Andai kami normal, setelah menemukan hal mengerikan, semestinya kami kembali ke tempat kedamaian. Namun, tidak satu pun dari kami kembali, sehingga kami tiba-tiba sudah duduk di pekarangan puing-puing markas tim penyerang, dan Dalton mulai menyalakan rokok, yang diikuti Yasha. Kami duduk di bebatuan besar yang tersebar di pekarangan, bahkan selama beberapa saat tidak ada yang bicara—meskipun hampir semua orang mahir membuat lelucon. Haswin—sebagai orang nomor satu yang suka melontarkan lelucon idiot juga terdiam. Tak ada yang terlihat tenang. Bahasa tubuh kami gelisah, sampai bila ada yang memergoki kami di sini, aku yakin dia akan menatap kami bak tengah merencanakan sesuatu berbahaya.
Masalahnya, di tengah hutan ini, sesuatu tidak pernah terkesan normal. Saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, puing-puing markas tim penyerang juga terasa seperti menyembunyikan rahasia yang tidak boleh terbuka sedikit pun. Tempat ini seperti menyimpan bom, layaknya bil
Posisi tidurku tidak nyaman.Kuingat, terakhir kali sebelum tidur, aku melihat foto-foto Lavi di kamera Jesse. Belakangan, kamera ini seperti tidak lagi kupinjam. Ketika konflik meledak, aku tahu harus menyembunyikannya, atau tim peneliti akan mengubahnya menjadi kamera pengintai. Aku tidak punya komputer, jadi satu-satunya cara untuk melihat foto hanya dari kameranya. Dan terlalu banyak foto yang sudah kami ambil sampai membuatku tidak rela jika kamera ini diambil begitu saja.Foto terakhir yang kulihat, adalah raut lembut Lavi saat membidik target.Anak panah sudah meluncur, sehingga gaya lontar membuat helai rambut Lavi berkibar pelan. Matanya memancarkan kelembutan, tidak ada sorot serius, dan senyumnya terukir kecil. Jaket berwarna halus miliknya seperti memancarkan aura yang lebih lembut dari seharusnya, sehingga bunga-bunga di belakangnya seperti menimbulkan kesan lukisan pada citra dirinya. Aku ingat tersenyum pada foto itu, menantikan kedatangan Lavi ya
Jembatan hanya tinggal beberapa langkah, tetapi Mister membantingku.Pertempuran yang harusnya sengit itu berakhir sangat singkat karena tidak ada lagi hal jernih yang bisa kulihat. Area pandangku dipenuhi air mata, benakku dipenuhi amarah, kesadaranku dipenuhi perasan tak berdaya. Aku tahu harus segera pergi. Aku tahu harus segera menemukan Lavi ketika batu miliknya tidak berwarna pekat lagi. Perlahan, semakin aku memandanginya, warna itu semakin pudar. Titik ini harusnya menjadi pertempuran sengit ketika aku harus lolos dari Mister. Pedang perunggu di tanganku, Mister tangan kosong—aku harusnya bisa melewatinya.Jadi, ketika Mister di depanku, seolah mengerti sepenuhnya bahwa aku akan melompat keluar Padang Anushka—bahkan meski Kara ada di gelanggang, melatih kandidat baru, dan curiga dengan gerak-gerikku—bahkan meski Fal menyapa dan pastinya ingin mengajakku bermain—bahkan meski semua orang melewatiku yang penuh air mata—menatap dengan
Sulit menggapai kesadaran, tetapi aku terbangun.Ruangan besi. Aku terduduk di kursi, tubuhku terikat, tanganku di belakang, tidak bisa bergerak, tampaknya juga terikat kuat. Tidak ada apa pun, bahkan sekadar debu. Hanya ada besi di mana-mana. Tidak ada jendela, hanya satu pintu besi.Aku tahu apa yang terjadi. Maka ketika kesadaranku sungguhan kembali, aku hanya terdiam, menatap pintu besi seperti memikirkan dengan apa pintu besi itu harus kuhancurkan. Tidak ada senjata. Hanya dengan kemampuan.Namun, begitu berhasil memutuskan sesuatu, pintu besi itu terbuka.Tepat di depan mataku, langsung memperlihatkan Dalton.Tampaknya dia sudah dengar apa yang terjadi. Aku tahu dia tertidur ketika aku mengamuk di luar sana. Barangkali Haswin dan Yasha juga tengah tidur, jadi satu-satunya yang mengerti kejadian itu hanya mereka yang bukan tim patroli. Raut Dalton terkesan penuh arti, tetapi seperti berusaha mengerti apa yang terjadi.Dia hanya bertanya
Haswin bilang, Kara sebenarnya berniat bicara denganku, tetapi karena aku dan Dalton terlalu lama saling terdiam, Kara tidak bisa terus menunggu.“Dewan yang tersisa hanya sedikit,” ucap Yasha.“Dan Kara juga harus melatih kandidat baru, keliling, dan berjaga,” lanjut Haswin. “Mungkin menunggumu di pondok utama. Kara pasti punya alasan sampai mengambil gelang Lavi, tapi kau harus selesaikan satu urusan ini.”Secara teknis, aku memang perlu bicara empat mata dengan Fal.Tampaknya Dalton masih belum menyerah meskipun aku bilang Elton baik-baik saja. Dia bilang, “Di sana garis depan. Tidak ada yang tahu.”Sayangnya, Fal yang membantah, “Dalton tidak boleh pesimis!”Jelas, itu membuat kami berempat terperanjat—meski yang paling kelihatan terkejut itu Dalton. “Dari mana Fal belajar bahasa sesulit itu?!”Fal tidak menanggapi itu, lebih memilih menepuk-nepuk pipiku
Aku bilang pada Fal tidak mau pergi ke mana-mana, tidak mau lihat siapa-siapa, hanya ingin menyendiri di tempat ini, jadi bila Fal bosan, dia boleh beranjak kapan pun karena mungkin aku juga tidak punya niat bermain. Kuputuskan duduk di halaman belakang Gerha Lavi, duduk di tempat yang selalu kutempati saat kami berbincang, dan meninggalkan seberkas sorot pandang ke kursi kosong.Fal sempat berlari keluar, entah apa yang dia lakukan.Dan dia kembali membawa dua mangkuk es krim. Lumayan cepat, langsung mengambil kursi yang kutatap kosong. “Dari Layla,” katanya.Aku masih terlalu bodoh untuk menanggapi Fal.Jadi, Fal menepuk tangan, lumayan keras, membuat lamunanku pecah, dan segera menemukan Fal. “Oh, Fal, apa?”“Es krim dari Layla,” katanya, menyodorkan satu mangkuk.“Layla? Oh. Layla.” Aku mengangguk-angguk. “Kupikir dia marah.”“Katanya Forlan belum makan sejak pagi.&
Setidaknya, Kara juga menangis karena berulang kali mengusap matanya.Dan di antara kami, yang paling sulit berhenti menangis, itu Fal. Entah sejak kapan dia mulai menangis yang paling keras, yang juga membuatku mulai tertawa. Fal dengan isak tangisnya, berkata penuh bahagia, “Forlan akhirnya ketawa.”“Maaf membuatmu cemas, Fal,” kataku, mengusap air matanya.“Forlan ketawa,” isaknya, masih bersikukuh.Jadi, posisi kami kembali seperti semula. Bedanya, Fal tidak mau lagi duduk normal, hanya membenamkan kepala di bahuku, berniat terlelap di pangkuanku.Kara menggeleng penuh senyum. “Sungguh. Falesha—Nak, terima kasih. Selamat atas keberhasilan misi pertamamu.”“Apa?” sahutku, langsung menatap Fal yang mengangguk. “Misi pertama?”“Menahanmu,” sebut Kara. “Misi pertama Falesha.”“Itu misinya?”“Itu misinya
Kabar buruk pertama: Lavi tidak bisa dilacak.Kabar baiknya: Lavi hidup.Jadi, aku bertanya, “Apa kabar buruk berikutnya, Kara?”Kara mengangkat alis, tampaknya sepenuhnya lupa pada itu. “Oh iya. Kita membicarakan itu tadi. Masih ada dua kabar buruk.”“Itu memang bukan sesuatu yang layak dinanti,” komentarku.“Kabar buruk kedua ini,” Kara menghela napas, mulai bersedekap, “ketika kabar baik itu datang, keadaan Lavi masih belum sadarkan diri. Aku yakin kau bisa mengerti maksudku, Nak. Dengan asumsi terjadi sesuatu pada Lavi, kemungkinan yang terjadi hanya akan sama sepertimu di hari kedatanganmu.”“Maksudnya, Lavi akan tidur lima hari penuh?”“Lima hari saja sudah harapan bagus. Kau tentu tahu ada keadaan mati suri bagi para darah murni, kan? Tidak ada ilmu medis yang bisa menjelaskan kondisi ini cukup bagus, jadi mari berasumsi Lavi harus menetap di Lembah P
Hanya tinggal menunggu waktu hingga matahari terbenam.Kubilang pada Fal aku perlu segera mencari Haswin, jadi dia harus kembali ke Gerha Reila sendiri—yang sebenarnya terlihat dari Gerha Lavi. Fal tidak berniat menolak, bahkan mengangguk. “Besok temani Fal main bola.”Saat itu aku berjanji, meski aku tahu barangkali kami tak akan bisa bermain. Aku berani sumpah Fal juga sebenarnya paham kami tidak punya waktu untuk itu. Dia terlalu sensitif mengerti perasaan orang, jadi gagasan itu pasti muncul karena dia cemas padaku. Sudah berulang kali itu terjadi—seperti ingin ditemani di kano atau secara khusus ingin menemaniku melakukan apa pun.Kara mencetuskan, “Haswin pasti sedang mencari Kenzie.”Itu sudah cukup membuatku mengerti bahwa mereka sudah membuat suatu rencana khusus. Satu-satunya yang kupikirkan hanya Mars. Barangkali selama aku terdiam membeku di Gerha Lavi, mereka sudah menyusuri setiap area yang pernah dicuriga
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t