Sebelum upacara pembukaan dimulai, perwakilan tim dipanggil Kara.
Lavi memintaku yang datang. Pertemuannya di gelanggang. Kupikirkan dia akan ikut, tetapi ternyata dia menunggu di pondok utama. Semua tim berkumpul di markasnya masing-masing, dan karena kami tidak memiliki markas, kami memilih menempati pondok utama. Ketika itulah Lavi memintaku yang berangkat.
Aku tidak masalah, tetapi ketika anggota yang lain sedang bersiap di lantai dua—terutama karena Dalton masih setengah mengantuk—Lavi entah bagaimana menemaniku sampai ke depan pondok utama. Aku tahu dia ingin bicara hal serius—dan benar saja. Dia bertanya, “Kau tidak terganggu karena kejadian tadi?”
Aku berhenti, berbalik menghadapnya yang berhenti di ambang pintu.
“Aku tahu kau tidak mau misi,” kataku.
“Aku... tidak bisa menolak,” katanya. “Aku berada di kebimbangan paling aneh sepanjang hidupku saat aku tahu kalau punya posisi cuku
Upacara pembukaan berlangsung sangat singkat.Kurang lebih itu hanya pembacaan aturan yang bahkan tidak didengar para penghuni, lalu pembacaan kontingen yang juga hanya didengar oleh para kontingen lomba, sampai pada akhirnya, Haswin, sebagai kepala acara masuk mengucapkan beberapa patah kata yang penuh kontradiksi.Katanya, “Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba diminta maju kemari, tapi kita perlu bersenang-senang. Kuharap tidak ada yang jail selama pesta olahraga seperti meledakkan bom atau apalah—intinya, tim bertahan! HAJAR SEMUANYA!”Para cowok sepakat bersorak memintanya turun.Ketika Jenderal bicara, kurang lebih nuansanya sama seperti Haswin yang membela sepihak. “Anggap ini latihan pertempuran. Jangan mati. Semoga selamat saat kalian bertemu tim gabungan—mana suara kalian, Bocah-bocah?!” Tiba-tiba kami bersorak keras saling meneriakkan apa pun. Bedanya, tidak ada yang berani bersorak meminta Jenderal turun. Para co
Setidaknya, gagasan Reila benar. Sekarang waktunya kontingen ganda bulu tangkis kami yang bertempur. Dalton dan Elton. Mereka langsung ambil undian.Hasilnya brutal. Pertandingan pertama. Lawan tim gabungan.Dengan kata lain, melawan Dokter Gelda dan Nadir.Aku tidak ingin berharap lebih. Lavi juga mengatakan itu padaku.Aku tidak pernah tahu kemampuan fisik Dokter Gelda, tetapi sebagai dewan semestinya kemampuan fisiknya di atas rata-rata. Dokter Gelda juga salah satu tim yang berangkat ke pertempuran Lembah Palapa—dan bukan hanya sebagai medis. Menurut keterangan Lavi, Dokter Gelda tipe yang memakai kombinasi panah atau semua senjata menengah sampai jarak jauh. Senjata lontar, bumerang, atau tombak. Dokter Gelda tidak pernah kelihatan memegang pedang, tetapi aku yakin bukan hal mustahil dia menguasai senjata itu.Nadir, tidak perlu diragukan. Konselor. Instruktur latihan bersama Kara.Dari tribune aku tidak bisa mendengar apa yang me
Permainan voli kami cukup gila.Masuknya Nadir di jajaran pemain kami semakin mendorong daya gebrak ke tim lawan. Kami tidak punya posisi pasti. Intinya, bola jangan sampai jatuh. Saat bola terlempar ke dekat siapa pun, bola harus tetap naik. Taktiknya sesederhana itu. Namun, secara praktik, penyerang utama kami ada tiga: Nadir, Dalton, dan aku. Itu jajaran penyerang yang lumayan ganas—terutama saat Lavi juga sewaktu-waktu bisa ikut menyerang. Dia pengumpan terbaik kami.Namun, kejadian menakjubkannya adalah ketika kami melawan kandidat baru. Di posisi depan ada aku, Reila, dan Nadir. Lavi kebagian servis. Dia benar-benar memborong sebagian poin dengan servis—yang dalam artian lain, penyerang depan menganggur sepanjang set. Itu benar-benar pertunjukkan tunggal untuk Lavi. Servisnya mengarah sangat keras nan cepat ke titik kosong musuh. Setelah berulang kali kecolongan poin, kandidat baru mulai membawa pasukannya agak mundur ke belakang—karena serangan
Hari kedua berjalan cukup oke bagi tim penyerang.Lavi bersumpah—dan mewajibkan semua tim penyerang bersumpah—agar kami memaksimalkan hari ini untuk emas di semua cabang. Lavi bilang, “Siapa pun yang gagal, dia membersihkan markas baru sampai satu bulan. Tidak boleh protes.”Cabang atletik diadakan di padang rumput, terbuka untuk semua orang.Cabang pertama lompat jauh. Elton. Mungkin lawan tersulitnya Laher atau Lukas. Baru kali ini aku sadar kalau tim stok dipenuhi para pemilik bakat fisik. Aku lupa fakta kalau mereka harus lulus orientasi sebelum dinyatakan masuk tim. Tentu saja mereka punya fisik yang lebih mumpuni dibanding darah campuran biasa.Elton paling jauh. Dan benar. Disusul Laher—tim stok. Dan Lukas.Yang mengecewakan datang dari ajang lompat tinggi—Dalton. Lawannya lagi-lagi Lukas. Tim stok diwakili Ettan. Dan tim tungku—tidak lain tidak bukan si pemilik bakat alami kelincahan dan refleks: Mi
Undian teritorial permainan bendera dilakukan—perwakilan tim penyerang Elton, jadi tidak ada yang benar-benar bisa protes. Sebenarnya aku bilang ke Lavi kalau sebaiknya aku yang undian, tetapi Lavi menolak. “Biarkan saja dia. Kau saja melarangku ke sana. Tanggung jawabmu menemaniku dan Fal.”Undian selesai. Elton kembali. Teritorial tim penyerang di pondok utama.Kawasan yang cukup strategis untuk pertahanan, tetapi tidak begitu cocok untuk rencana yang sudah kami susun. Wilayah itu hanya punya satu pintu masuk—anak tangga—jadi rencana kami yang membutuhkan jalur dari segala arah lumayan mustahil dilakukan. Lavi akhirnya memutuskan mengubah rencana.“Di mana teritorial yang lain?” tanyanya.“Kita dekat dengan kandidat baru,” jawab Elton. “Kandidat baru berpusat di gelanggang. Tim stok di ladang. Tim bertahan di markas tim bertahan. Tim medis gabungan di hutan markas lama. Tim tungku di pintu masu
Hujan berhenti menjelang sore. Keadaannya cukup mengkhawatirkan. Tak terlalu mengancam. Hanya becek, tetapi bisa dipastikan selepas permainan, apa pun yang kami pakai bakal kotor.“Tidak pakai pelindung apa pun?” tanyaku, ke Lavi.“Hm,” dia sempat mempertimbangkan itu, “tidak berbahaya, sih. Kau tidak pakai juga? Lawanmu lebih berbobot. Aku cuma perlu pedang kayu.”“Aku punya firasat aku tidak butuh itu.”“Sejujurnya aku juga punya firasat tidak butuh itu. Bahkan aku tidak merasa butuh pedang kayu. Kalau butuh, kurasa aku hanya bakal merampas. Lagi pula, ini bukan pertandingan. Ini permainan. Tidak perlu seserius itu.”Sebelum permainan, di padang rumput, semua pemain berkumpul. Pemain paling mencolok ada di kandidat baru. Mereka memakai perlengkapan lengkap bak sedang bersiap pada serangan musuh. Pelindung kayu, tameng, pedang kayu. Kalau kupikirkan lagi, persiapan mereka saat ini jauh le
Itu bukan lagi pertempuran. Itu benar-benar permainan.Kondisi sehabis hujan. Ladang penuh rawa. Meski ada padi tertanam, bukan berarti mereka menahan diri. Sebagian tim stok mengambil segumpal lumpur, lalu melemparnya membabi buta ke arahku dan Dalton. Dan bukan hanya tim stok. Tim tungku juga tanpa ragu mengotori diri mereka, melempar segumpal lumpur.“Tahan mereka! Jangan sampai kemari!” seru Dhiena di teritorial.“Kau juga serang mereka!” balas Mika, melempar lumpur ke Dhiena.Serangan itu tepat kena wajah Dhiena. Sedetik, mereka berpandangan satu sama lain. Dhiena menatap Mika tanpa ekspresi. Mika seperti, “Aduh, salah.”“Sini kau!” bentak Dhiena. Mereka tiba-tiba sudah saling serang.“Kenapa kalian bertengkar? Hei!” seru Isha, menengahi mereka, meski tak ada gunanya. Dia juga kena serangan lumpur.Di pihak kami, aku dan Dalton dikerubungi tim stok—Oto, Saga, Laher
Penutupan pesta olahraga, tentu saja pesta api unggun.Selepas permainan bendera, ketika semua orang kembali sembari terbahak-bahak dengan penampilan satu sama lain, para kandidat baru kaget melihat semua orang dipenuhi lumpur. Tampaknya itu membuat mereka iri karena tidak terlibat di permainan ladang. Haswin, sebagai penggagas ide empat tim gabungan, mengaku kalau sengaja tidak mengajak mereka.“Kami perlu umpan,” katanya.Hanya itu penjelasan yang dia ucapkan. Tidak ada satu pun dari kami—tim penyerang—yang penasaran apa maksudnya. Sepertinya kami sudah bisa mengerti mengapa para penghuni memberi jarak begitu lebar pada kandidat baru.Sayangnya, ketika para cowok kembali dari padang rumput, Bazz bertanya mengapa mereka tidak mengajak kandidat baru. Sepertinya dia hanya ikut arus.“Kita perlu membuat mereka betah di sini, itu sudah pasti,” gumam Laher, dengan aura lemasnya yang normal, “tapi kalau terlalu
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak