar-benar bisa protes. Sebenarnya aku bilang ke Lavi kalau sebaiknya aku yang undian, tetapi Lavi menolak. “Biarkan saja dia. Kau saja melarangku ke sana. Tanggung jawabmu menemaniku dan Fal.”Undian selesai. Elton kembali. Teritorial tim penyerang di pondok utama.Kawasan yang cukup strategis untuk pertahanan, tetapi tidak begitu cocok untuk rencana yang sudah kami susun. Wilayah itu hanya punya satu pintu masuk—anak tangga—jadi rencana kami yang membutuhkan jalur dari segala arah lumayan mustahil dilakukan. Lavi akhirnya memutuskan mengubah rencana.“Di mana teritorial yang lain?” tanyanya.“Kita dekat dengan kandidat baru,” jawab Elton. “Kandidat baru berpusat di gelanggang. Tim stok di ladang. Tim bertahan di markas tim bertahan. Tim medis gabungan di hutan markas lama. Tim tungku di pintu masu
Hujan berhenti menjelang sore. Keadaannya cukup mengkhawatirkan. Tak terlalu mengancam. Hanya becek, tetapi bisa dipastikan selepas permainan, apa pun yang kami pakai bakal kotor.“Tidak pakai pelindung apa pun?” tanyaku, ke Lavi.“Hm,” dia sempat mempertimbangkan itu, “tidak berbahaya, sih. Kau tidak pakai juga? Lawanmu lebih berbobot. Aku cuma perlu pedang kayu.”“Aku punya firasat aku tidak butuh itu.”“Sejujurnya aku juga punya firasat tidak butuh itu. Bahkan aku tidak merasa butuh pedang kayu. Kalau butuh, kurasa aku hanya bakal merampas. Lagi pula, ini bukan pertandingan. Ini permainan. Tidak perlu seserius itu.”Sebelum permainan, di padang rumput, semua pemain berkumpul. Pemain paling mencolok ada di kandidat baru. Mereka memakai perlengkapan lengkap bak sedang bersiap pada serangan musuh. Pelindung kayu, tameng, pedang kayu. Kalau kupikirkan lagi, persiapan mereka saat ini jauh le
Itu bukan lagi pertempuran. Itu benar-benar permainan.Kondisi sehabis hujan. Ladang penuh rawa. Meski ada padi tertanam, bukan berarti mereka menahan diri. Sebagian tim stok mengambil segumpal lumpur, lalu melemparnya membabi buta ke arahku dan Dalton. Dan bukan hanya tim stok. Tim tungku juga tanpa ragu mengotori diri mereka, melempar segumpal lumpur.“Tahan mereka! Jangan sampai kemari!” seru Dhiena di teritorial.“Kau juga serang mereka!” balas Mika, melempar lumpur ke Dhiena.Serangan itu tepat kena wajah Dhiena. Sedetik, mereka berpandangan satu sama lain. Dhiena menatap Mika tanpa ekspresi. Mika seperti, “Aduh, salah.”“Sini kau!” bentak Dhiena. Mereka tiba-tiba sudah saling serang.“Kenapa kalian bertengkar? Hei!” seru Isha, menengahi mereka, meski tak ada gunanya. Dia juga kena serangan lumpur.Di pihak kami, aku dan Dalton dikerubungi tim stok—Oto, Saga, Laher
Penutupan pesta olahraga, tentu saja pesta api unggun.Selepas permainan bendera, ketika semua orang kembali sembari terbahak-bahak dengan penampilan satu sama lain, para kandidat baru kaget melihat semua orang dipenuhi lumpur. Tampaknya itu membuat mereka iri karena tidak terlibat di permainan ladang. Haswin, sebagai penggagas ide empat tim gabungan, mengaku kalau sengaja tidak mengajak mereka.“Kami perlu umpan,” katanya.Hanya itu penjelasan yang dia ucapkan. Tidak ada satu pun dari kami—tim penyerang—yang penasaran apa maksudnya. Sepertinya kami sudah bisa mengerti mengapa para penghuni memberi jarak begitu lebar pada kandidat baru.Sayangnya, ketika para cowok kembali dari padang rumput, Bazz bertanya mengapa mereka tidak mengajak kandidat baru. Sepertinya dia hanya ikut arus.“Kita perlu membuat mereka betah di sini, itu sudah pasti,” gumam Laher, dengan aura lemasnya yang normal, “tapi kalau terlalu
Di pesta api unggun, Haswin juga mengumumkan sesuatu yang membuat penghuni Venus dan Mars bersorak kegirangan .“Kita akan merenovasi Venus dan Mars.”Dia juga sudah memberikan gambaran umum tentang Venus dan Mars yang baru. Kurang lebih bukan lagi asrama, tetapi kompleks. Agak beda dengan gerha yang punya wilayah khusus layaknya rumah, Venus dan Mars yang baru lebih mirip kompleks vila dengan pembagian wilayah untuk setiap orang. Intinya, bangunannya akan dirombak besar-besaran, sehingga wilayah asrama benar-benar hanya asrama. Tidak ada gudang senjata. Tidak ada gedung terbengkalai. Begitu masuk kompleks, maka hal pertama yang ditemukan adalah gerbang. Dua gerbang. Venus dan Mars. Kalau dilihat dari skala pengerjaannya, ini proyek terbesar Haswin.Karena itu, Haswin juga meminta, “Pergilah jauh-jauh dari asrama. Untuk sementara, Venus tinggal di Gerha. Tersebar. Mars di pondok utama. Kandidat baru di Balai Dewan. Tidak lama. Paling lama
Malam sisa sedikit lagi, tetapi Bibi menemaniku menjelajahi Joglo.Dari pusat Joglo, bangunan ini terlihat seperti hanya punya dua lantai. Satu lantai untuk ruangan luas, kursi perapian, dan relief. Satu lantai lagi terlihat untuk penyimpanan dokumen-dokumen bertuliskan aksara kuno. Hanya beberapa orang yang bisa membaca aksara kuno. Meski salah satu syarat kelulusan orientasi harus mampu membaca aksara kuno, seiring berjalannya waktu, karena jarang digunakan, kemampuan membaca aksara kuno juga mulai terkikis. Sejauh yang kutahu, Lavi, Reila, dan Nuel adalah orang-orang yang punya kemampuan baca tulis terbaik.Aku salah satu yang bisa membaca. Aza punya pelajaran sangat ketat untuk aksara kuno. Itu mengizinkanku mengerti sebagian buku-buku di lantai dua—meski aku juga tidak punya terlalu banyak waktu untuk mempelajari isi bukunya.Bicara tentang Joglo, rahasia bangunan ini tidak terletak di apa yang terlihat melalui pusatnya. Namun, bagian dalamnya. Dan be
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da